Kling kling kling!
Tian mendengar suara dari arah sepeda yang ditinggal oleh pemiliknya. Ternyata bukan hanya sepeda, namun Jeje juga meninggalkan ponselnya yang masih berada di keranjang sepeda dengan keadaan tenang. Beruntung sekali benda itu tidak terpisah dari keranjang dan membuatnya masuk ke selokan yang berair dan bau itu.
Tian meraih ponsel Jeje, dilihatnya ada panggilan dari saudara kembarnya, Juno. Dia hendak meneriaki Jeje, namun dia mengurungkan niatnya karena sosok perempuan berambut panjang itu sudah sangat jauh dan jika meneriakinya itu hanya akan membuang energi Tian.
Dia memutuskan untuk menjawab panggilan telepon itu.
"Jeje sedang dalam perjalanan pulang, dia terluka. Kamu harus menjemputnya karena keadaannya sangat menyedihkan." –tuuuuuttt
Rupanya pria itu segera mematikannya tanpa memberi kesempatan pada Juno untuk bicara.
.
.
"Waduh!" sentak Juno yang terkejut dengan jawaban teleponnya.
"Kok waduh? Ada apa, Jun? Apa kata Jeje? Dia baik-baik saja, 'kan?" tanya Joni yang mewakilkan semua orang yang cemas dengan keadaan Jeje.
"Aku tidak tahu siapa yang mengangkat telepon tadi, tapi dia bilang kalau Jeje terluka dan sekarang sedang berjalan menuju kemari," jawab Juno.
Papa segera bangkit dari duduknya. "Kalau begitu, kalian segera jemput dia!" perintah Papa nyaring.
"Siap, Pa!" sahut Joni dan Juno serempak. Keduanya segera berdiri dan keluar untuk menjalankan tugas. Namun langkah keduanya tertahan karena sosok perempuan yang hendak mereka jemput telah menampakkan ujung hidungnya di depan rumah kakek dan nenek.
"Berhenti disana! Berhenti disana, Jeje!" teriak Nenek saat Jeje hendak melangkahkan kakinya masuk ke rumah.
"Coba lihat kamu … dekil begitu! Jangan lewat pintu depan. Masuklah lewat pintu belakang dan langsung menuju kamar mandi. Setelah kamu bersih, barulah boleh bergabung dengan kami di ruang keluarga. Mengerti?" tambah Nenek dengan suara yang masih tinggi.
"Tapi, Nek …," ucap Jeje lirih dengan sedikit nada merengek.
"Tidak ada kata 'tapi', Jeje cantik! Kalau kamu sudah mandi dan bersih, barulah lukanya diobati. Sekarang, cepat kamu lewat pintu belakang dan langsung mandi!" ujar Nenek yang membuat Jeje sangat merinding dengan panjang lebar kalimat beliau.
Jeje mendengkus kasar. Diliriknya kedua saudara kembarnya yang berdiri agak jauh, di dekat Papa. Dengan sedikit mengerucutkan bibirnya, Jeje menghela napas panjang. "Sepertinya kalian bahagia sekali, ya?" ujarnya dengan sangat geram. Dia sangat marah, namun tidak dapat mengumpat karena ada keluarga besarnya.
"Eeh … kami tidak bahagia sama sekali, Je. Mana mungkin kami bahagia dengan keadaan saudari tercinta kami yang seperti ini," sahut Joni dengan senyum kakunya.
"Iya. Mana mungkin kami bahgaia. Kami justru bertanya-tanya, kenapa kamu masih hidup, Je?" sambung Juno yang berhasil membuat Jejesemakin geram.
Jeje mengerutkan dahinya, dia menatap tajam kedua saudaranya yang sangat menyebalkan itu dan hanya mendengkus kasar seraya berjalan menuju pintu belakang rumah Nenek.
"Eghem! Joni, Juno …," ujar Papa yang membuat kedua saudara kembar Jeje itu menoleh bersamaan.
"Kalian harus meminta maaf dengan Jeje. Tidak baik selalu membuat saudara kalian menderita seperti itu," tegas Papa.
"Kami tidak melakukan apapun, Pa. kami hanya bermain-main," sahut Juno masih sedikit cengengesan. Namun Joni menyenggol lengannya, memberikan kode kalau Papa sedang tidak bercanda dan tidak akan menyukai sikap mereka yang tidak serius.
"Emm baik, Pa. Kami akan minta maaf pada Jeje nanti," kata Juno dengan menundukkan pandangannya.
