Semenjak lulus kuliah dan disibukkan dengan urusan kantor, perhotelan, bisnis dan urusan kehidupan lainnya, Juno, Joni, dan Jeje tidak pernah lagi bertemu dan berkumpul dengan teman-temannya.
Walau hanya untuk sekedar nongkrong, mereka telah memiliki kesibukan masing-masing yang tidak mudah untuk ditinggalkan.
Beberapa teman Joni di tim sepak bola kampus telah memiliki karir mereka di bidang yang berbeda, namun ada pula diantaranya yang masih bermain dan bahkan telah menjadi salah satu pemain tim Nasional muda.
Joni merasa bangga, walau dia hanya mampu menonton dari layar TV namun dia dapat merasakan energy dari teman satu timnya dulu.
Beruntungnya mereka adalah saudara yang tinggal serumah, sehingga mereka masih dapat bertemu dan sesekali berbincang selayaknya teman. Semuanya sibuk, itulah alasan utamanya.
Terkecuali dengan Juno yang sudah menganggur sejak beberapa waktu lalu. Dia tidak pernah keluar rumah bukan karena melakukan suatu kesibukan, namun dia hanya malas dan akan keluar setelah semua konflik dan rumor mengenai hotel dan dirinya benar-benar bersih.
Di ruangan Joni yang hening, pria pirang itu dikejutkan dengan kehadiran Beni, sekretarisnya yang sangat tiba-tiba baginya.
"Dampak dari skandal dan kabar buruk mengenai hotel dan penyimpangan Tuan Juno, banyak investor yang mengurungkan niat untuk menambah investasinya di kita, Tuan." Kata Beni yang telah berdiri di dekat Joni sejak beberapa detik lalu.
Joni menarik napas panjang. "Undang mereka untuk berbincang, kita berikan pelayanan terbaik lalu sajikan presentasi mengenai semua keunggulan dan yakinkan kembali kalau hal itu memang hanya rumor yang sudah diklarifikasi dan tidak akan mempengaruhi kinerja hotel."
"Aku sedang mempelajari proyek tempat pembelanjaan yang sebelumnya dirancang oleh tim Juno. Kurasa jika ini sudah benar-benar siap, maka kita akan lebih mudah kembali mendapatkan hati para investor. Perlahan … kalem. Oke?" ujar Joni seraya menyandarkan tubuhnya pada kursi.
"Baik, Tuan. Pimpinan dari perusahaan furniture Ocare juga ingin bertemu dengan anda akhir pekan ini jika anda senggang."
"Aku senggang, tentukan saja waktu dan tempatnya."
"Baik, Tuan." Beni mengangguk pelan. Dia hendak segera pergi namun Joni menahannya.
"Bagaimana pendapatmu tentang Om Tama? Apakah dia bisa untuk dijadikan pengganti Juno? Ah aku membutuhkan sosok pengganti dengan segera."
"Maaf, Tuan. Tapi bukankah selama ini Pak Tama tidak memiliki prestasi apapun? Saya rasa, beliau juga sudah tepat di posisinya yang sekarang," jawab Beni memberikan pendapatnya.
"Tapi aku juga tidak memiliki prestasi. Hanya karena anak dari pemilik hotel, maka aku menjadi pimpinan," gumam Joni. Dia lalu mehelakan napas panjang.
"Ah baiklah. Terimakasih atas pendapatmu, kurasa aku akan melakukan dua tugas secara bersamaan untuk sementara waktu. Begitu, 'kan? Ah ini benar-benar diluar dugaan awal," ujarnya sedikit memijat dahi.
Secangkir kopi yang sudah dingin diseruputnya dan kembali menyandarkan tubuh dengan santai.
Beni yang sudah tidak ada keperluan segera berpamitan untuk kembali melakukan pekerjaannya.
.
.
Di sisi kantor yang berbeda, seorang pria muda berambut hitam dan bermata sipit memasuki lift dan membuat semua orang yang melihatnya menjadi sedikit canggung karena penampilannya. Sepatu kets abu yang serasi dengan warna celana jeansnya, kaos putih dibagian dalam dengan jaket abu yang lengannya ditarik untuk memamerkan otot lengan bawahnya.
Pria muda itu berjalan dengan wajah tanpa dosanya, dia bahkan mengenakan kacamta saat seua orang menatapnya bingung.
