Chereads / MY TRUE FAMILY / Chapter 6 - Ditunda

Chapter 6 - Ditunda

"Apa semuanya sudah siap?" tanya Papa seraya merapikan pakaiannya.

"Sudah, Pa." Jeje dan Juno menyusul Papa dengan wajah ceria. Keduanya telah siap dengan semua barang bawaan mereka untuk menginap beberapa hari di rumah kakek.

"Baiklah kalau begitu. Ayo berangkta!" ujar Papa yang berjalan menuju mobil.

Juno sedikit clingukan, jelas mereka sedang kekurangan personel. "Tunggu, Pa. dimana Joni?" tanyanya yang segera membuat semua orang saling pandang.

"Mina, tolong kamu cek kamar Joni," pinta Papa pada seorang pelayan yang masih cukup muda.

"Baik, Tuan." Pelayannya itu segera menuju kamar Joini di lantai tiga.

Juno mengeluarkan ponselnya, dia telah beberapa kali mencoba untuk menghubungi kakaknya itu tapi nihil. "Sepertinya dia masih tidur, Pa. Dia sama sekali tidak memberiku jawaban, ini adalah pecobaan panggilan kesepuluh," imbuh Juno masih tersu mencoba untuk menghubungi Joni.

Sementara itu, di lantai tiga. Mina masih terus mengetuk pintu kamar Joni yang berada di paling ujung. Dia memanggil dan mengetuk beberapa kali, namun tidak ada jawaban.

"Tuan Joni! Apa anda di dalam? Ini tuan besar dan kedua saudara kembar tuan Joni sudah siap untuk berangkat. Mereka menunggu dibawah, Tuan."

Entah sudah berapa kali Mina melakukan itu, hingga dia mulai merasa lelah.

Papa, Juno dan Jeje menghampiri Mina.

"Dimana dia?" tanya Papa.

"Maaf, Tuan. Saya sudah mengetuknya beberapa kali, tapi tuan Joni tidak ada jawaban," jawab Mina dengan wajah bingung.

Papa berdecak, beliau segera mengetuk pintu kamar putra sulungnya itu.

"Joni … Joni! Kamu di dalam? Jon? Joni! Ayo kita berangkat. Semuanya sudah siap, Jon." Papa ikut berteriak dan mengetuk dengan nyaring.

Cukup lama menunggu, akhirnya pintu kamar itu terbuka perlahan.

Klek!

Semuanya segera teralihkan perhatiannya pada sosok yang menampakkan ujung hidungnya.

"Argh! Bau apa ini?" celetuk Jeje sambil mengibaskan tangannya di depan hidung.

Juno bahkan hingga terbatuk dan mual, segera dia menepi dan mencari udara segar.

"Pa, maaf. Aku diare. Aku tidak bisa jauh dari toilet …," ucap Joni lirih dengan menahan nyeri di bagian perutnya.

"Lalu?" tanya Papa singkat.

"Aku … tidak bisa ikut kerumah Kakek," suara Joni tertahan. "Kalian pergilah saja, aku mungkin akan menyusul nanti," sambungnya lagi.

Jeje dan Juno hanya menggaruk kepala mereka yang sama sekali tidak gatal. Semua pelayan yang ada di dekat mereka hanya diam, berusaha semaksimal mungkin menahan tawa mereka karena hal ini.

"Ya sudah kalau begitu, kita tidak jadi berangkat. Kamu lanjutkan saja di toiletnya. Nanti Papa hubungi dokter Helen agar dapat mengobatimu," kata Papa dengan senyumnya yang berwibawa. Khas sekali.

Mendengar kalimat Papa itu, Jeje dan Juno hanya mendengkus kasar. Mereka kesal, karena hari yang mereka tunggu-tunggu harus ditunda entah sampai kapan.

Tanpa basa basi lagi, Joni segera menutup pintu kamarnya dan langsung melesat ke toilet.

Papa hanya mehela napas panjang, beliau lalu memerintahkan Mina untuk menghubungi dokter Helen dan memintanya untuk kemari.

"Baik, Tuan." Mina mengangguk paham dan segera menghubungi dokter Helen, yang merupakan dokter pribadi keluarga Pambudi.

"Ahh apa yang salah dengannya. Selalu disaat seperti ini …," gumam Papa seraya berjalan.

"Gagal liburan lagi … huhh," keluh Jeje.

"Emm …," Juno mehela napas panjang. Dia dan Jeje menjadi sangat lesu seketika.

Papa mengajak mereka ke kebun anggur untuk menikmati angin agar pikiran sedikit tenang.

