"Waahhh," mulut Tian nyaris menganga sangat lebar. Rumah mewah dengan tiga lantai dan halaman yang sangat luas itu sungguh membuat mata nyaman untuk memandangnya.
Segera saja dia menghampiri penjaga dan mengatakan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman.
Para pelayan juga penjaga menyambut Tian yang tengah menggendong Nona muda mereka. Semua mata tertuju pada tubuh Jeje yang terluka dan tidak sadarkan diri.
"Bisakah tolong antar aku menuju kamar dia? Sekalian bawakan obat atau mungkin kalian panggil dokter …," ujar Tian.
Para pelayan segera mengangguk setuju.
"Mari lewat sini," Pak Irawan memimpin langkah Tian menuju lantai tiga ke kamar Jeje.
Lelah. Sesampainya di kamar Nona muda itu, Tian segera menggeletakkan tubuh Jeje di tempat tidur.
"Ah ya ampun, kamu berat juga rupanya," keluh Tian.
Kalimat sesungguhnya yang ingin dia katakana adalah 'Ah ya ampun kamar kamu jauh sekali.' Namun dia tidak mengatakannya karena hal itu akan membuatnya merasa terganggu.
Napas Tian tersengal, peluhnya membasahi dahi namun dia berhasil mengatur napas dan istirahat sejenak.
Juno, si bungsu yang semula sedang mendengarkan music dengan headset di ayunan dekat kolam, segera menuju kamar saudarinya saat ia melihat saudarinya itu digendong oleh pria asing dan ditemani banyak pelayan.
"Kenapa dia?" Tanya Juno yang berdiri didekat pintu. Pandangannya tertuju pada Jeje yang belum sadarkan diri dan diurus oleh seorang pelayan.
"Diserempet mobil," sahut Tian masih sambil mengatur napas.
"Eh seharusnya dia bilang sama mobilnya, 'jangan serempet aku'." Juno menghampiri saudarinya.
Plak!
Tian spontan memukul pelan kepala Juno.
"Ish!" Juno segera mengelus kepalanya dan menatap Tian kesal.
"Dia sedang tidak focus! Pikirannya terbagi karena masalah dan juga dirimu!" ujar Tian.
"Dia memikirkanku? Sejak kapan? Yang kutahu kalau dia selalu memikirkan kamu," celetuk Juno yang segera duduk di tepi tempat tidur Jeje seraya mengelus pelan kepala saudarinya itu.
"Apa?" Tian membenarkan pendengarannya.
"Apa? Aku tadi mengatakan apa?" Tanya Juno balik dengan menampakkan wajah lugunya.
"Mana air hangatnya? Sambil menunggu dokter, kurasa kita bisa sambil mengompresnya." Juno mengedarkan pandangannya, belum terlihat olehnya pelayan yang membawakan air hangat ataupun obat untuk Jeje.
Hampir saja kesal, Juno kembali mereda saat dokter Helen tiba.
Karena dokter Helen sudah datang, Juno dan Tian menjauh dan duduk di kursi tamu kamar Jeje. Seorang pelayan datang dengan membawa dua gelas minuman dan makanan ringan satu kotak penuh untuk dua pria yang sedang berbincang itu.
"Jeje berat banget ya? Kamu sampai berpeluh banyak begitu?" Tanya Juno sambil mengemil.
"Tidak," sahut Tian. Dia segera meraih tisu di meja untuk mengusap peluh di dahinya.
"Pasti tidak dong ya, cuma tulang gitu …," celetuk Juno lagi.
Tian tidak begitu menghiraukan, dia hanya minum dan memakan makanan ringan seperlunya.
"Bagaimana keadaan dia, Dok?" Tian segera berdiri saat dokter Helen menghampiri mereka.
Dokter Helen tersenyum melihat kekhawatiran di wajah Tian. "Kalau dampak dari serempet mobil tadi, hanya lecet dan sedikit memar di tubuhnya," ujar dokter nan cantik berambut ikal panjang itu.
"Cuma lecet dan memar tapi dia pingsan se-lama ini? Sudah lebih tiga puluh menit?" Juno memperhatikan jam tangannya.
"Mungkin dia lelah karena hal lain," sahut dokter Helen. "Dia hanya butuh istirahat, dia baik-baik saja," imbuhnya lagi.
"Aku pergi dulu, untuk obat dan vitamin aku sudah meletakannya di meja." DOkter Helen berpamitan.
Tian mengangguk pelan.
