"Kamu sudah berapa hari bolos kuliah?" tanya Joni sambil menikmati makanannya.
"Lima hari," jawab Tian singkat.
"Apa? Kamu bolos kuliah lima hari?" Joni histeris, dia sangat terkejut dengan jawaban si Tian.
Pria berkaos hitam itu mengangguk pelan, "Tidak perlu terkejut hingga seperti itu. Lagipula kita ada batas maksimal membolos selama lima belas hari, 'kan?" ujar Tian santai. Dia meneguk minumannya perlahan.
"Hey kita bukan anak sekolah menengah atas lagi, tahu! Kalau sudah kuliah itu batas maksimum tanpa keterangan hanya empat hari. Kalau lebih nanti kamu bisa mengulang semester selanjutnya!" Joni bersemangat sekali. Dia urat lehernya hingga menegang karena dia kesal.
"Begitukah? Tapi bukankah itu per mata kuliah? Per SKS? Jadwalku kan beda-beda setiap harinya," ucap Tian yang masih sangat santai.
Huhh! Joni mendengkus kasar. "Argh intinya kamu sudah tidak bisa lagi membolos kuliah karena kita bukan anak berseragam putih abu-abu lagi," ucap Joni geram.
Tian menatap Joni seksama. "Sejak kapan kamu peduli dengan pendidikan? Bukannya dahulu kamu sangat membenci sekolah. Ibumu bahkan sampai mengantarkanmu hingga depan kelas," ujarnya.
Joni diam sejenak. Sedikit terlintas di kepalanya memori masa kecilnya saat masih ada Mama. Dia adalah anak tertua namun juga yang paling manja diantara yang lain sehingga Mama memperlakukannya lebih. Juno adalah yang paling cemburu sehingga dia juga sering mengalihkan perhatian Mama, tidak jarang juga bertengkar hanya untuk minta dimanja. Berbeda dengan Jeje yang lebih netral, dia tidak begitu manja namun tetap mendapatkan perhatian besar dari orang tuanya.
"Ah itu bocah. Kita sudah membahasnya tadi, 'kan? Masa bocah adalah masa yang masih bodoh dan tidak tahu mana yang terbaik untuk kita di masa depan," sahut Joni.
Tian mengangguk. Dia kembali melanjutkan makannya.
"Jadi … sampai kapan kamu berencana untuk membolos?" tanya Joni.
Tian mengedikkan bahunya. "Hingga aku merasa ingin pulang," sahutnya santai.
"Ck. Ish! Kamu sungguh ingin mengulang ya?"
Tian tidak merespon, hanya mengangkat kedua alis dan mengunyah makanan.
Joni segera mengeluarkan ponselnya. Dia akan menelepon seseorang untuk meminta bantuan.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Tian yang mulai menduga-duga dengan yang akan dilakukan pria kaya itu.
Joni hanya meletakkan jari telunjuk pada bibirnya sebagai perintah pada Tian agar tidak berisik.
"Iya halo selamat siang, Pak Herman …," ucap Joni yang telah tersambung dengan panggilannya.
Tian berdecak, dia segera mengenali sosok yang ditelepon oleh pria pirang itu. pak Herman adalah Ketua Jurusan tempat Tian mengambil pendidikannya. Beliau juga merupakan Ketua Jurusan dari kelas Jeje, sehingga Tian hanya menduga kalau Joni mengetahui nomor telepon beliau dari saudari kembarnya.
"Jadi begini, Pak. Apa bapak mengenal Tian anak jurusan Teknik Komputer kelas B? Dia adalah teman baik saya pak, keluarga kami sangat dekat dan sudah seperti keluarga."
Tian mencermati tindakan Joni dengan seksama.
"Iya, Pak. Dia sekarang sedang berada di tempat kakek dan neneknya di desa karena ada acara keluarga yang mendesak. Jadi dia tidak kuliah sudah lima hari ini, Pak. Dia baru saja menghubungi saya dan menceritakan tentang masalahnya itu." Joni menatap Tian seolah meminta persetujua untuk kalimatnya yang barusan.
"Bisakah Bapak memberikan dia ijin untuknya, Pak? Permasalahan yang dia alami cukup rumit sehingga harus meninggalkan kota selama beberapa hari, dia juga tidak sempat untuk menghubungi siapapun atau bahkan meminta ijin kuliah. Bisakah, Pak?"
