Selesai jam kuliah, Juno langsung pulang. Dia yang biasanya selalu mencari alasan untuk dapat mengobrol dan mengajak Ara pulang bersama, kini hanya segera keluar kelas bahkan dia tidak menyapa siapapun .
Kelasnya cukup melelahkan, dia tidak mendapat bantuan dari dua saudaranya. Dia juga sedikit terbebani setiap kali membahas tentang dua orang itu. Dia merasa paling berbeda, walau diapun mengakui itu, hanya saja melakukan hal yang tidak ia inginkan itu bukanlah yang akan dia lakukan hanya untuk menjadi terlihat baik. Dia selalu berpikir kalau dia akan menjadi baik dengan caranya sendiri.
Melaju dengan kecepatan normal, Juno tidak minat untuk mengebut di jalanan karena dia tidak memiliki lawan kali ini.
Masih dengan bola plastik yang dia dapat dari Tian, Juno segera masuk ke rumah dan menemui pak Irawan.
"Pak, tolong berikan ini ke Joni," pintanya seraya menyerahkan bola plastik itu.
"Maaf, Tuan. Tapi bukannya kamar kalian bersebelahan?" tanya pak Irawan yang bingung.
"Aku maunya Pak Irawan yang memberikannya. Apa ada kendala?" tanya Juno balik.
"Tidak, Tuan. Akan saya sampaikan," ujar pak Irawan dengan sedikit anggukan kepalanya.
Juno segera naik menuju kamarnya. Merasakan lelah di seluruh tubuh, dia memutuskan untuk membaringkan tubuh sebelum dia berganti pakaian juga makan siang.
Dipejamkan mata beberapa saat, dia mulai merasakan sepi karena dirumahnya yang sangat besar itu hanya ada para pelayan di lantai bawah.
Juno menelepon untuk dibawakan makan siang, dia sangat malas untuk turun menuju dapur. Baginya, itu sangat melelahkan. Sembari menunggu makan siangnya datang, Juno mengambil salah satu mobil yang baru dia beli.
Sebuah gitar mahal yang dia impikan sejak lama.
Jreng jreng.
Juno masih melakukan pengaturan untuk gitarnya itu. Masih belum nyaman, hingga dia harus menarik napas beberapa kali karena mulai kesal.
"Kenapa makan siangnya lama sekali …," gumamnya. Nyaris saja dia menelepon, seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya dari luar.
"Ah perlu waktu lima menit untuk menuju lantai atas. Apakah mereka masak terlebihdahulu?" gumam Juno yang segera keluar dan mengambil makanannya.
Satu nampan besar, pelayan membawakan makan siang lengkap dengan minuman dan buah-buahan yang akan dijadikan cemilan oleh Juno.
"Tidak pedas, 'kan?" tanya Juno saat melihat masakan yang sangat merah.
"TIdak, Tuan. Hanya untuk mempercantik tampilan," ujar Mina.
"Emm baguslah. Terimakasih." Juno sedikit mencium aroma masakan itu. Memang tidak tercium pedas, namun penampilannya cukup membuat orang merinding karena nampak sangat merah.
Masih dengan makan siangnya, Juno mendapat telepon dari pemilik ruko yang akan dia beli untuk memulai usaha yang beberapa waktu terakhir mengisi angannya.
"Apakah semuanya sesuai dengan di foto, Pak?" tanyanya disela makan.
"Saya tertarik, tapi saya akan berkunjung untuk melihatnya secara langsung. Mungkin besok."
"Ah saya masih harus ke kampus untuk jam pagi. Bagaimana kalau sore?"
"Emm baiklah. Uangnya sudah saya siapkan. Semuanya tergantung pada besok. Jika semuanya memang sudah cocok, saya akan langsung kirim uangnya. Terimakasih, Pak. Sampai jumpa besok," ucapnya segera menutup teleponnya.
"Lumayan juga, tapi cukup aneh jika sebesar ini dijual harga murah …," gumamnya. Juno kembali memperhatikan beberapa foto yang dikirim oleh pemilik ruko.
"Kamu beli apartemen?" tanya Joni mengejutkan Juno. Dia rupanya sudah sejak tadi berdiri di dekat pintu.
