"Herjuno Pambudi, Direktur Grand Luxury Pambudi Hotel Jakarta diberhentikan oleh ayahnya sendiri."
Sebuah surat kabar tergeletak di meja kafe, di depan seorang perempuan yang sedang mengaduk malas minuman dinginnya.
Baru beberapa menit yang lalu, ia juga mendengar siaran di TV mengenai kabar yang sama. Entah sudah berapa kali perempuan itu mehela napas panjang dengan tatapan yang kosong.
"Argh! Kondisinya semakin buruk …," gumam perempuan itu. Detik berikutnya ia menggeletakkan kepalanya diatas meja dengan menatap gelasnya yang basah karena air minumnya yang mengembun.
"Kondisi hidup seseorang itu tidak selamanya baik, bukan?" ujar seorang pria yang mengagetkan Jeje.
Segera saja Jeje mengangkat kepala untuk menatap pria itu, lalu kembali menggeletakkan kepalanya setelah melihat sosok Tian yang telah duduk di kursi di hadapannya.
"Ini kondisi terparah yang pernah ada dalam hidupku. Tidak. Kurasa ini terburuk dalam hidup kami sekeluarga. Argh! Juno pasti akan gila karena masalah ini," dengkus Jeje.
"Kurasa dia tidak akan gila," sahut Tian.
"Kenapa?"
"Ya karena dia tidak memikirkan masalah ini. Kukira dia memang orang yang seperti itu, 'kan?" kata Tian lagi.
"Ah benar juga. Dia memang tidak dapat berpikir, makanya banyak masalah yang dia ciptakan," keluh Jeje seraya kembali mengangkat kepalanya dan merapikan diri.
"Juno tidak bisa berpikir? Sama dengan saudarinya berarti ya?" gumam Tian sedikit nyaring. Tatapannya terarah pada Jeje yang baru hendak minum.
"Apa? Maksudmu aku juga tidak bisa berpikir?" Jeje mengerutkan dahinya dan menatap kesal pria itu.
Tian hanya tertawa kecil. Seorang pelayan mengantarkan minuman yang telah ia pesan.
Jeje masih banyak diam. Sebenarnya dia sangat ingin berbagi cerita, namun dia merasa tidak ada lagi hal yang perlu diceritakan karena Tian telah mengetahui hamper semua masalah yang ia alami.
Tian memandangi perempuan itu, Jeje sungguh kehilangan keceriaannya kali ini. Sangat berbeda dengan sosok penuh emosi yang bisa berubah sewaktu-waktku. Kini hanya diam dengan emosi yang tidak dapat ditebak oleh Tian.
Tian mencoba untuk membangun suasana dengan membahas tentang hal kesukaan Jeje, seperti basket. Namun hal itu hanya ditanggapi dengan anggukan dan tatapan yang jelas tidak sedang terfokus pada topic pembicaraannya.
Tian sedang membuka ponsel hendak membelikan obat atau semacamnya untuk Jeje, namun perempuan itu sudah berpamitan dan mengatakan ingin istirahat.
Tian berdecak. "Kalau kamu tidak ingin di tempat ramai, harusnya memang dirumah saja. diluar terlalu bising dan menambah penat kepalamu," ujar pria itu yang hanya direspon senyum kecil oleh Jeje.
"Kamu bisa pulang sendiri?" tanya Tian saat melihat Jeje yang tidak begitu focus.
"Ah aman. Aku membawa mobil," sahut Jeje menunjukkan kunci mobilnya.
"Emm …," Tian hanya mengangguk dan membiarkan Jeje keluar dari kafe.
Perempuan itu Nampak hendak menabrak seorang pengunjung di depan pintu, hal itu membuat Tian tidak ingin mengalihkan perhatiannya dari perempuan itu.
Jeje hendak menyeberang, namun belum sempat ia melangkah jauh, sebuah mobil yang melaju kencang dari jalur kiri menyerempetnya hingga membuat tubuh Jeje terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Semua orang disekitaran segera histeris dan meneriaki pengemudi ang kebut-kebutan, sayangnya pengemdi itu segera kabur terlebih saat melihat Jeje yang tergeletak di tepi jalan.
Tian segera bangkit dan keluar untuk menghampiri Jeje. Pria itu mencoba menyadarkan Jeje, beberapa kali dia menepuk pelan bahu serta wajah Jeje namun tidak ada respon.