Joni diam sejenak. Wkspresinya tidak nampak menyenangkan, lalu beberapa saat kemudian dia tersenyum lebar.
"Baik, Pak. Akan saya katakan padanya untuk menghadap Bapak saat dia masuk kuliah. Teriamakasih banyak Pak Herman. Akan saya sampaikan salam bapak pada Papa." Joni menutup panggilannya.
"Beres," ujar Joni sumringah. "Kamu harus menemui beliau untuk memberikan keterangan lanjutan. Beliau tidak akan menganggapmu membolos," tambahnya.
Joni kembali melanjutkan makan yang sudah beberapa kali tertunda karena terlalu seru untuk mengobrol.
"Ternyata benar kata orang-orang. Menjadi kaya itu sangat menyenangkan. Dapat menggenggam semua dunia, bahkan mengendalikannya juga," ucap Tian mengamati temannya yang lahap makan.
"Ah aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, Tian. Yang palin penting adalah kamu tidak mengulang di tahun selanjutnya, karena itu akan memakan banyak waktu dan menunda keberhasilanmu di masa depan," kata Joni dengan sedikit menggaruk bagian leher dan rahangnya.
"Emm … apakah aku harus berterimakasih?" ujar Tian.
Joni menatapnya kesal, dia hanya mehela napas panjang. dia tengah disibukkan dengan menggaruk bagian wajahnya.
"Apa makananmu sudah habis? Apakah itu tadi enak? Makanan ini enak sekali, rasanya seperti ingin nambah tapi aku sudah sangat kenyang …," ujar Joni yang sangat menikmati makanannya.
Ada yang tidak beres. Tian merasa kalau Joni bertingkah semakin aneh. Temannya itu terus menggaruk bagian leher hingga ke sebagian wajahnya yang mulai berbintik merah. Pandangan Tian beralih ke bagian tubuh Joni yang lain. Ternyata pada tangannya juga mulai berbintik merah dan nampak meradang.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Tian. "Wajahmu merah begitu?"
"Ahh tidak apa. Kurasa hanya hari yang mulai dingin jadi aku sedikit gatal," ujarnya yang segera minu air mineral.
Tian menarik piring Joni, dia mengecek makanan itu dengan sendok lalu memakannya sepotong kecil.
"Aku belum selesai makan … eh? Kenapa kamu mamakannya?" Joni mengerutkan dahi kesal.
"Ini cumi-cumi, Jon. Berhenti makan! Harus disingkirkan!" Tian segera menumpuk piring itu dengan piring kotor miliknya.
"Hey, walaupun itu cumi-cumi ataupun cuma-cuma. Aku akan tetap memakannya. Kenapa kamu menyingkirkan piringku begitu … tidak sopan!"
"Apa kamu tidak melihat tubuhmu itu! Kamu ingin menyiksa dirimu sendiri? Ayo kita beli obat sebelum kamu menjadi hantu karena semua bintik merah itu!" Tian bangkit dari tempat duduknya.
"Apa ini alergi?" gumam Joni yang mengamati dirinya sendiri. Matanya segera melotot setelah dia menyadari kalau seluruh tubuhnya mulai merah dan terasa agak panas.
"Jadi … apakah cumi itu termasuk seafood?"
Tian menepuk dahinya dan merasa hilang akal. "Apa cumi tinggal di dalam tanah?" ucapnya kesal.
"Argh! Kenapa kamu tidak memberitahuku di awal! Bagaimana ini …." Joni mulai panik.
Tian mendengkus kasar. Dia segera mengajak temannya itu untuk perg mencar obat. Joni masih terus menggaruk tangan dan lehernya. Dia semakin merasa tidak nyaman dan mulai menggerutu selama dia berjalan mengekor Tian yang menuju ke sebuah toko obat.
"Tapi kenapa cumi enak sekali?" gumamnya sambil menggaruk wajahnya.
"Minumlah susu agar kembali netral," ujar Tian saat mereka melewati toko yang menjual berbagai minuman.
"Kamu ingin membunuhku? Susu akan membuatku diare, tahu?!"
"Ahh aku lupa. Kalau begitu berhentilah menggerutu dan ikutlah ke toko obat dengan tenang. Lagipula itu semua salahmu. Kamu seharusnya membaca menu dengan benar sebelum memesannya. Merepotkan sekali!"
***