"Pak Han, tolong angkat kembali barang-barang kami tadi," kata Papa.

"Siap, Tuan."

.

.

Keesokan harinya. Keadaan Joni sudah membaik, diapun sangat siap untuk bepergian. Dia menyusul kedua saudaranya yang sudah masuk mobil terlebihdulu. Keduanya segera menatap Joni seksama.

"Apa?" ujar Joni yang bigung dengan tatapan kedua saudaranya.

"Kamu sudah tidak diare lagi, 'kan?" tanya Jeje yang telah menyalakan lagu di earphonenya.

"Tenang … aku tidak akan diare selama tidak mengonsumsi susu," jawab Joni penuh percaya diri.

"Memangnya kamu ada minum susu dimana kemarin? Sampai diare begitu?" tanya Juno sambil mengemil. Dia memakan keripik pedas kesukaannya.

Joni diam, dia berpikir dan mengingat dimana kiranya dia telah memunym susu.

"Ah! Aku ingat!" teriak Joni tiba-tiba.

"Apa? Ah kamu membuatku terkejut saja!" geram Jeje yang langsung menatapnya tajam.

"Ah apa-apaan Jon. Kamu membuat semua makananku terjatuh," gerutu Juno kesal.

Joni hanya menyeringai memamerkan wajah tampanya. "Aku ingat, aku ada meminum sesuatu yang diberikan oleh orang yang duduk disampingku saat menonton acara musik kemarin," uca" Joni sambil berpikir. "Mungkinkah itu susu?" tanyanya.

"Apa kamu tidak dapat membedakan rasa susu dengan rasa yang lain?" tanya Jeje.

Joni menggeleng. "Itu tidak akan begitu terasa jika dicampur perisa lain, 'kan?" ujarnya.

"Emm benar juga …," gumam Juno. "Berhati-hatilah lagi mulai sekarang. Kamu harus berpikir panjang mengenai dampaknya."

"Emm aku mengerti. Aku sangat haus kemarin. Maaf," suara Joni lirih.

Jeje dan Juno hanya menatapnya datar, mereka tahu kalau itu tidak sepenuhnya salah Joni. Namun mereka tetap kesal karena ditundanya perjalanan ini.

Mereka bertiga menikmati perjalanan dengan sesekali memejamkan mata. Tidak jarang juga mereka memandangi pegunungan yang mereka lewati dan mengambil beberapa gambar untuk kenangan.

Pak supir memarkirkan mobil di halaman sebuah rumah yang besar namun nampak sederhana. Sudah cukup lama mereka tidak kemari, suasananya sangat dirindukan dan menjadi obat lelah bagi mereka yang dalam beberapa hari terakhir disibukkan dengan persiapan festival kampus.

Pandangan ketiganya terarah pada sebuah mobil berwarna biru yang nampak tidak asing. Jelas sekali kalau di rumah kakek juga ada om Tama, tante Ira, dan putrinya yang masih balita, yaitu … Tania.

"Duhh! Aku mencium aroma bocah nakal, nih." Jeje mehela napas panjang seraya merapikan rambutnya yang diikat tinggi.

"Argh berhenti!" teriak Juno yang mengejutkan. segera saja Joni dan Jeje menoleh padanya, begitu juga dengan Papa yang cukup terkejut dengan suara si bungsu.

"Kita pulang saja, gimana?" ujar Juno dengan beberapa kali mengedipkan mata pada Joni dan Jeje.

"Ada apa? Apa ada ang ketinggalan?" tanya Papa.

"Tidak, Pa. Hehe. Aku hanya menggoda Joni dan Jeje," jawab Juno masih cengengesan. Joni dan Jeje hanya ikut tertawa kaku melihat sikap si bungsu.

"kalau begitu, ayo langsung masuk saja. Pak Han, bisa bawa pulang mobilnya dulu. Kami mungkin akan pulang lusa," kata Papa.

"Baik, Tuan." Pak Han sigap dengan sikap sopannya.

Dengan langkah yang berat, Joni, Juno dan Jeje mulai melangkah dan memasuki rumah kakak dn nenek mereka.

Sesuai dengan prediksi ketiganya, aroma bocah nakal itu segera menyambut mereka dan membuat mereka nyaris berhenti di depan pintu.

"Kak Jojooon!"

Tania, bocah perempuan berusia empat tahun yang kini rambutnya diikat dua segera berlari ke arah Joni dan meminta gendong.

Si sulung tidak dapat menolak, dia akan terus memanjakan bocah itu selama dia masih tidak membuat masalah.

***