Pukul delapan malam adalah waktunya untuk makan malam. Semua juru masak dan pelayan telah menyiapkan berbagai jenis makanan untuk para tuan tumah. Malam ini temanya adalah kuliner nusantara, sehingga mereka hanya memasak masakan lokal dari beberapa daerah di Indonesia.
Ada sekitar sepuluh jenis makanan yang disiapkan untuk empat tuan rumah. Diantara yaitu rendang, sate, soto, opor, ada juga gudeg dan rawon. Makanan berat semuanya, papa bahkan tidak keberatan karena beliaupun jarang sekali makan makanan seperti ini.
Layaknya sebuah restoran elit, ruang makan di rumah ini terdapat banyak meja makan dengan tata ruang yang sangat menarik. Hal ini dikarenakan Papa yang selalu ingin makan bersama dengan semua anggota keluarga juga dengan para pelayan yang tinggal di rumah ini.
Papa juga selalu meminta makanan yang sama untuk para penjaga yang bertugas, hanya saja mereka memiliki jam makan yang berbeda karena harus menjaga keamanan di luar rumah.
Diawali dari Papa dan Joni, lalu Juno menyusul turun menuju ruang makan dengan beberapa pelayan yang lain. Pak Han juga ikut, beliau sudah seperti keluarga karena telah bekerja dengan Papa sejak si kembar tiga masih anak-anak.
Tidak ada tanda-tanda kehadiran Jeje, Papa hampir meminta pelayan untuk menyusul ke kamar putrinya itu namun Jeje sudah tiba terlebihdulu.
"Maaf semuanya, aku telat. Ayo makan!" Jeje antusias sekali dengan semua menu makanan yang ada diatas meja. Dia segera memindai seluruh meja untuk memilih mana kiranya yang akan dia makan.
Namun suasana mendadak hening. Jeje segera menyadari kalau semua orang di ruangan itu sedang memandang kearahnya dengan tanpa ekspresi. Jeje memang tampil beda, kali ini dia mengenakan jepit pada rambutnya dengan hiasan bunga cantik di jepitnya itu.
"Ee … ada apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Jeje yang canggung, dia menunda untuk menyuap makanan ke mulutnya karena suasana ini.
Joni yang duduk di sampingnya itu segera menempelkan telapak tangannya pada dahi Jeje lalu dia menempelkan pada mangkuk sotonya.
"Panasnya sama," celetuk Joni yang segera menduga kalau adiknya itu sedang sakit.
"Nona Jeje terlihat lebih cantik dan anggun," ujar seorang pelayan yang menuangkan teh panas untuknya.
"Hah?" Jeje masih bingung untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia tersadar dengan sendirinya. "Oh ini … hehe ikat rambutku hilang dan aku perlu sesuatu untuk menahan rambutku agar tidak menutupi wajah," ujarnya seketika sebagai klarivikasi.
Papa tersenyum, beliau juga merasa kalau putrinya itu tidak seperti biasa, namun tidak begitu masalah. "Sudah … ayo makan."
Jeje mengangguk ringan. Namun dia masih mendapatkan tatapan yang aneh dari kedua saudaranya. Joni dan Juno masih nampak tidak percya dengan penampakan cantik dari Jeje.
Memang, sekarang rambut pirang Jeje sudah semakin panjang. Dia juga menjadi lebih feminin dengan sikapnya yang tidak jauh berbeda dari kedua saudaranya. Dia yang dulu hanya membutuhkan bando atau bandana, kini harus mengikat rambutnya juga memberi jepit jika masih berantakan.
Dia memiliki rambut yang sama dengan Joni, yaitu pirang. Bedanya adalah rambut Jeje agak bergelombang, sementara rambut Joni lurus. Sementara rambut Juno itu hitam namun bergelombang.
ketiganya memiliki ciri fisik yang tidak seperti teman kampus mereka pada umumnya. Hal itu dikarenakan Mama mereka adalah asli orang Jerman yang memiliki rambut pirang serta bermata coklat yan sangat indah. Sementara Papa adalah orang Jepang-Indonesia yang bermata sipit dengan manik matanya yang hitam pekat.
