"Permisi, Tuan Joni. Ada paket untuk Anda," kata seorang pelayan yang menghampiri si sulung di ruang tengah dengan membawa sebuah kotak berukuran sedang.
"Wah akhirnya datang juga …," ucap Joni girang. "Terimakasih, Pak." Tuan muda itu segera mengabil kotak dengan sangat antusias.
Belum sempat membuka paket miliknya, Joni kembali dikejutkan dengan kedatangan para pelayan yang membawa banyak kotak besar.
"Permisi, Tuan. Ada kiriman untuk tuan Juno," kata pak Irawan yang juga membawa satu kotak besar.
Semuanya tidak nampak ringan, Joni mengerutkan dahinya tidak dapat berkata-kata lagi. Ada tujuh kotak besar berukuran sama yang dibawa oleh tujuh pelayan dengan masing-masing satu. Pria pirang itu nyaris tidak mengatupkan bibirnya karena terheran dengan paket besar itu.
"Bawa langsung naik ke kamarku saja, Pak Irawan. Pintunya kebetulan tidak kukunci," sahut si bungsu dari arah tangga. Rupanya dia baru saja hendak turun untuk menghampiri saudaranya.
Para pelayan itu segera menuju lantai tiga dengan membawa semua barang masih berbungkus rapi itu.
"Apa itu? Kamu membeli semuanya, Jun?" tanya Joni yang tidak dapat menutupi ekspresi kocaknya, dia melongo masih tidak percaya.
"Emm," angguk Juno. "Santai saja ekspresinya jangn seperti nyamuk yang disemprot racun gitu. Itu semua adalah penghuni baru kamarku, teman tidurku. Hehe" Juno masih bisa cengegesan. Dia lalu duduk di dekat saudaranya itu dan menyandarkan tubuhnya dengan nyaman.
"Kamu gila," gumam Joni seraya mulai membuka paketnya.
"Kita sama-sama membeli barang, kenapa hanya aku yang gila?" ujar Juno.
"Aku hanya satu. Kamu? Tujuh benda? Kamu menghabiskan semua uangmu untuk itu?" sahut Joni mulai itung-itungan.
"Tidak. Itu tidak semahal yang kamu kira, Jon. Tabunganku masih aman kok."
Joni hanya berdecak dan menggeleng pelan. Dia mencoba untuk mengabaikan kembarannya itu dan fokus untuk membuka kotak pesanannya.
"Wah sempurna …," ucap Joni dengan wajah cerianya. Matanya nampak berbinar, dia segera mengeluarkan sepasang sepatu dengan merk ternama yang warnanya sangat bagus. Tapi tidak begitu menarik untuk Juno yang memiliki selera berbeda.
"Apa itu?" tanya Juno yang segera mendekat.
"Sepatu," jawab Joni singkat.
"Aku tahu. Tapi apa istimewanya?" tanya Juno lagi.
"Jadi ini adalah sepatu bola yang prnah dipakai oleh Messi saat acara launcing tipe terbaru dari merk ini," jawab Joni antusias. Dipandanginya sepatu itu di setiap inchinya, dia sangat senang.
"Kamu membeli di acara lelang?" tanya Juno yang segera diiyakan oleh saudara tertuanya itu.
"Wahh kurasa ini juga mahal," gumam si bungsu. "Jadi, kamu mengeluarkan banyak uang hanya untuk barang bekas?" celetuk Juno tanpa hati-hati.
Plak!
Pukulan manis Joni mendarat di kepala si bungsu dengan keras hingga membuat Juno menggeram kesakitan.
"Ini bukan bekas ataupun setengah pakai. Tapi ini adalah sepatu istimewa. Messi hanya mengenakannya sekali, hanya pada acara itu saja. Selanjutnya dia memakai sepatu lain dengan tipe sama yang hanya dibuat khusus untuknya. Jadi, ini adalah sepatu yang hanya diproduksi dua di seluruh dunia. Ahh aku akan memiliki barang yang sama dengan idola dunia …," kata Joni yang sama sekali tidak kehilangan senyum di wajahnya.
"Lihatlah detil sepatunya, bagus sekali. Sungguh premium," ujar Joni lagi yang masih mengamati sepatu itu. "Bagus, 'kan?"
"Emm," Juno mengangguk pelan. "Apa kamu menghabiskan uangmu?" tanya Juno dengan pertanyaan yang nyaris sama dengan pertanyaan Joni sebelumnya.
