Klek! Pintu dibuka dengan keras.
Bruk!
"Huaaahhh … tempat tidur sendiri memang paling nyaman ya ampun!" Juno segera menajtuhkan tubuhnya pada tempat tidur dengan jemari yang meraih remot untuk menyalakan pendingin ruangan.
Dia tengkurap dengan belum mengganti pakaiannya sama sekali, dia bahkan masih mengenakan sepatu juga jaket tebalnya. Dia memejamkan mata sejenak, menikmati empuknya tempat tidur yang sudah sangat ia rindukan.
Selama berlibur di tempat kakek dan nenek, si bungsu memang selalu mengeluh karena harus berbagi tempat tidur dengan si sulung. Keduanya memiliki kepribadian yang berbeda, Joni tidak menyukai dingin, sementara Juno tidak betah jika harus kepanasan. Saling menyesuaian, membuat Juno memilih untuk tidur beralaskan lantai agar dapat merasakan dingin langsung.
Tidak begitu nyaman, namun dia beruntung dapat bertahan selama beberapa hari.
Huhh!
Juno mehela napas panjang. Dia lalu berbalik dan menatap langit-langit untuk beberapa saat. Terlalu malas untuk melakukan apapun, padahal dia sudah dapat mendengar kedua saudaranya berisik dengan urusan masing-masing.
"Apa mereka tidak ingin istirahat dulu? Kenapa sudah berisik sekali!" geramnya yang mengusap kasar waahnya.
Segera saja dia mengubah posisinya menjadi duduk. Masih malas, dia hanya mengedarkan pandangan kesekitar.
Pandangannya itu terhenti pada sebuah meja tempat patung keramik kesukaannya berada. Di dekat patung kucing keramik itu, ada sebuah kotak kecil dan seikat bunga yang sudah layu.
"Ahh aku bahkan sampai lupa dengan itu," ucapnya dengan mehelakan napas panjang. dia segera bangkit dan meraih bunga yang sudah sebagian besar rontok itu.
Hanya berdecak, Juno keluar dan meminta pelayan untuk mengurusnya.
"Jika masih memungkinkan, aku ingin itu dirawat kembali," kata Juno pada Mina yang baru saja keluar dari kamar sebelah, lebih tepatnya kamar Jeje.
Mina mengambil bunga itu, dipandanginya sejenak. Masih ada batang yang basah. Dengan ragu, dia mengangguk pelan pada tuan mudanya.
"Akan kuusahakan, Tuan."
"Emm, apa kamu sedang sibuk?" tanya Juno selanjutnya.
"Tidak, Tuan. Hanya akan membantu untuk menyiapkan makan malam bersama yang lain," jawab pelayan itu. "Ada hal lain yang harus kulakukan untukmu?"
"Carikan aku sebuah kado yang indah dan istimewa untuk seorang perempuan yang juga istimewa," ujar Juno.
"Kado? Apakah ulang tahun?"
"Tidak. Hanya hadiah kecil saja."
"Apakah perempuan itu feminin? Ataukah …?" pertanyaan Mina seolah tertahan.
"Dia feminin, kurasa. Dia memiliki hati yang lembut seperti bunga-bunga itu," jawab Juno seraya menunjuk bunga yang rontok di tangan Mina. "Kamu bisa mencarikannya? Mungkin sebuah gaun atau sepatu. Atau … aksesoris mungkin? Ahh aku tidak begitu memahami perempuan. Aku kurang beruntung memiliki saudari yang tidak feminin." Juno berkacak pinggang dan menarik napas panjang.
Mina menahan tawa samarnya. Dia hanya mengangguk menyanggupi tugas dari tuan mudanya.
"Emm tunggu sebentar," ucap Juno menahan pelayannya yang hendak undur diri. "Kirimkan pada alamat ini. Tambahkan juga ucapan terimakasih dariku."
"Baik, Tuan. Apakah ada lagi?" tanya Mina.
Juno menggeleng. "Ehh …," ucapnya yang lagi-lagi menahan pergerakan Mina. "Apakah mereka baik-baik saja? Aku sempat mendengar mereka berisik, tapi sekarang keadaan kamar mereka sepi?" tanyanya mengenai kedua kembarannya.
"Nona Jeje tadi sempat meminta minuman jahe, Tuan. Kurasa dia sekarang tertidur. Lalu untuk Tuan Joni, sepertinya tadi turun."
Juno kembali mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Terimakasih sebelumnya … pergilah dengan hati-hati," ujar Juno yang segera kembali masuk ke kamarnya.
