Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, Juno belum juga pulang kerumah. Jeje dengan gelisah mencoba menghubungi Juno, tapi sama sekali tidak ada jawaban.
Sejak saat Jeje masih berada di kamarnya, hingga dia keluar untuk duduk di pinggir kolam renang, ayunan, di kursi, lalu ke kamar lagi, keluar dan turun untuk mengambil minuman hangat, kembali naik dan duduk di kursi dekat ayunan. Ponselnya mash tidak mendapatkan jawaban apapun dari si bungsu.
"Dimana sih dia?" gumamnya cemas.
Jeje hamper melamun saat ia mendengar suara langkah kaki dari arah tangga. Segera saja dia berlari menghampiri seseorang itu.
"Kamu kenapa?" tanya Joni yang baru saja tiba dengan heran. Dia sedikit mengerutkan dahi saat Jeje menghampirinya dengan bergegas.
"Hemm … Juno mana?" tanya Jeje seraya celingukan kearah tangga.
Joni segera mengedikkan bahunya, dia juga kembali melanjutkan langkah menuju kamar sambil bermain ponsel.
"Eeh? Kalian bertengkar lagi?" ujar Jeje yang menarik lengan kanan kakak laki-lakinya.
Joni menghentikan langkah, belum sempat ia memberikan respon atas pertanyaan Jeje, terdengar suara langkah si Bungsu yang menaiki tangga.
Juno datang dengan masih mengenakan pakaian kerja lengkap, hal itu tentu sangat menarik perhatian kedua saudaranya. Joni dan jeje menatapnya untuk beberapa saat.
"Eghem. Kamu lebih baik bertanya padanya," ucap Joni singkat dan segera pergi ke kamarnya.
Jeje sempat bingung, namun dia tetap menyunggingkan senyumnya untuk menyambut kedatangan si bungsu.
"Hey, kamu baik-baik saja, 'kan? Kenapa ponselmu mati? Aku menghubungimu berkali-kali tapi tidak ada jawaban," ujar Jeje panjang lebar.
Juno menatap kakaknya sebentar, dia lalu mendeham seraya mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaan perempuan itu.
"Kamu bertengkar dengan Broder Joni?" tanya Jeje.
"Aku capek, Je. Mau istirahat …," jawab Juno yang segera melewati Jeje dengan melambaikan tangan. Dia menuju kamarnya dan jelas sekali tidak berminat untuk berbincang dengan siapapun lagi.
Melihat sikap kedua saudara kembarnya yang sedikit aneh, Jeje tahu kalau mereka sedang ada masalah. Jeje segera mengambil ponsel dan menelepon rekan kantornya.
"Halo, Yom. Maaf mengganggu waktu istirahatmu, aku akan bertanya sedikit padamu." Jeje menelepon seorang stafnya. "Apakah tadi ada masalah antara pak Joni dan pak Juno di kantor? Maksudku … mungkin saat aku pergi keluar tadi, apa kamu mendengar atau melihat hal semacam itu?" tanyanya penuh rasa penasaran.
"Maaf, Bu. Saya kurang tahu. Namun tadi siang saya ada melihat pak Juno keluar dari ruangan pak Jonni dengan ekspresi yang tidak biasa," sahut Yomi, staf sekaligus sekretaris untuk Jeje, dari seberang telepon.
"Ekspresi tidak seperti biasa? Maksudmu bagaimana?"
"Pak Juno tidak terlihat ceria. Saya kurang paham apakah itu akrena banyak pekerjaan atau ada masalah seperti yang Bu Jeje tanyakan," jawab Yomi lagi.
"Oh begitukah. Emm baiklah, terimakasih banyak Yom. Selamat beristirahat." Jeje menutup teleponnya. Dia masih bingung, namun dia akan segera menyelidiki dan membantu kedua saudaranya untuk kembali berdamai.
***
Keesokan harinya Juno masuk bekerja seperti biasa. Hal yang semula tabu baginya, kini telah menjadi rutinitas yang dia nikmati setiap harinya.
Juno sedang memperhatikan layar komputernya. Sesekali dia membenarkan rambut bagian poninya yang sudah mulai panjang.
Sebuah dokumen di tangan, pandangannya fokus dan dia bahkan belum menyentuh kopinya yang telah menjadi dingin karena terabaikan.
Dia sedang membaca profil hotel milik Papa yang ada di luar negeri, dia membandingkan dan mencatat beberapa hal yang menurutnya dapat diadaptasi untuk hotel yang ada di dalam negeri juga.
