Suasana hari yang cukup hangat setelah kemarin pagi hingga malam diguyur hujan yang yang sangat lebat. Joni memutuskan untuk berjalan-jalan sore di sekitaran lingkungan rumah kakek dan nenek. Walaupun sudah terasa hangat, pemuda pirang itu masih mengenakan jaketnya untuk berjaga-jaga adanya perubahan cuaca yang tidak terduga.
Dengan memasukkan kedua tangannya pada saku jaket, Joni sesekali menggumamkan sebuah lagu. Dia melewati lapangan yang dipenuhi oleh para remaja yang sedang bermain bola. Sayang sekali dia sedang tidak ingin bergabung, padahal dia juga merupakan seorang pemain bola.
Dia berhenti sejenak di tepi lapangan, mengamati para remaja yang saling berteriak untuk meminta operan bola. Ada beberapa remaja lain yang menonton. Joni hanya menduga kalau mereka sedang berlatih untuk sebuah pertandingan, nampak sekali mereka bermain dengan sungguh-sungguh dengan seseorang yang berperan sebagai pelatih sekaligus wasit diantaranya.
Joni tidak mengenal wasit itu, namun mereka saling bertukar senyum ketika pandangan keduanya bertemu. Masih muda, Joni memperkirakan kalau pria yang menjadi pelatih itu hanya selisih dua atau tiga tahun lebih tua darinya.
Joni melanjutkan langkahnya, kali ini dia menuju sebuah danau yang tidak begitu jauh. Sebuah danau buatan yang sebelumnya merupakan anak sungai yang sempat menjadi sumber air untuk warga desa, namun seiring berjalannya waktu, tempat itu diperbaiki dan dipasang jembatan penghubung antar RT sekaligus untuk tempat jalan-jalan yang cukup sering dikunjungi oleh warga karena masih baru dengan bangunan yang diwarna indah.
Pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang berdiri ditepi jembatan dengan celana pendek dan kaos hitamnya. Rambut pria muda itu bergoyang stabil karena angin yang bertiup. Dia nampak sedang memandangi sungai dengan pandangan yang kosong ssmbil memakan lolipop, masih merupakan kebiasaannya sejak masih anak-anak. Pria itu tidak menyadari kehadiran Joni di dekatnya.
"Suasana disini masih tetap jadi kesukaan ya, tetap sama … walau sudah berubah tampilannya," ujar Joni yang ikut berdiri ditepi jembatan dengan bersandar pada pagar pembatas jembatan dan menghadap jalanan.
Pria itu menoleh pada Joni yang berdiri sekitar dua meter darinya. "Sesuatu itu tidak akan berubah, kecuali ada yang mengubahnya," ucapnya lalu kembali memandangi aliran sungai di bawahnya.
Joni tertawa samar. "Kamu masih sama rupanya seperti dulu. Hemat suara …," ujar Joni seraya mengamati pria yang memakan lolipop itu. Dia lalu mengubah posisi dan ikut memandangi aliran sungai.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Joni.
"Mengenang masa kecilku," jawab pria dengan lolipop itu singkat.
"Mengenang? Kenapa? Seharusnya kamu membuang masa lalumu itu jauh-jauh dan fokus saja dengan masa sekarang," sahut Joni lagi.
Pria muda itu segera menatap Joni lekat. Masih dengan lolipopnya, dia berkata, "Tidak semua masa lalu dapat dibuang dan dilupakan dengan mudah. Kita punya banyak kesalahan di masa lalu dan kita berkesempatan untuk memperbaikinya di masa sekarang. Sama sekali tidak berekspresi, pria itu berhasil membuat Joni terdiam untuk beberapa saat.
"Haha … benar. Tapi tidak semuanya juga dapat diperbaiki." Joni tertawa ringan. "Masa anak-anak adalah masa yang bodoh. Masa dimana belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang salah."
"Emm," angguk pria itu menyetujui. "Mudah sakit hati dan kecewa ketika ada orang kaya yang menghinanya. Hemm begitulah masa itu yang bahkan masih terkenang hingga kini," sambungnya.
Joni menoleh, "Tapi itu adalah masa lalu, masa anak-anak. Sekarang sudah bukan lagi masa yang seperti itu. Lebih pintar dan lebih kuat," ujarnya.
