Hujan ringan mengguyur kota sejak beberapa menit yang lalu. Cuaca yang mendadak mendung dan menurunkan hujan membuat Jeje bingung. Dia baru saja meninggalkan lapangan basket di taman kota, namun hujan segera turun seolah mengiringi perjalanan selanjutnya.
Mobil Jeje berhenti di depan kantor polisi, rupanya disaat yang bersamaan, saudara tertuanya juga baru saja tiba. Keduanya sempat saling pandang dengan helaan napas panjang sebelum akhirnya bergegas masuk.
Di dalam kantor polisi, mereka berdua sedikit terkejut saat melihat Juno yang sedang diborgol kedua tangannya sedang menikmati makanan dengan didampingi oleh Hendra.
Joni menarik napas panjang, dia dapat merasakan kepalanya yang penat dengan mendadak.
"Hey! Jelaskan kepada kami tentang apa yang sebenarnya teradi dan kenapa kamu sampai ada disini!" Joni dan Jeje menghampiri Juno yang sedang mengunyah dengan santai.
"Eh? Kukira kalian sudah tahu detil ceritanya," sahut si bungsu seraya menatap kedua kembarannya dengan mata yang lebam. Pipi kirinya juga memar, jelas sekali kalau sudut bibirnya terluka hingga berdarah namun telah dibersihkan olehnya.
Joni kembali mehela napas panjang, dia menatap Juno lekat, diperhatikannya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Seharusnya kamu bisa menahan emosimu, Jun. Sikap dan semua perilakumu itu sangat berpengaruh terhadap perusahaan, kamu tahu 'kan kalau hal semacam ini bisa merusak citra dan berdampak pada berkurangnya pengunjung hotel," ujar Joni yang langsung berbicara panjang dan lebar.
Juno tidak begitu menghiraukan, dia merespon sambil melanjutkan makannya. "Dia sudah sangat kelewatan, keras kepala, mengotot dan berkata-kata kasar. Aku sudah tidak tahan, langsung saja kuhajar dia," jawab si bungsu.
"Kamu yang menghajar dia? Kurasa kamulah yang baru dihabisi olehnya," celetuk Joni seraya melirik tamu VVIP hotel mereka yang baru saja berkelahi dengan Juno. Pria berbadan gempal itu nampak baik-baik saja dan tidak lebam seperti kembarannya.
"Emm setidaknya aku tidak lebam parah," sahut Juno lagi.
Joni dan Jeje kembali diam. Keduanya seolah dapat merasakan nyeri pada sudut bibir si bungsu saat melihat pria bermanik mata coklat itu sedikit meringis kesakitan ketika hendak makan dengan suapan besar.
"Argh yang benar saja!" geram Joni. Dia sudah tidak tahu harus berkata apa lagi untuk sekarang.
"Kamu harus segera bertindak deh Jun. Masalah ini harus segera beres!" ujar Jeje yang sedari tadi diam.
"Emm … tenang saja. Aku sudah menelepon pengacara dan dia sebentar lagi akan tiba," sahut Juno yang masih tidak menampakkan ekspresi apapun.
Joni dan Jeje memijat dahi mereka bersamaan, sebuah kejadian yang tidak terduga. Walau Juno mengatakan ini semua tidak akan mengacaukan, namun pada kenyataannya kabar tentan perkelahiannya itu sudah tersebar.
Hanya perlu mengeluarkan lebih banyak uang, itulah hal yang dipikirkan Juno untuk dapat kembali membersihkan citra dirinya serta perusahaan.
.
.
Kali ini Juno menghajar salah satu penghuni kamar VVIP hotel. Hal ini terjadi karena tamu tersebut mencaci pelayan resto, kepala juru masak, bahkan Juno yang notabennya adalah seorang bos di hotel tersebut.
Hanya hal sederhana, sebelumnya bahkan tidak pernah terjadi hal semacam ini yang hingga membuat mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian.
Tamu VVIP tersebut semula memesan makanan yang tidak tersedia di hotel, dia juga memesan minuman berakohol dalam jumlah banyak. Hal itu sudah melanggar peraturan hotel karena walau bagaimanapun pihak hotel memiliki komitmen mereka sendiri.
