"Kita akan mulai bekerja besok," celetuk Joni yang meminum minuman hangatnya.
"Hah? Apa kamu gila? Aku belum siap!" bantah Jeje seketika.
"Aku juga," sahut Juno sambil mengemil.
"Kalian tidak kasihan dengan Papa?" ujar Joni. "Sejak Mama meninggal, Papa selalu melakukannya sendirian. Semuanya. Beliau mengurus hotel dan semua usaha seorang diri, sementara kita hanya menikmati hasilnya saja. Beliau juga tidak pernah mengeluh atau menceritakan tentang kesulitan beliau selama ini. Tapi hari ini, beliau dengan terang-terangan meminta kita untuk bergabung. Apa kalian tidak berpikir ada yang aneh? Papa pasti sangat membutuhkan bantuan. Aku berharap semuanya baik-baik saja, namun aku sedikit berfirasat tidak baik. Aku mau membantu Papa meskipun aku masih sangat pemula. Jika kalian ingin ikut, ayo. Tapi jika tidak, itu adalah pilihan kalian."
Joni kembali meminum minuman hangatnya. Sementara Jeje dan Juno masih terdiam dengan pikiran masing-masing.
Juno mengedarkan pandangannya sekitar, dia lalu menengadah. Juno memandangi kerlipan bintang yang semakin nampak indah saat langit menajdi semakin gelap.
Huhh! Juno menhembuskan napas panjang. Semuanya seperti mimpi, sangat tiba-tiba. Dia bahkan belum pernah membayangkan hal ini terjadi padanya sebelumnya.
Jeje memakan cemilan, dia hanya menatap Joni iba. Tatapannya menolak, namun hatinya sangat ragu. Sungguh bukan sebuah keputusan yang mudah.
"Kak …," ucap Jeje lirih pada Joni.
Joni mengangkat kedua alisnya, sangat aneh ketika kembarannya itu memenaggilnya 'Kakak'.
"Jika kamu tidak mau, tidak apa. Aku akan melakukannya sendiri," ujar Joni yang segera berdiri menghampiri Papa yang baru saja mematikan teleponnya.
"Argh bagaimana ini … apa yang harus kulakukan …," gumam Jeje lirih. "Hey Juno. Apa kamu mau ikut dengan Joni?" tanyanya.
"Kenapa aku harus?" sahut Juno yang membuat Jeje terkejut. Juno lalu menoleh saudarinya itu. "Jika dia menginginkannya, biarkan dia melakukanya sendiri. Kurasa itulah peran anak pertama yang baik," tambahnya.
"Eeh?" Jeje tidak melihat ekspresi Juno yang biasanya cengengesan. Kali ini si bungsu nampak serius sekali. "Apa dia sedang merencanakan sebuah pemberontakan?" pikir Jeje.
"Pa, aku akan mulai bekerja besok," kata Joni pada Papa. "Terserah Papa akan memberiku posisi dimanapun dengan jabatan apapun, yang penting aku bisa membantu Papa untuk menyelesaikan masalah. Aku siap," ucapnya lagi.
Papa tersenyum dan segera menepuk bahu anak sulungnya itu pelan. "Kamu tidak perlu ikut menyelesaikan masalah, Jon. Lagipula Papa tidak memintamu untuk itu. Kamu cukup bekerja sebagai Direktur di hotel ibu kota. Itu sudah sangat membantu," kata Papa.
"Direktur? Apakah aku bisa?" tanyanya ragu.
"Kenapa tidak? Kamu adalah anak dari pemiliknya, tentu saja kamu bisa. Kamu mewarisi kemampuan Papa."
Joni mengangguk pelan. "Tapi aku bahkan belum memiliki pengalaman," ujarnya.
"Jika kamu meragukan dirimu sendiri, itu berarti kamu sedang meragukan Papa."
Joni terdiam. Mendadak dia merasa bersalah dengan kalimatnya tadi. Dia lalu hanya mengangguk kembali, dia akhirnya menyetujui permintaan Papa.
.
.
Hari baru.
Sesuatu yang tidak biasa, menjadi pemandangan di pagi ini. Putra sulung keluarga Pambudi, Jhony Pambudi turun dari kamarnya untuk sarapan. Pria pirang itu mengenakan setelan formal berwarna abu gelap untuk hari pertamanya bekerja.
Semua pelayan menatapnya kagum, dia nampak tampan dan sangat mengagumkan. Walau wajahnya masih terdapat beberapa bintik merah karena alergi makanan laut saat berlibur di tempat Kakek, itu sama sekali tidak mempengaruhi penampilan Joni.