"Iya …," ucap pria itu lirih. Dia lalu menatap Joni sesaat dengan senyum canggungnya dan langsung pergi.
"Tunggu!" teriak Joni yang berhasil membuat pria berlolipop itu berbalik badan.
"Kita masih bisa menjadi teman, 'kan? Maksudku … masa anak-anak tidak seharusnya menjadikan kita bermusuhan di masa sekarang, bukan?" ucap Joni dengan tatapan yang tak teralihkan. Dia juga menjulurkan tangan kanannya dengan senyumnya.
"Apa kamu tidak salah memilih kata-kata?" tanya pria itu dengan mengangkat sebelah alisnya.
"AKu? Tentu tidak. Aku adalah siswa yang selalu mendapatkan nilai A di kelas bahasa. Jadi, aku tidak mungkin salah menggunakan kata-kata," sahut pria pirang itu menyombongkan dirinya.
Pria itu tertawa samar. Dia hanya merasa kalau saudara memanglah memiliki sikap yang sama. Dia sudah harus menerima kalau Joni juga demikian, memiliki sikap sombong yang sudah sangat alami.
Pria dengan lolipop itu mendekat, lalu dia menarik lolipopnya dengan tangan kiri lalu mengulurkan tangan kanannya dan menyambut tangan Joni dengan baik. "Perkenalkan, aku Tian."
"Aku Joni Pambudi," ucap Joni yang segera menggoyangkan tangan mereka yang bersalaman.
Momen langka, Tian tersenyum lebar dengan hal itu. Joni bahkan hingga mengerutkan dahinya, dia merasa istimewa dengan senyuman teman kecilnya itu.
Keduanya lalu pergi ke sebuah tempat makan, bisa dibilang kafe namun desain tempatnya sangat bersahabat dan tidak asing untuk warga desa itu.
Mereka memesan makan dengan menu yang berbeda, masing-masing dari mereka tidak begitu peduli dengan apa yang dimakan temannya, hanya memastikan kalau mereka sama-sama makan.
"Jadi … apa kamu kemari hanya untuk melamun di jembatan dan mengenang masa kecilmu?" tanya Joni yang telah meminum teh lemonnya terlebihdulu.
"Emm," sahut Tian hanya dengan kedua alis yang diangkat.
"Apa kamu mengenangku? Kamu merindukanku?" celetuk Joni terlalu percaya diri.
"Aku mengenang ayah," jawab Tian lirih.
Joni seketika diam, dia mendadak kehilangan candaannya yang sebelumnya selalu siap untuk dilontarkan.
"Rasanya aneh sekali setelah melihat foto ayahku saat masih muda, kami nampak sama. Jadi aku sempat terpikir apakah aku juga akan mirip dengannya saat semakin dewasa kelak," tambah Tian dengan pandangannya yang terarah pada jalanan yang sepi.
"Eh kurasa ayahmu jauh lebih tampan darimu. Beliau juga ramah dan sering tersenyum, tidak sepertimu," ujar Joni yang membuat Tian menatapnya lekat. "Lihatlah dirimu … bagaimanapun kamu, ayahmu tetap terbaik."
Tian berdecak, namun dia tidak merespon lebih kalimat pria pirang itu.
Perhatian mereka lalu teralihkan pada menu makanan yang telah tiba. Aromanya membuat Joni sumringah, dia bahkan emnghirup aromanya dengan tarikan napas yang sangat panang.
"Makanlah dulu. Mengenai masa kecil, itu akan tetap ada di memorimu. Tidak perlu dikenang berlebihan, karena kuyakin ayahmupun masih mengingat dan menjagamu dari atas sana," uajr Joni yang segera memakan makanannya.
Joni tidak begitu menyukai pembahasan mengenai ayah Tian. Dia tahu kalau itu akan menjadi hal yang sangat menyakitkan untuk temannya itu. Ayahnya meninggal saat Tian masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Sebuah kenangan yang pasti tidak akan dapat dilupakan oleh Tian.
Bocah yang sejak kecil memang hemat suara itu tidak pernah menangis sedikitpun walau berlahi dengan teman-temannya, namun Tian menjadi sangat emosional saat kepergian ayahnya itu. Hal itulah yang tidak ingin kembali dilihat oleh Joni, terlebih kini keduanya sudah mulai memasuki usia dewasa yang bisa saja dapat membuat Tian merasa malu atau semacamnya.
***