"Aku akan mengantarmu sampai depan," ujar Juno yang bergegas untuk pergi. Namun doktr Helen menahannya.
"Tidak perlu, kamu jaga saja Jeje. Lagipula aku sama asisten, 'kan?" sahut dokter Helen dengan manis. Tanpa basa basi lagi, dokter Helen pergi dengan sebelumnya kembali menyunggingkan senyuman pada Juno.
Sikap Juno itu ternyata diperhatikan oleh Tian yang berdiri di dekatnya. "Kamu suka sama dokter itu?" tanya Tian yang segera membuyarkan senyuman Juno.
"Apa? Ah aku tidak menyukai perempuan yang lebih tua," sahut Juno yang segera kembali duduk.
"Alasan deh ya. Bilang saja kalau kamu memang tidak menyukai perempuan!" celetuk kembaran Juno yang baru saja tersadar. Dia bahkan masih terbaring di tempat tidurnya.
"Weh … kamu baru sadar sudah ngajak rebut, ya?" Juno segera memicingkan matanya kearah Jeje yang tertawa geli.
"Jujur saja, Juno. Berita yang ada di surat kabar beberapa waktu lalu itu adalah fakta, 'kan? Itu juga yang menjadi alasan kamu bicara tentang 'perbedaan' ketertarikan saat jumpa pers. Benar, 'kan?" ujar Jeje lagi.
Juno mendengkus. Sama sekali sedang tidak ingin membahas mengenai hal itu, dia merasa sangat kesal dengan kalimat saudarinya itu. Segera saja dia minum dan kembali menikmati cemilannya.
"Kamu sudah baikan?" tanya Tian yang menghampiri Jeje di tempat tidurnya.
Perempuan itu sudah berposisi duduk degan dibantu oleh seorang pelayan sebelumnya. Jeje mengangguk pelan seraya tersenyum sebagai jawban dari pertanyaan Tian.
"Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja," ujarnya lagi.
"Ya bagaimana tidak khawatir. Kamu memarkirkan mobil di depan kafe tapi malah nyeberang jalan. Kamu seperti sengaja mau celaka, tahu?" Tian agak kesal, dia beberapa kali menggelengkan kepalanya saat mengingat sikap Jeje.
"Ah aku hendak menghampiri penjual sapu. Seorang kakek tua, kasihan sekali. Tapi sayangnya aku belum sempat menuju beliau. Hehe." Jeje menampakkan mata sipitnya saat tertawa kecil.
Saat mereka masih sedikit berbincang, tuan besar memasuki kamar Jeje bersama dengan pak Han.
"Papa?" sapa Jeje sumringah.
"Selamat siang, Om." Tian menyapa Papa dengan ramah.
Sementara Juno sengaja berpura tidak mengetahui kehadiran Papanya dan hanya sibuk dengan ponselnya.
"Apa kita pernah bertemu?" Tanya Papa yang memindai sosok Tian di hadapannya.
"Pernah, lima belas tahun yang lalu, Om." Jawab Tian sambil senyum.
"Lima belas tahun yang lalu?" gumam Papa. Beliau mencoba untuk mengingat, namun belum dapat menemukan memori mengenai bocah itu.
Tian lalu menjulurkan tangannya. "Tian, Om."
"Oh ya ampun, Tian teman Joni saat di desa. Benar, 'kan?" Papa menyambut tangan pria itu. "Ah penampilanmu berbeda sekali, Tian. Maafkan aku, aku cukup sulit untuk mengenali seseorang yang telah lama tidak berjumpa," imbuh Papa.
Tian tersenyum samar. "Bagaimana keadaan anda? Anda nampak sehat," ujarnya.
"Selalu baik dan sehat. Kamu juga tumbuh dengan baik, Tian. Tampan." Puji Papa yang berhasil membuat Tian tersipu.
Tanpa basa basi ataupun permisi, Juno tiba-tiba keluar dengan bicara pada telepon. Dia bahkan tidak melirik Papa sedikitpun. Hal itu karena … dia masih merasa tidak nyaman setelah apa yang terjadi di perusahaan.
"Pa …," sapa Jeje lagi. "Kenalan sama Tiannya sudah? Anak perempuannya sedang sakit nih, eh malah diabaikan," ujar Jeje sembari merengut manja.
Papa segera menghampiri putrinya itu dan mengusap pelan kepalanya, sama persis dengan yang dilakukan oleh Juno sebelumnya.
Jelas sekali kalau Papa sangat menyayangi putrinya itu.
***