"Tania, kakak laki-laki yang jualan permen, orangnya seperti apa?" tanya Joni dan Juno yang penasaran.
"Seperti kakak laki-laki pada umumnya sih, Kak. Mirip seperti Kak Juno dan Joni gitu. Kalau kalian penasaran, langsung saja keluar. Dia masih di depan, kok.," jawab Tania dengan manisnya dan berkedip menggemaskan beberapa kali.
"Ma, ayo kita pulang." Tania menarik tangan tante Ira dan bergelayut manja.
"Sebentar, Sayang. Kita menunggu Papa sama Kakek dulu. Oke?" ujar Tante Ira seraya mengelus pelan rambut putri mungilnya.
Tania sedikit cemberut, namun dia tidak memiliki pilihan lain selain nurut dengan mamanya.
Juno dan Joni mehela napas panjang. Kedua merasa kesal dengan jawaban bocah itu yang sama sekali tidak menghilangkan rasa penasaran mereka.
Papa cukup memperhatikan kedua putranya itu, beliau paham dengan kekesalan keduanya. Namun beliau memilih untuk mengabaikan dan kembali sibuk dengan ponsel dan bacaan beliau.
Jeje menuju halaman depan dengan langkahnya yang sedikit terseok, kakinya masih nyeri jika digunakan untuk berjalan.
Langkahnya terhenti dan dia mematung untuk beberapa saat. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh halaman rumah Nenek dengan seksama, namun dia tidak menemukan siapapun selain bibi pembantu Nenek yang sedang menyapu halaman.
"Bi, tadi ada yang mencariku, ya? Anak laki-laki, kata Tania." Jeje berjalan menghampiri Bibi.
"Oh iya, Non. Tadi dia sempat menunggu beberapa menit, tapi sudah pulang karena katanya ada yang mau dikerjakan," jawab Bibi. "Itu dia ada menitipkan pesan sama Bibi," tambah wanita yang sudah tua itu dengan menunjuk sebuah sepeda dengan ponsel yang masih ada di keranjang.
Jeje tahu siapa lelaki itu, tentu saja Tian. Dia hanya berdiri di tempatnya dan mengamati sepeda itu yang sudah nampak baik-baik saja.
Juno dan Joni menyusul Jeje dengan memakan kacang telur yang baru dibuat oleh Nenek. Keduanya mengamati sekitar.
"Orangnya mana, Je?" tanya Juno yang tidak dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Sudah pergi," sahut Jeje sambil berjalan menuju sepeda untuk mengambil ponselnya.
"Yahh tidak seru," celetuk Juno. "Padahal aku ingin bertemu," tambahnya.
"Kurasa dia adalah pria tampan. Benar kan, Je?" sahut Joni yang sengaja menggoda saudarinya itu.
Jeje sama sekali tidak menghiraukan kedua saudaranya, dia hanya kembali masuk ke rumah Nenek dan memilih untuk istirahat.
.
.
.
Tiga hari dirumah Kakek dan Nenek. Liburan yang sangat berarti untuk si kembar tiga JoJeJu. Mereka tidak memikirkan tugas dan perkuliahan yang memusingkan, walaupun setelah ini mereka tetap harus kembali bergelut dengan tugas yang tertunda.
Jeje cukup kurang beruntung karena kejadian jauh dari sepeda di hari pertama. Dia jadi tidak begitu menikmati liburan hari pertamanya itu, bahkan hingga hari keduapun kakinya masih tidak dapat terlalu lelah sehingga dia lebih banyak menghabiskan waktu dirumah saja. Walau begitu, dia tetap berhutang budi dengan Tian walau sedikit. Karena, walau bagaimanapun pria itu telah memberikan bantuan padanya.
Si cantik Jeje dan si buntut Juno pergi ke pasar mingguan. Keduanya memilih berjalan kaki dengan alasan untuk menikmati angin sejuk dan hangatnya cahaya matahari yang menyinari bumi.
Juno berjalan sambil bersiul, sudah sangat lama dia tidak berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Kakinya mulai merasakan lelah, namun semilir angin menyingkirkan penatnya.
Jeje menengadah. Dia memperhatikan langit yang semula cerah dengan senyuman ceria dari sang mentari, kini berubah murung dengan hadirnya beberapa mendung yang menutupi. Dia berdecak, dipandanginya cahaya matahari yang perlahan menghilang.
