Jeje mehela napas panjang. "Baiklah. Ayo kita lanjutkan. Masih banyak yang harus ditulis dan diketik …," ujarnya pada Joni yang masih berdiri kesal.
"Kok kamu mau diperlakukan seperti ini sama Juno, sih? Dia sangat tidak tahu terimakasih!" geram Joni yang kembali duduk.
Rambut panjang Jeje yang semula rapi kini menjadi bernatakan dengan beberapa helai pendek yang berdiri seperti baru saja tersengat aliran listrik.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Joni yang mulai khawatir dengan adik perempuannya.
Jeje mengangguk. "Dia adik kita, Jon. Sudah seharusnya kita berbuat baik dan membantunya," ujar Jeje. "Lagipula, ini demi uang …," sambungnya dengan helaan napas panjang pasrah.
Joni mengangguk pelan. Dia sangat menyetujui kalimat Jeje, karena mereka adalah tim hemat yang memang harus menabung untuk keperluan mereka.
Sementara kedua saudaranya sedang sibuk dengan semua tugasnya, Juno kini sedang asyik mendengarkan instrumen drum dengan earphone di kelas. Bahkan dia tidak menyadari adanya panggilan telepon yang masuk karena dia terlalu menghayati alunan instrumennya, juga karena ponselnya itu mode diam sehingga tidak berbunyi.
Seorang perempuan yang sedang melewati mejanya, melihat ponsel itu menyala. Segera saja dia memberitahu si pemilik ponsel, namun tidak dihiraukan. Juno sedang menulis sesuatu di kertas dengan mengangguk mengikuti suara instrumen.
"Jun, ponsel kamu menyala …," tegur perempuan itu yang segera duduk di bangku yang tidak jauh dari Juno. Namun Juno masih tidak menghiraukannya.
"Jun …," perempuan itu menepuk pelan tubuh Juno hingga membuatnya menoleh.
"Ada apa?" tanya Juno dengan polosnya.
"Ponsel kamu … ada panggilan," ujar perempuan itu lagi seraya menunjuk ponsel Juno yang tergelatak di meja.
"Ohh … iya halo …." Juno segera mengangkat panggilan telepon itu dan keluar kelas.
"Ish! Bisa-bisanya dia tidak mengetahui ada panggilan padahal dia mendengarkan musiknya …," gumam perempuan itu dengan lirih.
"Papa kapan pulangnya?" tanya Juno pada Papa di seberang telepon.
"Oh, kenapa tidak memberi kabar?" tanyanya lagi. Dia melirihkan suaranya dan berdiri di balik tiang di depan kelasnya, dia bersandar.
"Mereka … emm, mereka sedang ada kelas, Pa. Mendekati Ujian Tengah Semester, kami memang selalu sibuk." Kata Juno yang sebenarnya juga tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh kedua saudaranya sehingga tidak dapat menerima panggilan dari Papa mereka.
"Baik, Pa. Iya …." Juno menutup panggilannya. Itu adalah percakapan singkat yang sangat penting untuknya. Jelas sekali bahwa Juno menjadi ceria setelah berbincang dengan Papa. Seolah dia baru saja mendapatkan suntikan vitamin juga isian daya yang membuat dirinya menjadi lebih baik.
"Ra, hari ini kita pulang bersama. Bisa?" Juno menghampiri perempuan manis yang tadi menegur mengenai ponselnya.
"Ah maaf, Juno. Aku hari ini sudah janji akan pulang bersama Desta," jawab perempuan itu dengan menatap Juno.
"Emm begitukah … Baiklah. Mungkin besok atau lain kali saja, gimana?" tanyanya lagi.
"Hemm," jawab Ara dengan tersenyum manis. Hal yang membuat hati si bungsu bergetar sejak awal mereka bertemu, Juno selalu menyukai saat perempuan itu tersenyum padanya.
"Baiklah Juno. Tidak masalah dia hari ini pulang bersama dengan sepupunya, namun besok dan seterusnya dia akan pulang bersamamu. Apalagi kamu akan membawanya naik mobil, dia pasti akan merasa nyaman," gumam Juno seraya kembali ke tempat duduknya. Dia tersenyum samar dengan sesekali menoleh perempuan yang berambut lurus panjang itu.
