Petir masih menyambar dengan angin yang juga belum mereda. Jeje dan Juno mematikan ponsel mereka karena khawatir dengan kilatannya yang mengerikan. Keduanya masih berdiri di emperan toko kosmetik milik pak Hasan, seorang tetangga Nenek yang pernah beberapa kali bertemu dengan si kembar.
Juno celingukan ke kanan dan ke kiri. Dia sedang mencari tempat ornag yang berjualan makanan. Perutnya mulai berderik. Berdiri selama tiga puluh menit membuat pria bermata sipit itu merasa kelaparan.
"Je, ayo kita kesana," ujar Juno menunjuk sebuah kedai kecil yang tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri.
"Ah basah. Aku malas," sahut Jeje tanpa pikir panjang. Dia masih menyilangkan kedua tangannya untuk mengurangi rasa dingin.
"Ayolah … aku lapar …," rengek Juno manja.
"Tunggu reda saja. Tahan sedikit," ujar Jeje lagi. Dia masih mengabaikan Juno dan bertingkah seperti anak kecil.
Juno mendengkus kasar. Dengan tanpa menghiraukan Jeje yang masih memandangi hujan, Juno memasang tudung jaket lalu merapatkan resleting jaketnya. Dia berjalan menembus hujan dengan langkah lebih cepat.
"Hey, Jun!" teriak Jeje pada kembarannya yang sudah jauh. "Argh! Menyebalkan sekali dia. Masih hujan begini …," keluhnya yang berdecak beberapa kali.
Jeje menyentuh perutnya. Dia merasakan pedih yang cukup menggetarkan. "Sial. Apa aku juga harus berhujan seperti dia?" gumamnya seraya meringis menahan nyeri lapar.
.
.
Juno tiba di kedai dan segera merapat ke tempat duduk yang dekat dengan penjualnya.
"Bu, tolong supnya satu mangkuk ya …," ujarnya nyaring. Dia menggosokkan kedua tangannya untuk memberikan sedikit rasa hangat pada tubuhnya.
"Minumnya apa, Mas?" tanya pelayan dengan ramah.
"The hangat saja," jawab Juno dengan sedikit mendesis kedinginan.
"Baik, tunggu sebentar." Ibu pelayan segera menuju dapur untuk membuatkan pesanan si pria sipit
Juno melihat-lihat sekitar untuk beberapa saat. Pesanannya telah diantar tanpa dia kembali merasakan lapar yang membuatnya sedih.
"Ini supnya, Mas. Silahkan dimakan," ujar pelayan itu seraya meletakkan sup pesanan Juno.
"Terimakasih, Bu." Juno antusias sekali, dia menyunggingkan senyum ramahnya pada Ibu pelayan.
"Wah enak sekali aromanya. Mana masih panas …," gumamnya dengan mengecap beberapa kali. Dia segera melepaskan tudung jaket yang menutupi kepalanya, lalu memulai makan.
"Argh! Basah semua tubuhku!" keluah seseorang yang baru saja tiba di keda makanan.
Juno mengenali suara itu, dia segera menoleh dan menatap kembarannya yang masih menggerutu seraya mengibaskan rambut dan pakaiannya yang basah.
"Kamu? Apa yang kamu lakukan disini? Apakah sudah reda? Eyy dirimu basah sekali, pasti masih deras, 'kan? Kenapa kemari? Apa kamu lapar?" pertanyaan Juno yang bertubi itu menambah kekesalan Jeje.
"AKu tidak lapar," sahut Jeje yang segera menghampiri kembarannya.
"Tidak lapar? Yakin? Lalu kenapa kemari?" tanya Juno dengan sesekali menyeruput kuah sup yang masih panas.
"Dingin," sahut Jeje singkat. Perempuan itu menggosokkan ekdua telapak tangannya seperti yang dilakukan oleh Juno sebelumny. Tanpa adanya kompromi antar organ tubuh Jeje, perut perempuan itu berbunyi kerucukan nyaring pertanda bahan bakar telah habis.
Sontak saja Jeje mengumpat lirih pada dirinya dirinya sendiri.
"Oohh ternyata cacing di perutmu yang kedinginan?" ujar Juno sedikit melirik menggoda kakak perempuannya.
"Ck!" Jeje hanya berdecak kesal. Dia sedikit melongokkan kepalanya, mengintip isi mangkuk yang sedang dinikmati oleh si bungsu.