.
.
Sementara itu, di ruang tengah. Lelaki muda dengan rambut pirangnya sedang merebahkan tubuh di sofa dengan seorang dokter cantik yang sedang sibuk dengan beberapa obat dan kelengkapan kesehatan lainnya.
"Kamu ceroboh sekali! Kenapa tidak berhati-hati saat meilih makanan? Coba lihat sekarang keadaanmu sangat buruk," omel dokter Helen yang baru saja menyuntikkan obat pada lengan Joni.
Joni hanya meringis menahan nyeri. "Aku juga tidak tahu kalau itu adalah makanan laut. Aku hanya memesan karena gambarnya yang sangat menarik, dan rasanyapun enak. Jadi aku makan hingga habis," jawab Joni seadanya.
"Lalu? Kenapa kamu tidak meminta obat sejak kemarin? Sudah lewat sehari baru minta obat, beruntung aku tidak sedang banyak pasien. Jika tidak, ini pasti akan sangat terlambat. Apa kamu tidak menyayangi dirimu sendiri?" dokter Helen masih saja kesal.
"Tidak," sahut Joni seketika. "Tapi aku menyayangimu," tambahnya.
Dokter Helen mendengkus kasar setelah mendengar kalimat Joni itu. Dia menjadi semakin kesal dan hanya mengabaikan kaliamt pria pirang itu.
"Ini. Obat untuk diminum tiga hari sekali setiap selesai makan. Jangan telat!" suara dokter Helen meninggi. Dia meletakkan obat diatas meja seraya merapikan peralatannya.
"Tiga hari sekali? Kamu serius?" Joni mengubah posisinya menjadi duduk. Dia meraih obat itu dan membaca namanya dengan seksama.
"Ah maaf, maksudku tiga kali sehari."
"Oh … baiklah." Joni mengangguk pelan.
"Hal kecilpun dibahas, huh!" keluh dokter Helen yang terdengar oleh Joni.
"Tentu saja aku protes karena aku adalah pasien. Kalau aku minumnya tga hari sekali, itu pasti tidak akan membuat wajah tampanku segera pulih. Jika itu terjadi, apa kamu mau tanggung jawab? Aku akan kehilangan para penggemar di kampus …," sahut Joni dengan mengertutkan dahinya.
Dokter Helen hanya mengangkat kedua alisnya, dia nampak lelah dengan sikap pasiennya itu. "Aku harus kembali ke tempat praktek. Jika ada apa-apa hubungi saja, aku akan membantu jika tidak sedang padat pekerjaan."
"Kurasa Juno ada masalah, Dok."
"Masalah? Apa dia juga mengalami alergi sepertimu?"
"Tidak. Dia hanya … aneh. Apakah mungkin itu karena syaraf di kepalanya terputus? Dia selalu merepotkan," jawab Joni dengan wajah yang serius, seolah sedang membahas hal yang benar-benar terjadi.
"Ah kamu harus membawanya ke dokterspesialis syaraf jika penyakitnya memang seperti itu," sahut dokter Helen.
"Apa benar bisa menyembuhkan?" tanya Joni yang menatap dokter cantik itu antusias.
"Hanya dengan mencobanyalah kamu bisa mengetahuinya."
Joni mendadak diam. Dia merasa candaannya ditanggapi serius oleh dokter Helen.
"Tapi … aku hanya bercanda, Dok." Joni menatap dokter Helen lekat.
"AKu tahu," jawabnya. "Tapi tidak ada salahnya mengeceknya ke dokter spesialis sungguhan," tambahnya. Dokter cantik itu membereskn barang yang masih berantakan.
Joni mendadak canggung. Dia gagal total untuk membuat lelucon mengenai kembarannya yang memang sangat menyebalkan. Dia hanya mampu untuk berpura tersenyum ketika dokter itu berpamitan.
"Itu juga bisa berlaku untukmu, kurasa. Apakah keanehan pada Juno itu menular?"
"Hah?" Joni mengerutkan dahinya.
Dokter Helen tertawa samar. Dia merasa terhibur dengan ekspresi Joni yang kesal namun tidak dapat melakukan apapun.
"Baiklah, aku pergi. Minumlah obatnya dan segeralah membaik." Dokter cantik itu membawa kotak dengan semua perlengkapannya dan segera pergi.
Joni kembali merebahkan tubuhnya dengan menutup mata dengan lengannya. Hanya ingin istirahat, namun dia masih saja mengutuki cumi yang rasanya enak itu.
***