Beberapa diantara para karyawan bahkan berbisik mengenai rumor yang belum usai dan nasib dari pria muda yang mereka kenal itu.
Juno hanya menarik napas panjang dengan sedikit menyunggingkan senyumnya.
"Ah mereka tidak sopan sekali, berbisik tentangku tepat di sampingku. Dasar orang-orang yang hidupnya damai," gerutu Juno saat ia keluar dari lift.
Segera saja dia berjalan menuju ruangan kembarannya yang mash puyeng dengan banyak urusan.
'Klek!'
Dibukanya pintu tanpa permisi. Pria pemilik ruangan hanya meliriknya tidak begitu minat, dia hanya menduga itu adalah salah satu karyawan yang hendak menyerahkan pekerjaan.
Namun ternyata dugaannya salah.
"Makan siang bareng, yuk!" ajak Juno dengan senyum lebarnya, sungguh terlihat ceria tanpa beban. Dia masuk dan segera duduk di sofa dengan sangat santai.
Joni terkejut, namun dia tidak ingin merespon secara berlebihan.
Keduanya segera pergi ke resto hotel. Lagi-lagi semua karyawan memandangi Juno yang datang tidak dengan pakaian formal.
"Coba lihat. Mereka semua memperhatikanku. Aku yakin mereka sedang mengagumi ketampanan dan caraku berpakaian yang keren," celetuk Juno seraya tertawa ringan. Dia lalu memakan hidangan yang dipesan oleh Joni.
Joni hanya mengunyah sambil memperhatikan sikap kembarannya yang masih saja konyol.
"Jun …," ujar Joni lirih.
"Hmm …," Juno terus memasukan makanan kedalam mulutnya.
"Maaf."
"Untuk apa?"
"Semuanya." Joni memandang sekitar. Juno mengikuti pandangan kembarannya itu, ia lalu tersenyum.
"Kamu minta maaf? Waah seharusnya kamu harus minta maaf sama hotel ini ya. Hotel ini memang sejak awal tidak layak untuk dipimpin oleh orang macam aku. Kamulah yang paling cocok, berbakat dan cerdas." Juno menatap Joni lekat.
"Kamu memujiku?" ucap Joni polos.
"Tidak. Aku hanya menyampaikan apa yang disampaikan oleh media tentangmu," sahut Juno melanjutkan makan.
"Ish! Jadi, sebenarnya tujuan kamu datang kemari itu apa?"
Juno sedikit menggaruk tengkuknya. "Kalau aku bilang, aku kangen kamu. Kamu percaya tidak?"
"Tidak," sahut Joni tanpa piker panjang. Dia lalu menopang dagu dan menatap Juno sambil terus mengunyah.
Juno menggaruk bagian pipinya. "Kenapa?"
"Ya karena mustahil kamu kangen sama aku, kita tinggal satu atap. Jadi, aku tidak percaya."
"Ah bukan itu. Ini kenapa wajahku mulai gatal-gatal …," Juno mulai sibuk mengusap kasar wajahnya.
"Wajah kamu merah banget. Apa itu alergi?" tanya Joni.
"Ah yang benar saja." Juno segera mengambil ponsel dan bercermin. "Sialan! Wajah tampanku ya ampun! Kamu tadi memesan makanan apa ini memangnya? telur?" Tanya Juno dengan nada tinggi mulai kesal.
Joni menyuap makanannya. "Aku tidak tahu apa ini ada campurannya telur, ini kesukaanku makanya aku pesan. Hehe" wajah polos Joni membuat Juno semakin kesal.
"Ya ampun. Aku membutuhkan susu murni, tolong segera." Juno bicara dengan pelayan yang kebetulan lewat.
Terus saja dia menggerutu dan merengut kesal. "Tapi enak memang," gumamnya.
Kedua pria tampan bersaudara itu pergi ke klinik yang disediakan oleh hotel, mereka meminta obat untuk Juno yang nyaris berubah wujud.
"Aku heran, kenapa diantara kita bertiga hanya Jeje yang tidak memiliki alergi," ujar Joni.
"Emm kurasa karena dia perempuan," sahut Juno santai sambil mengompres wajahnya dengan tisu yang telah dibasahi oleh cairan obat agar wajahnya dingin.
"Memangnya kalau perempuan tidak bisa alergi? Kamu dapat ilmu darimana itu?" ujar Joni lagi.
"Entahlah. Aku sedang malas berpikir."
***