"Jadi, selama ini kamu dan Juno … anu?" tanya Willy yang duduk di sebelah Val yang sedang mengaduk minumannya tidak keruan.
"Ah bagaimana cara untuk mengembalikan reputasi dia?" gumam Val lirih.
"Val, dengarkan aku. Kamu tampan, pintar, seorang vocalis. Aku yakin banyak perempuan yang menggilaimu karena semua hal itu. Bukannya akan sangat tidak adil kalau kamu ternyata memiliki selera seperti Juno. Maksudku … argh! Hanya membaca beritanya saja aku sudah mau muntah. Kenapa kalian bisa … gay?" celotehan Willy membuat Val sangat tidak nyaman.
Val menatap Willy lekat dengan kedua matanya yang seolah menyala. "Hey bodoh! Kamu percaya dengan berita itu? Kamu percaya kalau Juno adalah kekasihku? Bukankah kita sudah saling mengenal sejak lama? Bisa-bisanya otakumu! Argh!" Val menahan diri untuk tidak memukul kepala temannya.
"Ah ya ampun! Lagipula … Val menyukai seorang perempuan," imbuh Val dengan helaan napas panjangnya.
"Eh begitukah? Syukurlah. Aku hanya belum bisa membayangkan kalau aku ternyata memiliki teman yang seperti itu. Memang tidak masalah, tapi itu akan terasa aneh, kawan." Willy kembali menarik napas panjang.
"Kamu bilang Juno menyukai seorang perempuan? Siapa perempuan itu?" Tanya Willy bawel.
Val segera meminum minumannya hingga habis. Dia lalu beranjak dan pergi meninggalkan Willy dengan diam. Namun langkahnya berhenti sebelum dia berbalik dan menatap Willy.
"Ada apa?" Willy mengerutkan dahinya.
Val menatap temannya itu dengan lekat. "Will, kamu yang bayar minumanku. Oke? Aku lupa membawa dompetku," ujar Val. "Aku akan mentraktirmu lain kali," imbuhnya yang segera melanjutkan langkahnya untuk pergi.
"Ah sialan! Bocah itu selalu saja merepotkan," geram Willy. "Eh dia meninggalkanku lagi? Padahal aku belum sempat menceritakan masalahku. Ya ampun! Dia menyebalkan sekali! Seharusnya aku yang berkeluh kesah tapi malah dia yang menceritakan beban hidupnya! Val sialan!" umpat Willy yang sangat kesal dengan temannya itu.
Sementara itu Val harus kembali ke tempat kerjanya sebagai seorang pelayan di sebuah rumah makan di tengah kota. Pikirannya masih tidak nyaman karena skandal Juno yang membawa dirinya.
Paham betul dengan reputasi yang akan berdampak buruk untuk kehidupan Juno dan keluarga, Val ikut memikirkan solusi untuk masalah itu walaupun pada kenyataannya dia masih belum mampu untuk memberikan bantuan apapun.
***
Di sebuah lapangan basket di taman kota, seorang pria dengan rambut yang sudah lebih panjang dari sebelumnya. Pakaian basket berwarna merah sangat mencolok dari kejauhan, membuat seorang perempuan satu-satunya anak perempuan dari keluarga Pambudi segera dapat mengenali pria itu dengan mudah.
Dari kejauhan, Jeje memperhatikan Tian bermain basket seorang diri. Berlari kesana dan kemari lalu sesekali menyeka peluhnya.
"Lemparan yang bagus!" teriak Jeje seraya bertepuk tangan. Dia berjalan mendekat pada si pelempar bola yang nampak terkejut.
Tian menoleh dan menatap perempuan yang berubah penampilan itu untuk beberapa saat. Dipandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala Jeje yang terlihat anggun dengan pakaian formal dan rambut yang rapi.
"Lama tidak melihatmu bermain basket. Keren!" Jeje mengacungkan dua ibu jarinya pada Tian yang masih belum berekspresi.
"Apa yang kamu lakukan disini? Bukannya kamu harus tetap berada di perusahaan? Ini masih jam kerja, 'kan?" tanya Tian seraya menyeka peluhnya. Napasnya masih belum stabil karena lelah.
Jeje mehela napas panjang. "Aku merindukan suasana luar ruangan seperti ini. Ahh … rasanya semua masalah di kepalaku menghilang begitu saja," ucapnya dengan menatap taman sekitar.