Walau berbeda, namun ketiganya sama sekali tidak merasa aneh, bahkan sebaliknya. Mereka cukup populer karena penampilan mereka itu, terlebih mereka yang sangat mirip membuat beberapa orang tertarik untuk mengamati ketiganya ketika sedang bersama.
.
.
.
Jeje berangkat lebih pagi dari dua saudaranya yang lain karena ada pertandingan basket. Karena hal ini pula, mereka tidak melakukan balapan pergi ke kampus seperti biasa. Walau alasan yang sebenarnya adalah, mereka tidak ingin dimarahi Papa jika sampai ketahuan balapan.
Jeje berkumpul dengan teman-temannya, mereka telah siap untuk bertanding. Dia yang mendapat mandat sebagai kapten tim, harus menjadi sosok yang dapat membangkitkan semangat teman yang lain, walau dirinya juga merasa gugup.
"Lawan kita hari ini lumayan berat, jadi kita harus lincah dan cerdik saat bermain. Kita juga tidak boleh lengah dan mudah tertipu dengan trik mereka. Paham? Ayo semangat! Kita harus menang!" teriak pak Rudi, sang pelatih basket putri dari kampus Jeje.
"Siap, Pak!" sahut semua anggota dengan lantang. "Kami akan memberikan hasil yang memuaskan," ujar Jeje optimis.
"Bagus! Tetapi kalian tidak boleh terlalu terobsesi dengan kemenangan karena itu dapat mengganggu konsentrasi kalian. Mengerti?" pak Rudi merendahkan suaranya.
"Siap, Bos!" semua anggota tim putri sangat bersemangat.
Jeje dan teman-temannya kali ini akan melawan kampus yang sebelumnya telah beberapa kali menjuarai pertandingan bergengsi di tingkat provinsi. Cukup berat, karena tim Jeje bahan paling bagus hanya sampai di perempat final saat pertandingan tingkat provinsi.
"Kakak, semangat!" Terdengar teriakan nyaring seorang pria manis bermata sipit dari bangku penonton. Kali ini dia mengikat rambut gondrongnya, Juno terus meneriaki Jeje untuk memberikan semangat.
Jeje menoleh kearah kembarannya itu, dia lalu mengacungkan jempol dan kembali fokus dengan pertandingan.
Juno segera duduk di bangku penonton. Sesekali dia clingukan mencari kembarannya yang lain yang masih belum menampakkan batang hidungnya padahal sudah ditelepon.
"Halo, Joni. Kamu dimana? Kamu tidak menonton? Sekarang sudah mulai, cepatlah kemari kamu harus menonton kemenangan Jeje …," kaliamt Juno sama sekali tidak berjeda. Dia tidak memberikan kesempatan pada Joni untuk menjawab pertanyaannya itu.
"Hey Jun. Sendirian?" sapa seorang perempuan berambut ikal yang menghampirinya. Dia juga duduk di dekat Juno bersama dengan beberapa temannya yang lain.
"Tidak. Aku sedang sama banyak orang, nihh …," sahut Juno seraya menunjuk ke deret penonton yang lain. Dia ingin bersikap sok cuek pada Ara, padahal dia senang dengan kehadiran perempuan itu didekatnya.
Ara hanya tersenyum dia lalu mengalihkan perhatiannya ke lapangan karena wasit sudah meniup peluit tanda pertandingan dimulai.
Suara penonton berteriak membuat suasana gedung olahraga menjadi sanagt riuh. Beberapa dari mereka meneriaki lawan juga meneriakkan nama pemain yang tidak lain adalah teman mereka.
"Jeje keren!" teriak nyaring seorang mahasiswi yang berada di kursi bagian atas Juno.
"Jeje! Ayo! Semangat!"
"Jeje!
"Jeje!
"Semangat! Aku mencintaimu!"
"Argh! Apa-apaan ini. mereka membuatku kesal," gerutu Juno. Dia berdecak beberapa kali seraya mengedarkan pandangan kepada mereka yang telah berteriak nyaring.
"Apakah mereka masih normal? Mereka meneriaki Jeje seolah melihat pria tampan begitu …," gumamnya. Dia merasa aneh dengan suasana di sekitarnya ini.
***