Papa kembali ke dalam menuju ruang keluarga, sementara Juno dan Joni masih diam ditempat.
.
.
"Kak Zea. Maaf ya, gara-gara Tania, Kak Zea jadi seperti ini. Terluka dan sakit …," kata tante Ira pada Jeje yang sedang diobati lukanya oleh kedua saudara kembarnya, duduk di kursi di dapur –karena kotak P3K ada di dekat lemari dapur-.
Jeje baru hendak membuka mulut hendak menjawab kalimat tante Ira, namun kedua saudaranya sudah terlebihdahulu memberikan jawaban.
"Tidak masalah, Tante. Seorang kapten basket itu kuat, jadi … dia tidak masalah dengan luka kecil seperti ini," ujar Joni seraya memberikan obat merah pada luka Jeje dengan kapas, sedikit ditekannya hingga Jeje meringis nyeri.
"Iya, Tante. Jeje ini pemegang sabuk hitam Taekwondo 'kan? Jadi dia tidak akan terkalahkan hanya karena terjatuh dari sepeda," sambung Juno yang mengobati luka pada kaki Jeje.
Jeje hanya tersenyum dan mengangguk pelan sebagai responnya pada tante Ira. Dia sangat tidak mungkin akan marah karena itupun tidak sepenuhnya sala si bocah kecil, namun dia juga yang tidak mengerem sepeda hingga terjatuh.
Sekarang, posisi Jeje seperti tuan putri yang diurus oleh dua pelayan yang sangat menyebalkan. Semakin tidak manusiawi, kedua saudaranya itu membuat Jeje semakin merasa nyeri karena memberikan tekanan cukup keras untuk luka baru perempuan itu.
"Hiyaa!!" Jeje menarik rambut kedua saudaranya itu sampai mereka kesakitan dan menjerit seperti bocah yang mainannya direbut.
"Argh! Sakit, Je!"
"Jeje lepaskan! Argh!"
Joni dan Juno meronta-ronta saat rambut pendek mereka digenggam erat oleh Jeje dan ditariknya. Mereka sangat kesakitan.
"Ada apa ini?" Papa menghampiri tiga anaknya dengan segera. Beliau yang baru saja mengobrol dengan Om Tama sangat terkejut dengan teriakan nyaring dua putra beliau.
"Ini, Pa. mereka berdua menyiksa aku. Bukannya diobati malah ditekan-tekan sembarangan. Sakit banget!" ujar Jeje yang sangat kesal. Dia segera melepaskan cengkeramannya karena sudah merasa puas dengan teriakan Joni dan Juno yang sangat kesakitan.
"Ahh ya ampun kalian ini seperti anak kecil!" kata Papa yang mendengkus. "Sudah-sudah, berhenti main-main. Kalian membuat Papa jantungan, tahu?!" suara Papa kembali meninggi.
Jeje hanya menyeringai, dia mengangguk sebagai tanpa dia akan menuruti perkataan Papa, namun dia masih memiliki dendam pada kedua saudaranya.
"Kamu sadis, Je. Kepalaku rasanya mau lepas karena cengkeramanmu barusan," keluh Joni yang segera menyandarkan kepalanya pada dinding.
Sementara Juno, dia segera memegangi kepalanya seolah hendak memasang ulang baut yang sudah terlepas.
"Parah sih. Kepalaku rasanya nyeri sampai ke otak," ujar Juno yang hanya menatap kosong Jeje yang tidak merespon keduanya.
"Kak Jeje!" teriak bocah yang membuat Jeje mehela napas panjang.
"Kak Jeje, diluar ada Kakak laki-laki tampan yang sedang jualan permen," ujar Tania yang menghampiri Jeje yang masih memasang plester di beberapa luka kecilnya. Jeje hanya menatap Tania tanpa ekspresi.
"Kakak itu bilang, dia masu memberi hadiah untuk Kak Jeje. Itu kakaknya masih diluar," tmbah Tania seraya memakan lolipop besar. Bocah itu sama sekali tidak mempedulikan keadaan Jeje yang bisa dibilang parah karena dia kesulitan untuk berjalan karena nyeri di kaki dan hampir seluruh tubuhnya.
Joni dan Juno menatap Jeje bersamaan. "Ciyeee … hadiah dari penggemar rahasia, ya?" ujar keduanya yang sangat kompak.
Jeje tidak menghiraukan keduanya, dia hanya berusaha untuk bangun tanpa meminta bantuan oleh siapapun karena dia masih sangat kesal dengan orang disekitarnya.
***