Peraturan itu tidak pernah dipermasalahkan oleh tamu lain sebelumnya, mereka mengerti dan dengan senang hati menerima penjelasan dari Juno maupun pelayan. Semuanya karena kesehatan, itulah alasan yang paling dapat diterima.
Namun rupanya peraturan hotel itu terdengar aneh dan sangat tidak bisa diterima oleh tamu VVIP berbadan gempal itu. Dia masih mengotot dan malah membuat keributan sehingga Juno tidak dapat mengendalikan diri lalu memukulnya.
Masalah yang berakhir dengan damai, semuanya sungguh diselesaikan dengan baik oleh pengacara yang telah disewa oleh Juno. Kedua belah pihak hanya perlu saling memaafkan dan tamu VVIP itu akhirnya meminta maaf karena dirinya sedang berada dalam pengaruh obat sebelumnya, sehingga diapun mengalami gangguan pada emosinya.
Sepulangnya dari kantor polisi, Juno disibukkan dengan berkas-berkas tentang pengeluaran hotel yang menyebutkan kalau dirinya telah menggunakan uang hotel untuk keperluan pribadi.
Dibacanya berulang laporan yang ia dapatkan dari Joni itu. Dengan masih mengompres matanya yang bengkak, ia mencoba untuk kembali meneliti tiap baris yang Nampak buram dengan penglihatan sebelah mata.
"Argh sial!" umpatnya yang kesal karena banyak hal. Dia mencoba untuk membuka lebar kedua matanya, namun rasa nyeri masih ada sehingga membuatnya harus kembali dengan keadaan sipit karena lebam.
Juno duduk diatas tempat tidurnya dengan beberapa lembar kertas yang berhamburan di hadapannya. Dia telah meminta semua laporan yang ada untuk dia bandingkan dan selidiki lebih lanjut.
Hendra banyak membantu, dia juga sempat mendapat perintah dari Juno untuk langsung menemui pihak keuangan dan meminta detil dari rincian pengeluaran atasannya itu.
Ada beberapa dokumen, lebih tepatnya bukti pembelian sebuah apartemen mewah yang tanggal terbitnya baru seminggu lalu. Segera saja dia menelepon bagian marketing yang nomor teleponnya tertera di bukti pembelian itu.
"Halo, selamat malam. Apakah aku bisa mencetak ulang bukti pembelian apartemen? Ahh namaku Juno, Herjuno. Aku masih memiliki salinannya, namun apakah aku bisa mendapatkan cetakan baru dengan cap basah? Aku menghilangkannya karena ceroboh."
'Apakah anda Herjuno Pambudi dari Hotel Luxury?' terdengar suara seorang perempuan dari seberang telepon.
"Benar. Kukira aku baru saja membeli aartemen minggu lalu … apakah bisa kembali dicekkan?" tanya Juno lagi.
Sedikit panjang pembahasan Juno dengan pihak marketing apartemen, dia diminta untuk menyebutkan nomor transaksi dan banyak hal lainnya untuk mengkonfirmasi kalau semua data adalah benar.
Juno juga menyebutkan kalau saat transaksi dia memang tidak datang langsung, sehingga sedikit kurang paham dengan prosedur yang ada.
Perempuan itu sempat menyebutkan beberapa ciri pria berpakaian rapi yang mengurus pembelian apartemen atas nama Juno itu. Hal lain yang membuat Juno semakin terkejut adalah, rupanya apartemen yang terbeli benar merupakan yang termahal juga dengan semua dokumen lengkap yang seharusnya hanya Junolah yang memiliki semua itu.
"Baik, harap kirimkan ke alamat kantor jika telah selesai dicetak ulang. Terimakasih, selamat malam."
"Huhh!" Juno menarik napas panjang.
"Pria berpakaian rapi namun bukan seseorang yang berpengaruh karena dia mengaku sebagai anak buah? Ah ya ampun. Apa aku perlu meminta rekaman kamera pengintai mereka juga? Ehh kenapa aku tidak menjelaskan kepada mereka kalau ini adalah sebuah kesalahan? Ya ampun Juno! Otakku kenapa berpikir pendek sekali!"
Beberapa kali dia memukul kepalanya sendiri.
Segera saja dia menelepon Hendra untuk kembali meminta tolong. Dia harus mengetahui siapa kiranya karyawan yang pergi ke kantor pemasaran dan mengaku sebagai suruhan Juno untuk membeli apartemen.
***