Dengan masih mengenakan kemeja dan celana kainnya, Joni bahkan belum membersihkan diri sejak pulang saat senja.
Cuaca malam yang sedikit dingin dan lembab sama sekali tidak membuatnya merasa tidak nyaman.
Secangkir kopi panas dipegangnya sembari berjalan-jalan mengelilingi kolam renang. Nampak sangat kacau, kemejanya tidak lagi rapi, dia sungguh terlihat lusuh dan menyedihkan.
Pikirannya buntu, dia sama sekali tidak dapat memikirkan apapun lagi untuk sekarang. Masalah pekerjaan mungkin masih dapat dia urus sendiri, namun masalah dari si bungsu sungguh membuat kepalanya penat.
Bagaimana tidak, hanya dalam waktu satu minggu, Juno telah memiliki tiga masalah besar yang membuat nama hotel tersorot banyak media. Walau sebagian masih dapat ditutup oleh pihak keluarga dan perusahaan, namun tidak sedikit juga media yang masih memberitakan mengenakan kasus Juno, terutama mengenai skandal romansanya yang sempat menjadi headline sebuah surat kabar.
Berkali-kali Juno mendengkus, pandangannya kosong terarah pada air kolam yang tenang. Detik berikutnya, Joni segera mengambil ponsel di saku dan menelepon Beni.
"Halo, bisakah kamu pastikan apakah semua hal ini sudah sampai ke Papa atau belum? Jika belum, ku minta kamu untuk mencegah hal itu untuk sampai kepada Papa. Kamu mengerti?" ujar Joni tanpa jeda.
Dia segera mematikan panggilannya bahkan sebelum asistennya itu sempat memberikan jawaban.
Tangan kanan masih memegangi cangkir kopi, tangan kiri menggenggam ponsel. Joni sungguh Nampak seperti orang paling sibuk dan paling setres di seluruh penjuru kota.
Jeje keluar dari kamar, dia semula hendak turun untuk mengambil makana, namun langkahnya terhenti saat melihat saudara tertuanya berada di tepi kolam.
"Kamu jangan memaksakan diri untuk memikirkan semuanya sendiri, Jon. Kita bisa menyelesaikan ini bersama. Kamu tenangkan pikiranmu, lalu kita cari solusinya." Jeje duduk di ayunan dengan menatap kembarannya itu.
"Aku tidak memikirkan apapun, kamu tahu? Kepalaku terlalu penat bahkan hanya untuk mengingat kalau kita memiliki banyak masalah seperti ini," sahut Joni setelah menarik napas panjang.
"Kamu tahu mengenai peraturan penertiban karyawan bermasalah?" tanya Joni lagi, Jeje menggeleng sekenanya.
Joni menyeruput kopinya terlebih dahulu. "Karyawan yang memiliki masalah bahkan sampai membuat pasar kita turun sepuluh persen, maka dia harus dirumahkan."
"Ehh?" Jeje sedikit terkejut dengan jawaban Joni. "Tapi bukankah seharusnya mereka mengganti rugi terlebih dulu? Mereka harus bertanggung jawab dan mengembalikan keadaan seperti semula?" tanyanya.
"Benar. Tapi jika ada banyak masalah seperti ini, apa menurutmu bisa diselesaikan dengan mudah. Kita akan mendapat kerugian banyak. Angka kita bahkan menurun banyak setelah desas desus mengenai dia yang menggunakan uang kantor untuk keperluan pribadi, ditambah lagi dengan berita di surat kabar itu …."
"Ahh apa kamu hanya memikirkan tentang bisnis, kantor, perusahaan? Kamu tidak memikirkan tentang Juno?" ujar Jeje dengan suara agak meninggi.
Joni menatapnya segera.
"Apakah pekerjaan dan jabatanmu membuatmu buta akan saudaramu sendiri, Jon? Kamu harus tahu kalau dengan masalah ini bukan hanya perusahaan yang dirugikan, tapi juga dia, adik kandungmu!" tambah Jeje mulai kesal.
Joni mengalihkan pandangannya, jelas sekali genggamannya menjadi semakin erat setelah mendengar kaliamt dari Jeje.
"Apa rugi yang dia dapat? Dia membeli apartemen. Dia juga popular. Kukira memang itulah yang dia inginkan," sahut Joni.
"Ah sial! Aku tidak paham dengan pikiranmu, Jon. apia pa kamu mempercayai semua berita itu begitu saja? Bukankah kamu juga paham kalau berita ataupun laporan keuangan, itu semua bisa dimanipulasi."