Walau sebelumnya Papa telah menyatakan kalau konsep untuk hotek di dalam dan luar negeri berbeda, namun kali ini Juno tertarik untuk sedikit memodifikasi konsep Papa itu.
"Permisi, Pak. Ini Koran kita pagi ini …." Hendra masuk ke ruangan Juno setelah mengetuk sebelumnya.
"Apa berita utamanya?" tanya Juno tanpa mengalihkan pandangannya dari layar computer. Dia yang sudah sangat jarang membaca Koran itu hanya akan tertarik jika berita utamanya dapat membuatnya 'ingin' membaca.
"Berita utamanya … ini ...," suara Hendra terbata. Dia Nampak ragu untuk membacakan itu.
"Kenapa? Ada apa? Cepat bacakan saja, aku sedang sibuk."
"Emm berita tentang … Direktur Hotel Grand Luxury Pambudi adalah seorang gay." Hendra membacanya dengan cepat hingga membuat Juno mengerutkan dahinya.
"Apa? Kemarikan!" Juno meminta Koran harian itu untuk dibaca sendiri.
Segera saja dia terbelalak setelah membaca berita utama yang benar-benar dicetak tebal itu. Juno mendadak dapat merasakan kepalanya penat.
"Wah apa ini! Gila!" Juno terus mengumpat hingga tidak terkendali. "Cepat kamu hubungi mereka dan tanyakan darimana mereka mendapatkan berita gila ini! Hubungi juga pengacara terbaik. Kalaupun ada pertanyaan mengenai hal ini yang tertuju padamu, jawab saja semua itu hanya berita palsu dan aku akan segera memberikan keterangan!"
Hendra yang mendadak tegang itu segera mengiyakan perintah atasannya dan pamit undur diri.
"Wah gila! Gila! Sialan! Kenapa mereka melebih-lebihkan berita! Apa ini? Gay? Apa mereka tidak dapat membedakan antara gay dan hubungan pertemanan? Argh sialan!" Juno menghempaskan Koran itu diatas mejanya.
Sebuah foto dicetak besar yang menampakkan dirinya sedang bergandengan tangan dengan seorang pria di jalan. Benar seperti foto pasangan kekasih yang tertangkap oleh wartawan, Juno mendengkus berkali-kali dan sama sekali tidak habis piker kalau berita semacam itu akan menerpa dirinya.
KLEK!!
Juno segera melihat kearah pintu, ternyata kedua kembarannya datang. Joni dan Jeje menatapnya dengan tatapan yang sangat mengintimidasi bagi si bungsu.
"Apa ini?" Joni dan Jeje kompak sekali. Keduanya segera membuka berita utama Koran dan menghadapkannya pada Juno.
Juno yang sudah hampir gila itu hanya mendengkus kasar sebagai penyambutan kedatangan keduanya.
"Kemarin aku memintanya untuk menemaniku makan, tapi dia tidak mau karena ada kegiatan lain. Aku memaksanya karena sedang membutuhkan seorang teman, lalu aku menarik tangannya dan membawanya ke kafe terdekat untuk makan. Sudah. Hanya seperti itu kejadiannya," ujar Juno menjelaskan.
"Kamu yakin?" tanyan Jeje meragukan.
"Sangat yakin," angguk Juno yang kembali memperlihatkan wajah kekanakannya. "Aku menyukai perempuan, kalian tau itu," imbuhnya.
"Huhh, seharusnya kamu lebih hati-hati dengan semua yang kamu lakukan, karena semua hal aneh yang kamu lakukan itu akan merusak citramu juga nama baik perusahaan." Joni menatap Juno lekat, dia bersikap selayaknya saudara tertua kali ini.
"Emm, aku selalu hati-hati. Hanya saja, orang-orang banyak yang memiliki pemikiran pendek sehingga mereka hanya asal menuduh dan tidak mempercayaiku," sahut Juno.
Atmosfer di ruangan itu mendadak berubah. Jeje menarik napas panjang, kedua saudaranya sungguh sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Baiklah. Juno tidak perlu terlalu khawatir, kita akan menyelesaikan semuanya nanti. Tapi sekarsng kita harus ke ruang rapat terlebihdahulu. Oke?" ujar Jeje.
Joni menarik napas panjang. Dia lalu merapikan pakaiannya dan keluar mendahului kedua kembarannya.
Sementara itu Juno hanya mengekor setelah bahunya ditepuk pelan oleh Jeje.
***