"Bagaimana keadaan dia, Dok?" Tian segera berdiri saat dokter Helen menghampiri mereka.
Dokter Helen tersenyum melihat kekhawatiran di wajah Tian. "Kalau dampak dari serempet mobil tadi, hanya lecet dan sedikit memar di tubuhnya," ujar dokter nan cantik berambut ikal panjang itu.
"Cuma lecet dan memar tapi dia pingsan se-lama ini? Sudah lebih tiga puluh menit?" Juno memperhatikan jam tangannya.
"Mungkin dia lelah karena hal lain," sahut dokter Helen. "Dia hanya butuh istirahat, dia baik-baik saja," imbuhnya lagi.
"Aku pergi dulu, untuk obat dan vitamin aku sudah meletakannya di meja." DOkter Helen berpamitan.
Tian mengangguk pelan.
"Aku akan mengantarmu sampai depan," ujar Juno yang bergegas untuk pergi. Namun doktr Helen menahannya.
"Tidak perlu, kamu jaga saja Jeje. Lagipula aku sama asisten, 'kan?" sahut dokter Helen dengan manis. Tanpa basa basi lagi, dokter Helen pergi dengan sebelumnya kembali menyunggingkan senyuman pada Juno.
Sikap Juno itu ternyata diperhatikan oleh Tian yang berdiri di dekatnya. "Kamu suka sama dokter itu?" tanya Tian yang segera membuyarkan senyuman Juno.
"Apa? Ah aku tidak menyukai perempuan yang lebih tua," sahut Juno yang segera kembali duduk.
"Alasan deh ya. Bilang saja kalau kamu memang tidak menyukai perempuan!" celetuk kembaran Juno yang baru saja tersadar. Dia bahkan masih terbaring di tempat tidurnya.
"Weh … kamu baru sadar sudah ngajak rebut, ya?" Juno segera memicingkan matanya kearah Jeje yang tertawa geli.
"Jujur saja, Juno. Berita yang ada di surat kabar beberapa waktu lalu itu adalah fakta, 'kan? Itu juga yang menjadi alasan kamu bicara tentang 'perbedaan' ketertarikan saat jumpa pers. Benar, 'kan?" ujar Jeje lagi.
Juno mendengkus. Sama sekali sedang tidak ingin membahas mengenai hal itu, dia merasa sangat kesal dengan kalimat saudarinya itu. Segera saja dia minum dan kembali menikmati cemilannya.
"Kamu sudah baikan?" tanya Tian yang menghampiri Jeje di tempat tidurnya.
Perempuan itu sudah berposisi duduk degan dibantu oleh seorang pelayan sebelumnya. Jeje mengangguk pelan seraya tersenyum sebagai jawban dari pertanyaan Tian.
"Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja," ujarnya lagi.
"Ya bagaimana tidak khawatir. Kamu memarkirkan mobil di depan kafe tapi malah nyeberang jalan. Kamu seperti sengaja mau celaka, tahu?" Tian agak kesal, dia beberapa kali menggelengkan kepalanya saat mengingat sikap Jeje.
"Ah aku hendak menghampiri penjual sapu. Seorang kakek tua, kasihan sekali. Tapi sayangnya aku belum sempat menuju beliau. Hehe." Jeje menampakkan mata sipitnya saat tertawa kecil.
Saat mereka masih sedikit berbincang, tuan besar memasuki kamar Jeje bersama dengan pak Han.
"Papa?" sapa Jeje sumringah.
"Selamat siang, Om." Tian menyapa Papa dengan ramah.
Sementara Juno sengaja berpura tidak mengetahui kehadiran Papanya dan hanya sibuk dengan ponselnya.
"Apa kita pernah bertemu?" Tanya Papa yang memindai sosok Tian di hadapannya.
"Pernah, lima belas tahun yang lalu, Om." Jawab Tian sambil senyum.
"Lima belas tahun yang lalu?" gumam Papa. Beliau mencoba untuk mengingat, namun belum dapat menemukan memori mengenai bocah itu.
Tian lalu menjulurkan tangannya. "Tian, Om."
"Oh ya ampun, Tian teman Joni saat di desa. Benar, 'kan?" Papa menyambut tangan pria itu. "Ah penampilanmu berbeda sekali, Tian. Maafkan aku, aku cukup sulit untuk mengenali seseorang yang telah lama tidak berjumpa," imbuh Papa.
Tian tersenyum samar. "Bagaimana keadaan anda? Anda nampak sehat," ujarnya.
"Selalu baik dan sehat. Kamu juga tumbuh dengan baik, Tian. Tampan." Puji Papa yang berhasil membuat Tian tersipu.
Tanpa basa basi ataupun permisi, Juno tiba-tiba keluar dengan bicara pada telepon. Dia bahkan tidak melirik Papa sedikitpun. Hal itu karena … dia masih merasa tidak nyaman setelah apa yang terjadi di perusahaan.