"Itu laporan dengan dasar fakta, Je. Semuanya terlampir disana, jelas sekali ada bukti pembayaran atas nama dia dan bahkan dibubuhi tanda tangan. Apa menurutmu itu palsu?" ujar Joni lagi.
Jeje terdiam. Kali ini dia harus setuju dengan Joni, walau dirinya masih sangat tidak mempercayai hal itu.
"Lalu apakah dia mengakuinya? Kurasa tidak, 'kan?"
Joni meneguk kopinya, dia mengabaikan pertanyaan kembarannya itu begitu saja.
Jeje mengayun pelan hingga tubuhnya diterpa angina dan membuat kepalanya sedikit sejuk.
"Apakah kita perlu mengadakan konferensi pers?" ucapnya tidak begitu nyaring.
"Konferensi pers untuk mengelak kalau dia menggunakan uang perusahaan? Jangan konyol," sahut Joni.
"Ah bukan itu. Maksudku, untuk masalah yang ada di surat kabar." Jeje segera merevisi kaliamatnya.
Joni masih tidak berminat untuk memberikan tanggapannya. Dia kembali diam dan menatap air kolam yang tenang.
Suara pintu tertutup dan langkah pelan menghampiri kedua saudara yang sedang berbincang. Jeje segera menatap Juno yang mengampirinya.
Si bungsu kini sedang mengenakan jaket tebal dengan penampilan biasa saat dia hendak pergi bersama teman-temannya. Hanya saja, kali ini dia memiliki beberapa lebam yang membuat wajahnya tidak terlihat biasa.
"Je, aku pinjam mobil kamu dong. Aku mau keluar sebentar," ujar Juno yang megikat rambutnya yang masih saja panjang.
"Wih mau kemana kamu? Ganteng banget," puji Jeje seraya menyerahkan kunci mobil yang sedari tadi ada di sakunya.
"Ada urusan sebentar. Aku akan pulang saat jam sebelas, kurasa." Juno melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 09.30 malam.
Juno segera berbalik untuk pergi dengan mengabaikan keberadaan Joni yang masih memandangi kolam dengan bergeming.
"Ah, Jun! Besok kamu datang ke kantor jangan sampai kesiangan ya!" teriak Jeje saat Juno telah hamper sampai tangga.
Juno segera berbalik, "Aku selalu tepat waktu," sahutnya santai.
"Baguslah. Besok aka nada konferensi pers untuk kasus 'gay'," ujar Jeje lagi.
"Ehh? Siapa yang memberimu ijin untuk melakukan hal seperti itu?" sahut Joni yang sangat terkejut.
"Emm kurasa tuan Komisaris baru saja memberiku ijin karena saat aku mengajukan ide, beliau diam seraya mengangguk," jawab Jeje dengan senyum lebarnya.
Joni bengong, dia nyaris saja mengumpat namun tengkuknya mendadak nyeri sehingga membuatnya hanya mendengkus.
Juno sempat melirik Joni, namun dia kembali kembali pada Jeje. "Emm, aku akan datang tepat waktu besok. Kamu kabari saja apa yang harus kupersiapkan dan apa yang akan kulakukan di acara itu," ujar Juno yang sama sekali tidak keberatan.
"Ah tidak perlu menyiapkan apapun. Hanya perlu datang dan mengklarifikasi semuanya, jika ada pertanyaan maka kamu menjawab. Tapi kurasa bisa saja kita tiadakan sesi Tanya jawab. Bagaimana menurutmu?" tanya Jeje.
"Emm aku nurut saja. Aku pergi dulu," kata Juno yang segera melanjutkan jalannya.
"Hati-hati ya dedek! Jangan ngebut!" teriak Jeje yang hanya dijawab Juno dengan isyarat 'OK'.
Joni masih menatap Jeje lekat, dia kesal namun dia juga tidak dapat melarang karena ide itu tidak begitu buruk. Hanya saja … terlalu mendadak sehingga mereka belum tahu apakah ini akan berjalan sesuai harapan.
Jeje kembali tersenyum pada Joni, dia lalu pergi ke lantai bawah untuk mengambil makanan. Dia juga menghubungi beberapa orang kantor yang sekira dapat dia mintai bantuan mengenai acara besok.
Jeje menarik napas panjang, dia sungguh tidak berpikir panjang, namun tujuannya adalah selain untuk membersihkan nama perusahaan, dia juga ingin saudara bungsunya tidak lagi murung karena masalah yang bertubi.
***