Jeje sama Juno belum turun?" tanyanya pada pak Irawan yang tengah berdiri di dekatnya.
"Jeje hadiiirr!" Suara nyaring dari arah tangga menyita perhatian semua orang. Perempuan itu mengikat rapi rambut ikal pirangnya, matanya tidak begitu nampak sipit karena dia mengenakan riasan untuk menyamarkan sipitnya itu.
Dengan mengenakan setelan rapi berwarna senada dengan yang dikenakan oleh Joni, Jeje berjalan menuju meja makan dengan anggunnya.
Joni memandangi kembarannya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, mulai dari tangga hingga dia duduk di kursi di sampingnya.
"Kenapa? Apakah jelek?" tanya Jeje yang mendadak tidak percaya diri akrena tatapan si sulung.
"Kenapa mengenakan pakaian itu?" tanya Joni yang mengetahui kalau saudarinya itu semapat menolak untuk bergabung.
"Oh hehe. Aku sudah emmutuskan untuk ikut pergi ke hotel. Yaah sekalian cari pengalaman pekerjaan. Setelah praktek kerja pada semester empat, aku belum pernah menginjakkan kaki di sebuah kantor lagi. Jadi … kurasa ini tidak akan begitu buruk untukku," jawab jeje menjelaskan. Dia lalu tersenyum manis pada Joni.
Joni hanya mengangguk pelan, dia harus mengakui kalau kembarannya itu cantik. Tentu saja, itu juga akrena dirinya tampan.
"Pak Irawan, Papa dimana?" tanya Joni yang sejak tadi menunggu Papanya untuk sarapan bersama.
"Tuan besar sudah bernagkat, Tuan."
"Sepagi ini?" Joni dan Jeje sangt terkejut. Jam dinding bahkan masih menunjukkan pukul 6.30. Belum saatnya untuk bekerja, itulah yang dipikirkan oleh kedua remaja itu.
Joni segera berdiri, dia hendak berangkat juga. Namun langkahnya terhenti karena dia melihat si bungsu yang menuruni tangga. Joni memperhatikan Juno, pria berambut hitam nan sipit itu mengenakan pakaian biasa, hanya kaos dan celana jeans. Jelas sekali dia tidak aka ikut pergi ke hotel.
Joni hanya menarik napas panjang. Tidak ingin ada keributan, dia segera melanjutkan langkahnya meninggalkan meja makan.
"Jon, tunggu!" Jeje segera bangkit karena langkah besar si sulung itu meninggalkannya.
Jeje sedikit menoleh Juno yang sangat acuh dengan keadaan. Dia hanya mengerutkan dahi, ada yang tidak beres, namun dia tidak memiliki banyak waktu untuk ebrtanya ataupun menebak-nebak apa yang terjadi.
"Ayo makan!" ujar Juno yang mengajak semua pelayannya untuk sarapan bersama. Dia mengabaikan dua saudaranya yang baru saja berangkat dengan mengenakan pakaian rapi.
Jeje masih memikirkan Juno. "Apakah dia sungguh akan memberontak?" gumam Jeje seraya berjalan menyusul langkah si sulung.
Joni menuju mobilnya yang telah disiapkan oleh pelayan rumahnya. Dia belum sempat masuk ke mobil, langkahnya kembali terhenti karena teriakan nyaring saudarinya.
"Jon, aku ikut!" Jeje bergegas menuju Joni.
"Apa lagi sih …," keluh Joni. "Kan kamu ada mobil?" tanya Joni yang menatap Jeje kesal.
"Hehe habis bahan bakar."
"Ck! Kenapa kamu tidak isi, hah?"
"Kita harus hidup hemat, 'kan? Kamu tahu harga BBM sekarang mahal?" sahut Jeje.
"Lalu? Apa kamu tidak akan mengisinya karena harganya mahal? Kamu hanya akan menumpang?"
Jeje mengerutkan dahi. "Bawel deh! Kalau kamu tidak mau aku menumpang, itu tidak masalah. Aku akan pergi dengan taksi. Kamu tidak perlu marah seperti ini." Jeje kesal sekali. Dia bahkan belum sarapan, tapi sudah mendapat omelan panjang dari saudara pirangnya.
Jeje mengeluarkan ponsel dan hendak memesan taksi online.
Pletak!
Joni melempar dahi kembarannya itu dengan uang koin yang sedari tadi ia pegang.
"Ish! Sakit!"
"Cepat masuk! Kita tidak ada banyak waktu!" Joni membukakan pintu untuk saudarinya itu.
Senyum lebar segera terlukis di waja Jeje. Seolah tidak ada masalah apapun, dia segera masuk ke mobil dengan menampakkan wajah menggemaskan.
***