"Pa …," sapa Jeje lagi. "Kenalan sama Tiannya sudah? Anak perempuannya sedang sakit nih, eh malah diabaikan," ujar Jeje sembari merengut manja.
Papa segera menghampiri putrinya itu dan mengusap pelan kepalanya, sama persis dengan yang dilakukan oleh Juno sebelumnya.
Jelas sekali kalau Papa sangat menyayangi putrinya itu.
***
"Maaf membuatmu menunggu lama." Dokter Helen menghampiri seorang pria muda berambut pirang yang telah sejak beberapa menit lalu menunggunya di resto hotel.
"Kamu tadi memeriksa Jeje, 'kan? Bagaimana keadaannya?" tanya Joni singkat.
"Loh kamu belum ada pulang?" tanya dokter Helen heran.
Joni hanya menggeleng kecil.
"Seharusnya kamu cepet pulang saat tahu kalau adik perempuanmu sakit." Helen mehela napas panjang.
"Dia baik, tidak ada masalah yang serius," imbunya.
"Syukurlah," ucap Joni yang segera meminum perlahan kopi panasnya.
Helen mengamati pria muda yang duduk di hadapannya itu, Joni terlihat sedikit lelah dan kurang sehat.
"Kamu baik-baik saa? Kamu terlihat tidak sehat, Jon."
Joni mengabaikan pertanyaan itu. Dia malah menatap dokter cantik dengan ekspresi datar. "Jika kamu menjadi adikku, apa kamu akan bangga memiliki kakak sepertiku?" tanyanya.
Helen seketika tersenyum. "Bangga banget. Punya saudara laki-laki yang cerdas, berbakat dan bijaksana. Kamu itu pemimpin yang baik, Jon."
Mendengar pujian dari Helen, Joni kembali memandangnya dengan mata cokelatnya yang sayu.
"Kalau kamu jadi Juno, apa yang bakal kamu lakukan ke aku?" tanya Joni lagi.
"Maksudmu?" Helen mengernyitkan dahi.
"Huh … Aku tahu dia tidak tertarik dengan bisnis hotel sejak awal. Tapi seharusnya dia tidak melakukan ini … Argh! Aku dalam situasi yang rumit kemarin. Sekarang, dia dipecat Papa dengan tidak hormat. Apa dia bakalan maafin aku?" Joni memijat pelan kepalanya yang terasa pening.
"Seharusnya bisa, karena dia tidak punya hak untuk marah sama kamu. Kamu sudah melakukan yang terbaik bagi seorang pemimpin hotel."
"Tapi seharusnya aku bela dia dihadapan Papa, 'kan? Yah setidaknya berita yang tidak benar itu tidak memburukkan namanya." Joni menarik napas panjang.
"Kalau menurutku, ini bagus untuk dia. Dia jadi lebih bisa berfikir dewasa dan lebih memikirkan nasib orang banyak. Dia harus berubah, Jon. Lagipula seperti yang kukatakan tadi, kamu pemimpin terbaik." Helen kembali tersenyum.
"Tapi aku kakak yang buruk."
"Minum ini. Kamu harus banyak istirahat. Kalau perlu, kamu tidak usah pergi kerja untuk sementara hingga pikiranmu tenang. Aku pergi dulu …," ujar Helen yang meletakkan vitamin kepada Joni dan segera pergi meninggalkan Joni bersama dengan kopi panasnya.
"Maaf Tuan, ada telpon dari Tuan Yoshimoro." Beni menghampiri Joni dengan bergegas.
"Halo …." Joni melihati jam tangannya dan segera pergi. Dia akan pulang untuk menjemput papa dan mengantarnya ke Bandara.
Sementara itu dirumah, Jeje masih cemberut kesal.
"Papa baru dua hari disini, kita saja belum sempat pergi jalan atau berlibur …," kata Jeje yang bermanja pada Papa.
"Ah ya ampun kekanakan. Kamu harus punya kinerja bagus di hotel supaya kamu bisa nyusul Papa ke Macau," ujar Papa mengelus rambut Jeje.
Papa sedikit celingukan seperti sedang mencari sesuatu. "Juno … di kamar, Pa. Dia tidak angkat telepon sejak tadi," sahut Jeje.
"Pak Han. Tolong bawakan barang-barangku ke bawah duluan," perintah Papa.
Beliau segera menghampiri kamar putranya yang beberapa waktu belakangan mulai berjarak dengan beliau.
Saat hendak mengetuk pintu, Papa memilih untuk mengecek dan rupanya pintu kamar Juno tidak terkunci. Beliau segera saja masuk dan didapatinya anaknya itu sedang terbaring di tempat tidurnya.
Papa berjalan mendekati Juno yang tidur miring, lalu beliau membenarkan selimut Juno dengan tanpa bersuara lalu keluar dan segera pergi.
Beberapa detik setelah papa menutup pintu kamarnya, Juno membuka mata dan langsung duduk. Dia mengacak-acak rambutnya yang sama sekali tidak gatal.
***