"Nih!" Tian melemparkan bola basket pada Jeje, "Ayo bertanding!" tantangnya.
"Emm baiklah. Siapa takut?" Jeje menerima tantangan itu dengan senang hati. Iapun segera memainkan bola basketnya dengan baik.
Sudah cukup lama Jeje tidak bermain basket, bahkan jika kembali diingat-ingat, saat masih sekolah menengah atas adalah terakhir kalinya dia bermain. Kali ini dia banyak kalah trik dengan Tian.
"Ayo Ratu Basket!" teriak Tian saat ia kembali berhasil merebut bola dari Jeje.
Perempuan itu hanya menarik napas panjang dan mengangkat kedua alisnya.
"Hey! Apakah bekerja seberat itu? Kamu bahkan tidak sempat untuk makan dan membuat tubuhmu menjadi sangat kurus?" tanya Tian disela permainnya.
"Ah tidak juga. Hanya saja, aku perlu menjadwalkan makan agar tidak bentrok dengan jadwal rapat," sahut Jeje dengan napasnya yang tersengal.
"Eh bukankah rapat bisa menyesuaikan dengan jadwal kosongmu? Kukira kamu adalah bos yang sudah selayaknya untuk 'ditunggu'."
Jeje tertawa kecil. "Aku tidak menyukai jika orang menungguku."
"Kamu tidak takut mati karena kelaparan?"
"Sial! Aku selalu berkonsultasi dengan dokter keluarga kami mengenai hal ini. Dia bilang semuanya aman," jawab Jeje.
"Emm begitukah … lalu apa kamu memiliki jawaban untuk rambutmu yang semakin panjang dan membuatmu terlihat seperti perempuan seutuhnya?"
"Hey!" sentak Jeje. "Apa kamu pikir selama ini aku hanya setengah perempuan? Aku memanjangkan rambut karena aku merasa ini bagus." Perempuan itu menatap Tian lekat.
Sementara itu Tian hanya terkikik setelah berhasil membuat temannya itu kesal.
Pandangannya tertuju pada kaki perempuan itu yang sedar tadi nampak tidak nyaman saat berlari.
"Wah rupanya ibu Direktur penggemar sepatu tinggi, ya? Dimana koleksi sepatumu dahulu?" tanya Tian lagi.
"Arh ya ampun kamu bawel sekali. Aku tidak tahu apakah ini adalah pujian karena aku telah menjadi pribadi yang lebih baik atau malah sebaliknya …," ucap Jeje.
Keduanya menepi dan duduk di sebuah bangku panjang yang memang disediakan untuk istirahat.
"Kamu tahu, kehidupan kita selalu berputar dan berubah setiap saat walaupun kita tidak menginginkannya. Karena itulah aku mempersiapkan semuanya sejak dini."
Tian menatap perempuan itu. "Apa yang kamu persiapkan?"
"Semuanya," ucap Jeje.
"Aku siap untuk tumbuh dewasa, aku siap untuk menjadi seorang wanita, aku juga telah siap untuk menikmati semua masalah dan luka yang datang menyapa," kata Jeje dengan senyumnya.
"Eyy kamu terdengar sangat putus asa kini. Apa kamu benar-benar menjadi tua sekarang?"
"Hey! Apa kamu piker kita beda usia? Jika aku tua maka kamupun begitu!" sahut Jeje yang tidak terima dengan kalimat Tian.
Tian kembal tertawa, begitupun Jeje yang memahami sikap pria pendiam yang menyebalkan itu.
"Jika kamu sudah siap menjadi dewasa, apa itu artinya kamu juga sudah siap untuk kehilangan? Kurasa, semakin kita dewasa semakin sering kita akan kehilangan. Entah itu hal sederhana maupun hal yang paling istimewa."
Jeje menarik napas panjang. "Bukankah kehilangan adalah salah satu cara alam untuk mempertemukan kita dengan yang lebih baik? Atau setidaknya … semesta sedang memberikan cobaan pada kita yang diciptakan istimewa?"
"Emm," Tian mengangguk pelan.
Saat keduanya masih berbincang, Yomi menghampiri Jeje dengan langkah besarnya.
"Maaf Bu Jeje, ada sesuatu yang sangat mendesak. Anda harus ikut saya segera," ucap Yomi cemas.
"Ada apa?"
***