Tian menarik napas panjang. Dia mencari-cari kunci mobil pada saku setelan Jeje. Digenggamnya erat kunci mobil mewah itu, Tian mencoba untuk meyakinkan diri kalau dirinya bisa menyetir.
"Huhh, apakah ini musibah untukku juga? Aku bahkan tidak tahu dimana rumahnya," gumam Tian yang menggendong tubuh Jeje lalu membawanya ke mobil dengan bantuan beberapa orang disana.
Setelah sebelumnya Tian juga bingung mencari mobilmilik Jeje, akhirnya dia mendapati mobil mewah yang terparkir di halaman kafe, arah kanan dari pintu masuk.
"Disini? Lalu kenapa dia menyeberang? Ah ya ampun Jeje!" geram Tian yang tidak habis piker dengan sikap Jeje hari ini.
Beruntung teknologi sudah sangat maju, sehingga dia tidak kesulitan untuk menemukan rumah keluarga Pambudi yang terkenal.
Mulai menyetir, Tian sangat berhati-hati dan beberapa kali dia menoleh ke kursi belakang untuk memastikan kalau keadaan Jeje baik-baik saja.
Belum begitu mahir mengemudi, Tian merasa gugup kali ini.
Dia mulai memasuki kawasan perumahan elit yang akan sangat mustahil untuk menemukan rumah sederhana disana.
Sebuah rumah megah yang merupakan yang paling besar dan luas mencuri perhatian Tian. Sebuah lambang yang berada di pagar tingginya membuat Tian yakin kalau itu adalah rumah keluarga Pambudi, lambing yang sama dengan milik perusahaan, juga sama dengan lencana yang sering dibawa oleh Jeje.
"Waahhh," mulut Tian nyaris menganga sangat lebar. Rumah mewah dengan tiga lantai dan halaman yang sangat luas itu sungguh membuat mata nyaman untuk memandangnya.
Segera saja dia menghampiri penjaga dan mengatakan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman.
Para pelayan juga penjaga menyambut Tian yang tengah menggendong Nona muda mereka. Semua mata tertuju pada tubuh Jeje yang terluka dan tidak sadarkan diri.
"Bisakah tolong antar aku menuju kamar dia? Sekalian bawakan obat atau mungkin kalian panggil dokter …," ujar Tian.
Para pelayan segera mengangguk setuju.
"Mari lewat sini," Pak Irawan memimpin langkah Tian menuju lantai tiga ke kamar Jeje.
Lelah. Sesampainya di kamar Nona muda itu, Tian segera menggeletakkan tubuh Jeje di tempat tidur.
"Ah ya ampun, kamu berat juga rupanya," keluh Tian.
Kalimat sesungguhnya yang ingin dia katakana adalah 'Ah ya ampun kamar kamu jauh sekali.' Namun dia tidak mengatakannya karena hal itu akan membuatnya merasa terganggu.
Napas Tian tersengal, peluhnya membasahi dahi namun dia berhasil mengatur napas dan istirahat sejenak.
Juno, si bungsu yang semula sedang mendengarkan music dengan headset di ayunan dekat kolam, segera menuju kamar saudarinya saat ia melihat saudarinya itu digendong oleh pria asing dan ditemani banyak pelayan.
"Kenapa dia?" Tanya Juno yang berdiri didekat pintu. Pandangannya tertuju pada Jeje yang belum sadarkan diri dan diurus oleh seorang pelayan.
"Diserempet mobil," sahut Tian masih sambil mengatur napas.
"Eh seharusnya dia bilang sama mobilnya, 'jangan serempet aku'." Juno menghampiri saudarinya.
Plak!
Tian spontan memukul pelan kepala Juno.
"Ish!" Juno segera mengelus kepalanya dan menatap Tian kesal.
"Dia sedang tidak focus! Pikirannya terbagi karena masalah dan juga dirimu!" ujar Tian.
"Dia memikirkanku? Sejak kapan? Yang kutahu kalau dia selalu memikirkan kamu," celetuk Juno yang segera duduk di tepi tempat tidur Jeje seraya mengelus pelan kepala saudarinya itu.
"Apa?" Tian membenarkan pendengarannya.
"Apa? Aku tadi mengatakan apa?" Tanya Juno balik dengan menampakkan wajah lugunya.
"Mana air hangatnya? Sambil menunggu dokter, kurasa kita bisa sambil mengompresnya." Juno mengedarkan pandangannya, belum terlihat olehnya pelayan yang membawakan air hangat ataupun obat untuk Jeje.
Hampir saja kesal, Juno kembali mereda saat dokter Helen tiba.
***