Herjuno Pambudi, itulah nama lengkap Juno si bungsu dari kembar tiga Putra dan Putri Pambudi. Dia memang tipe orang yang cukup licik dalam beberapa hal, namun dia juga tidak jarang menjadi korban dari pikiran liciknya itu sendiri.
Seperti saat dia meminta kedua saudaranya untuk menyelesaikan tugasnya yang menumpuk. Dia mendapat balasan dari Joni dan Jeje yang meminta banyak hal sebagai traktiran dari si bungsu. Mulai dari makanan, hingga beberapa barang yang sedang mereka inginkan, semuanya dibeli dengan menggunakan uang Juno.
Sial sekali. Namun dia tidak dapat menolak karena itu juga merupakan bagian dari perjanjian atas balapan mereka setiap pagi.
Sesampainya di rumah, mereka bertiga segera memarkirkan mobil mewah mereka di halaman depan. Mereka selalu seperti itu karena untuk memarkirkan mobil di halaman samping, itu adalah tugas dari para penjaga.
Ketiganya disambut dengan adanya sebuah mobil hitam nan mengkilap yang terparkir di dekat mobil mereka. Sangat tidak asing, mereka segera mengetahui siapa pemiliknya.
"Papa sudah pulang?" tanya Joni pada seorang penjaga yang sedang bertugas.
"Sudah, Tuan. Beliau sekarang sedang berada di halaman belakang," jawab penjaga itu sigap dan sopan.
"Emm," Joni hanya mengangguk. Dia segera berjalan menuju halaman belakang dengan diikuti oleh kedua saudaranya. Penjaga itu segera menganggukkan kepalanya sebagai tanda hormat pada tiga bos mudanya itu.
Terlihat Papa sedang bermain golf dengan didampingi oleh sekretaris sekaligus asisten pribadinya. Pria tua yang masih nampak bugar dan sehat, sosok yang sangat amat disayangi dan dicintai oleh tiga remaja kembar itu.
"Papa kenapa tidak memberi kabar kalau mau pulang?" tanya Joni agak nyaring seraya menghampiri lapangan golf kecil tempat Papa berada.
"Eh kalian sudah pulang?" Papa berhenti bermain. Dipandanginya tiga anak yang sudah tumbuh dewasa dengan baik itu satu per satu. Beliau segera meminta pak Han, asistennya, untuk membereskan semua peralatan bermainnya karena beliau hendak menghampiri anak-anak beliau.
"Aku bisa menjemput Papa di bandara kalau Papa bilang, 'kan," kata Joni lagi.
Papa segera tersenyum, beliau merangkul putranya itu dan segera menepi menuju sebuah meja dengan kursi untuk bersantai setelah bermain golf.
"Papa sudah menghubungi Juno kalau Papa pulang. kalian berdua tidak diberitahu olehnya?" tanya Papa yang minum jus apel kesukaannya.
Joni dan Jeje segera melirik Juno yang masih berdiri mengedarkan pandangan ke halaman belakang. Dia yang merasa menjadi pusat perhatian segera menyeringai mengakui kesalahannya.
"Hehe. Maaf, aku lupa memberitahu kalian," ujarnya yang menyeringai hingga kedua mata sipitnya nampak seperti garis lurus.
"Ish! Dasar pelupa!" celetuk Jeje kesal.
Papa terkekeh dengan sikap anak-anaknya itu. "Sudahlah … manusia memanglah tempatnya lupa," ujar beliau yang membuat perasaan Juno membaik. "Oh iya, kalian kira-kira kapan bisa cuti kuliah?" tanya Papa yang menatap anak-anaknya itu bergantian.
"Cuti kuliah?"Jeje mengernyitkan dahinya.
"Iya. Papa mau mengajak kalian pergi ke rumah kakek dan nenek," ujar Papa. "Kalian tahu, 'kan kalau Papa sering di luar negeri? Jadi, papa ingin menemui mereka ketika ayah pulang seperti ini."
"Wahh pasti menyenangkan. Aku besok bisa, Pa." Joni sangat antusias.
"Aku kalau besok tidak bisa, Pa. ada pertandingan basket putri di kampus, acara tahunan.," ujar Jeje sedikit cemberut.
"He emm, aku juga besok malam ada festival musik," tambah Juno yang menyetujui Jeje.
"Kalau begitu, lusa saja. Apa kalian bisa?" tanya papa lagi.
Ketiga remaja itu terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu akhirnya mereka menyetujui ajakan Papa itu.
***