Juno menolehnya karena terkejut, segera saja dia mengerutkan dahi karena tidak menyukai adanya sosok penyusup.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Juno ketus.
Joni tidak memberikan jawaban. Dia masih diam dan hanya berjalan mendekati si bungsu. Tatapan matanya tajam sekali, seolah siap untuk memakan siapapun yang ada dihadapannya.
"Ish aku membenci tatapan ini," gumam Juno.
"Aku membeli ruko," sahutnya sambil kembali menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit. "Sekarang kamu sudah boleh keluar. Silahkan." Juno memberi isyarat pada kembarannya itu dengan gerakan kepala.
"Aku ngomong sama kamu," ujar Joni yang duduk di tempat tidur Juno dengan jemari yang meraba gitar mengkilap itu perlahan.
"Eits! Jauhkan tanganmu! Itu mahal!" sentak Juno yang mengejutkan Joni. "Kamu keluar saja sana! Aku masih makan, aku tidak bisa meladeni percakapan panjang," celotehnya.
Joni mengerutkan dahi. "Kamu baru saja ngomong panjang lembar," ucapnya seraya berdecak.
Juno mendengkus. Dia meminum air mineral dan segera membereskan piring kotor untuk diletakkan di meja.
"Pak Irawan bilang, kamu memberiku bola ini, benar? Untuk apa? Kamu mau mengajakku bermain?" Joni memegangi bola plastik yang sangat tidak asing bagi Juno.
"Bukan aku," sahut Juno ketus. Dia lalu mengambil gitar yang sejak tadi disentuh saudara kembarnya. "Bola itu dari Tian. Dia bilang, dia minta maaf."
"Tian?" Joni sedikit memiringkan kepalanya. "Ahh bocah itu … apa lagi? Dia ada bilang apa lagi?" tanya Joni.
"Dia bilang … Joni tidak boleh mengganggu adiknya kalau sedang bermain gitar," celetuk Juno.
"Serius bilang begitu?"
"Tentu saja tidak. Sudah sana keluar! Kamu mengganggu konsentrasiku!" geram Juno. Namun Joni sama sekali tidak bereaksi. Dia hanya menatap si bungsu dengan tatapan yang masih sama, sangat menyebalkan bagi Juno.
"Ahh ya ampun …," keluh Juno yang hanya mampu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kamu harus ke hotel, Jun." Joni tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Kamu boleh egois, Jun. Kamu boleh tidak memikirkan orang lain, tapi aku minta kamu memikirkan Papa," ujar Joni. Kalimatnya kali ini terdengar sangat serius. Suasana di kamar itu menjadi hening untuk beberapa saat.
Juno menarik napas panjang dan mengalihkan pandangannya.
"Aku tunggu besok di hotel." Joni keluar dari kamar adiknya. Dia menutup pintu perlahan dan menghilang dalam keheningan.
Semakin memusingkan. Juno semakin tidak ingin memikirkan hal apapun yang membuat dirinya tidak nyaman.
Dengan ditemani oleh gitarnya, Juno memilih untuk menghabiskan waktunya dengan menggumamkan beberapa lagu. Dia bahkan mengabaikan beberapa pesan dari temannya yang mengajak untuk berlatih band.
Mengingat kalau perempuan yang dia suka telah bersama dengan temannya sendiri, Juno semakin tidak ingin untuk pergi berlatih. Karena selain akan mengganggu konsentrasi, dia juga tidak ingin terlihat tidak profesional oleh teman-temannya, terutama Val yang mengetahui tentang perasaannya itu.
Tidur nyenyak yang diharapkan dapat melepas semua beban pikiran, ternyata membuat Juno hanya istirahat sejenak sebelum hal menyebalkan lainnya terjadi.
Pagi ini, dia mendapati dua kembarannya membajak mobil kesayangannya dan memberikan ancaman jika dia tidak pergi ke hotel, mereka akan melenyapkan mobil itu juga akan memberitahu Papa mengenai semua koleksi gitar mahalnya yang dibeli dengan uang tabungan yang seharusnya digunakan untuk masa depan mereka.
Juno mendengkus kasar, digenggamnya erat sebuah memo dengan tulisan tangan Jeje yang membuatnya memijat kepalanya.
"Sialan kalian!"
***