"Tentu tidak. Aku membayar dengan kartu kreditmu. Apa kamu lupa pernah kalah balapan denganku?"
"Apa? Sialan! Kenapa kamu mencurinya!" Juno melotot siap untuk menghajar saudaranya.
"Jangan marah. Hanya ini. Selebihnya aku akan menggunakan uangku sendiri," ucap Joni lembut dengan menampakkan wajah yang dipaksanya untuk terlihat menggemaskan.
Juno menarik napas panjang. Tidak tahan lagi dengan sikap saudaranya yang terlewat hemat bahkan mengorbankan saudaranya sendiri.
Jeje baru saja keluar kamarnya dengan handuk yang masih dibalutkan pada rambutnya yang basah. Dia sangat terkejut dengan para pelayan yang membawa banyak barang ke kamar sebelahnya, kamar Juno.
"Wah wah wah … Ada apa ini?" ucapnya penuh tanya.
"Ini semua adalah barang milik tuan Juno, Nona." Jawab pak Irawan, kepala pelayan.
Melihat mereka akan kesulitan untuk membuka pintu kamar Juno, Jeje membantunya untuk membukakan pintu.
"Apa dia sudah gila? Sebanyak ini setelah bulan lalu dia mengatakan akan berhemat karena membeli barang mahal?" gerutu Jeje tidak habis pikir dengan si bungsu.
Jeje memperhatikan alamt pengirim di masing-masing kotak. Semuanya berasal dari luar negeri, hanya denga membaca nama negaranya saja sudah membuat Jeje merinding membayangkan harga dari semua barang itu.
"'Gitar'? Lagi?" Jeje terkejut untuk kesekian kalinya. Dia harus menarik napas panjang karena hal ini.
Ada dua kemungkinan kenapa kembarannya itu membeli banyak alat musik itu, pertama itu adalah gitar model terbaru yang dikeluarkan oleh perusahaan besar. Lalu kedua, itu adalah gitar legendaris milik artis populer di masa lalu yang ia dapatkan dari pelelangan. Tidak begitu berbeda dengan Joni, hanya saja Juno lebih banyak mengeluarkan uang untuk barang-barang yang hanya akan menghiasi ruangan tanpa tersentuh.
"Berapa jumlah nolnya?" gumam Jeje yang memperhatikan rincian harga pada internet. Dia sedang memperkirakan pengeluaran kembarannya untuk semuanya.
"Wahh dia benar-benar sudah gila. Apa dia akan baik-baik saja jika Papa tahu?" gumamnya.
Jeje hanya mampu menarik napas panjang lagi.
Pada kamarnya yang sangat luas, Juno memang memiliki ruangan khusus untuk koleksi gitarnya, selain ruangan untuk koleksi sepatu juga aksesoris lain. Ruangan yang paling penuh, tidak akan menyesal jika ada orang dengan niatan jahat memasuki kamar Juno. Karena walau dengan hanya mencuri sebuah pick gitar, dia akan mendapatkan uang yang cukup untuk makan seama beberapa hari.
Sebagai anggota band kampus, memang tidak aneh jika Juno memiliki koleksi alat musik. Hanya saja, dia adalah pemukul drum di grupnya. Bukankah seharusnya Juno memiliki koleksi drum? Dia malah lebih menyukai gitar.
Jeje keluar dari kamar kembarannya itu, membiarkan semua kotak masih berhamburan di dalam. Dia tidak akan ikut campur dan bahkan akan berpura tidak mengetahui apapun jika Papa mengetahui ataupun menanyakan mengenai hal itu.
Kembali ke kamar, Jeje memilih untuk merebahkan tubuh di tempat tidur sambil menikmati cemilan dan menonton film.
Perutnya sudah mulai keroncongan, namun dia masih sangat malas untuk pergi makan ke bawah.
Sebenarnya dia bisa saja meminta pelayan untuk mengantarkan makan untuknya, namun dia tidak akan melakukan itu.
Sekilas dilihatnya jam dinding, sudah saatnya untuk makan malam. Dia memutuskan untuk mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada kedua saudaranya.
"Kali ini aku ratunya. Mereka harus menurut denganku!" gumam Jeje yang segera mengirimkan pesan pada grup obrolan.
'Bisakah kalian membawakan makan malam untukku? Tubuhku masih sangat lelah.'
Dengan senyum lebarnya, Jeje berpura kalau dia sedang tidak enak badan sehingga akan mendapat perhatian lebih dari Joni dan Juno.
***