"Bu, aku minta sup yang tidak ada sayurnya ya …," ujarnya seketika dengan mengankat tangan kanannya.
"Eghek!" Juno nyaris tersedak teh panasnya. Dia lalu mehela napas panjang untuk menetralkan kerngkongannya.
"Jeje sayang, dimana-mana yang namanya 'Sup' itu pasti pakai sayur. Se mu a nya …," ujar Juno menjelaskan.
"Ada, kok. Sup jamur," ucap Jeje tidak mau kalah.
"Maaf, Mba. Sup ditempat kami semuanya pakai sayur. Kecuali mau kuahnya saja?" ibu pelayan menanggapi dengan ramahnya.
"Emm …," Jeje menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu aku mau kopi dan kue saja, Bu." Jeje lalu membenarkan posisi duduknya.
"Ahh kenapa hujannya lebat begini. Apa tidak akan reda?" gumam Jeje menatap jalanan yang basah.
"Bodoh! Seharusnya kamu berpikiran positif!" sentak Juno yang membalas perkataan Jeje dan juga memukulnya di kepala. "Hujannya sebentar lagi reda. Kita juga akan pulang dalam keadaan kering," tambah si pria sipit.
"Kamu menyebutku bodoh? Berani sekali kamu juga memukulku!" geram Jeje yang sangat kesal. "Kamu lupa siapa yang lebih tua, hah?!" ujarnya lagi seraya mengelus pelan kepalanya.
"Aku ingat. Joni yang lebih tua, 'kan? Ya tentu saja bukan aku," sahut Juno dengan wajah polos dan tidak menghiraukan sama sekali kekesalan yang terangkai di wajah Jeje.
Perempuan berambut panjang itu hanya mendengkus. Dia juga harus memehami situasi yang tidak memungkinkan untuknya terus berkelahi dengan kembarannya itu.
.
.
.
Berbeda dengan Jeje dan Joni yang mengisi waktu 'kedinginan' mereka di kedai sambil emnikmati makanan dan minuman panas. Kakak tertua, Joni, justru menghabiskan waktunya hanya diatas tempat tidur, dibalik selimut tebal yang berlapis.
Dia menyalakan semua lampu yang ada di kamarnya itu, menutup semua jendela beserta gordennya, mematikan pendingin ruangan, dan juga mengenakan pakaian tebal yang tidak hanya selapis.
Dia merasa sangat sedih karena dirumah Kakek dan nenek ini tidak ada menghangat ruangan, tidak ada juga perapian yang dapat membuatnya sedikit lebih baik.
Si sulung memanglah sangat tidak tahan dengan suhu dingin. Itu juga yang membuatnya selalu membawa pakaian dan jaket tebal kemanapun dia pergi. Karena suhu normal saat malampun, bisa membuatnya merasa kedinginan.
Dulu saat masih sekolah menengah pertama, Papa mengajak ketiga anaknya itu berlibur ke negeri gingseng saat liburan kenaikan kelas. Tentu saja semuanya girang karena itu juga merupakan pertama kalinya mereka akan menikmati musim salju yang tidak akan mereka rasakan di dalam negeri.
Hari pertama, Joni hanya berdiam di hotel dengan penghangat ruangan. Sama sekali tidak menikmati perjalanan atau fasilitas lain di kota para idol itu.
Lalu saat hari kedua, dia mencoba untuk ikut keluar para saudaranya dengan pakaian yang lebih tebal. Namun dia sangat tidak beruntung karena baru saja dia terkena udara musim dingin selama lima belas menit, dia sudah tidak tahan dan pingsan karena suhu di tempat itu mencapai minus.
Joni dibawa ke rumah sakit, namun karena keadaan yang tidak kunjung membaik karena memang sedang musim dingin, Papa memutuskan untuk membawa Joni pulang dan memberikan perawatan khusus di dalam negeri.
Aneh? Begitulah kenyataannya. Joni tidak sekuat kedua kembarannya yang mampu bertahan di udara yang dingin.
Karena kelainannya itu jugalah, kamar Joni adalah satu-satunya ruangan di rumah yang tidak memiliki pendingin ruangan.
Dia hanya akan keluar kamar saat cahaya matahari sudah mulai muncul, atau ketika suhu ruangan sudah netral dengan energi panas yang didapatkan dari semua lampu yang dinyalakan.
***