"Wahh harinya cerah sekali!" teriak Jeje dengan masih menengadah. Dia mehelakan napas panjang berkali-kali, membuat Juno yang sudah mendahului langkahnya berhenti dan berbalik.
"Hey! Apa kamu baik-baik saja? Langit gelap begini kamu bilang panas! Aneh sekali!" balas Juno yang juga berteriak.
"Heits!" geram Jeje. Dia segera menyusul langkah adiknya. "Kamu tidak pernah belajar mengenai berpikiran positif? Kata orang, dan juga kata beberapa tokoh dalam buku, berpikiran positif itu snagat dianjurkan karena semua yang kita ucapkan adalah doa," ujar Jeje panjang lebar.
"Begitukah?" sahut Juno yang segera memandangi langit. "Waahhh hujannya deras sekali! Kemanakah aku harus berteduh?" ucapnya nyaring dengan tingkah kekanakan yang membuat Jeje kesal.
Plak!
Jeje segera memukul kepala si bungsu keras. Beberapa pengunjung pasar sontak menoleh kearah mereka yang sangat berisik, lebih tepatnya kearah Juno karena teriakannya tadi sangat mengundang perhatian.
"Sudah kubilang jangan sembarangan!" Jeje kembali memukul lengan kembarannya itu.
Juno kesal sekali, dia merasa malu juga sakit karena dipukul dua kali oleh Jeje. Namun dia segera membulatkan kedua matanya saat mendengar gemuruh hujan yang datang.
Hanya dalam hitungan detik setelah teriakan Juno, hujan lebat turun mengguyur seluruh penjuru kota dengan disertai petir yang menyambar. Angin menerpa tubuh keduanya kencang, membuat semua orang di pasar itu berlarian mencari tempat berteduh.
Jeje hanya mengumpat, dia juga segera mencari tempat berteduh dengan diikuti Juno yang berlari dibelakangnya.
"Bodoh! Sudah kubilang harus berpikiran positif!" umpat Jeje yang sangat kesal.
"Ya ampun, Je. Kan aku Cuma iseng. Aku tidak ada niatan untuk mendatangkan hujan sungguhan," gerutu Juno yang mengibaskan rambut pasahnya.
Jeje hanya mendengkus. Keduanya kini berteduh di sebuah toko kecil di tengah pasar. Tubuh mereka basah, beruntung mereka mengenakan jaket sehingga airnya tidak langsung menembus kulit mereka.
Kedua saudara kembar itu cukup menarik perhatian beberapa orang yang lewat. Mereka memperhatikan penampilan Jeje dan Juno yang kali ini sangat mirip. Mereka sama-sama mengenakan sepatu kets, dengan celana tiga perempat, lalu kaos dan berjaket. Jika Jeje tidak memanjangkan rambut, keduanya sangat mirip dan sama sekali tidak dapat dibedakan.
Jeje dan Juno dan mengetahui tatapan orang-orang itu segera sadar. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat dan hanya berdecak setelahnya.
"Kamu kenapa pakai jaket itu juga?" celetuk Jeje yang kurang nyaman dengan tatapan ornag-orang.
"Ini milik Joni. Ahh menyebalkan sekali, kenapa aku tidak menyadari ini sejak tadi," keluh Juno seraya berdecak.
"Kurasa mereka sedang berpikir kalau kita adalah geng tidak jelas yang tersesat," ujar Jeje.
"Haha benar juga. Untung saja rambutmu panjang dan tubuhmu begitu, jadi kita tidak mirip," sahut Juno.
"Tubuhku 'begitu'? Maksudmu?" Jeje manatap kembarannya.
"Iya maksudku … kamu perempuan. Jadi, kita tidak begitu sama dari fisik, hehe." Juno menyeringai kaku.
Jeje mengangguk pelan. Dia setuju dengan kalimat Juno kali ini. Dahulu dia sempat memotong rambut pendek dan banyak yang mengira kalau dia dan dua kembarannya adalah triplet laki-laki. Hal itu membuatnya merasa tidak begitu nyaman, terlebih saat ada perempuan yang menyukai salah satu dari saudara laki-lakinya itu. Jeje juga terkena dampaknya karena dia seringkali dijadikan tumbal oleh Joni dan Juno.
***