Kaira masih berdiri di tengah lobi, ia sudah sampai semenjak tadi, tapi masih melihat-lihat sekitar. Seorang petugas yang melihatnya langsung mendekat, menawarinya kopi jika mau. Di sana ada kopi gratis.
Kaira segera menggeleng dan mengucapkan terima kasih dengan santun. Pagi-pagi minum kopi setelah sarapan sungguh bukan sifatnya. Petugas itu menanyakan keperluannya, segera Kaira menjawab singkat tentang wawancara.
Setelahnya ia segera berlalu dari sana, sudah cukup basa-basinya.
Ada banyak hal menarik di sekitarnya. Orang-orang berpakaian rapi.
Kaira menengok jamnya, masih cukup lama dari waktu yang di tetapkan hingga yang kini dilakukannya hanya berjalan-jalan tak tentu arah.
Sampai suara gemuruh dari dalam ruangan menarik atensinya.
Ia berbelok sedikit menuju ke arah suara.
Sebagian terdengar seperti nada makian.
Ia segera mendekat, berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, pelan-pelan ia mengintip. Tidak ada penjagaan atau plang peringatan di larang masuk, dari sanalah suara ribut itu berasal.
Ada banyak orang di dalam sebuah ruangan. Mirip aula berukuran sedang. Kursi berjejer rapi di kedua sisi dengan bagian tengah sengaja dibuat kosong untuk tempat berlalu lalang.
Kaira bukan orang bodoh, ia tahu sekarang sedang terjadi persidangan.
Masih ada bangku kosong, gadis tersebut langsung duduk di salah satu kursi yang berada di barisan kedua.
Baru ia sadari seorang pria baru saja berdiri dengan berbicara dengan tegas. Matanya menyipit berusaha mempertajam Indra. Ia baru ingat pria itu bernama Faiz.
Jaksa yang ia temui kemarin.
Para hakim di sana memerhatikan nya dengan seksama, termasuk dirinya dan sekitar.
Pengacara bahkan tak berkutik berhadapan dengan Faiz.
Gadis itu kemudian menoleh ke arah kursi terdakwa. Seorang pria dengan potongan rapi duduk dengan wajah memerah padam.
Ketika semua dakwaan di alamatkan padanya.
Tangannya terborgol.
Dia tersangka pembunuhan dari seorang gadis SMP.
Palu diketuk, hukuman penjara seumur hidup pun di dapatkannya.
***
Tanpa sadar persidangan berlalu dengan cepat orang-orang mulai meninggalkan tempat. Terdakwa segera dibawa cepat agar tak timbul kericuhan nantinya.
Sebelum itu Faiz sudah pergi duluan dari ruang sidang. Kaira mengikutinya. Entah apa yang ingin ia lakukan, gadis itu sedikit penasaran.
Agaknya Faiz yang menolongnya kemarin sedikit berbeda, atau ini hanya perasaannya saja. Bisa jadi seperti itu sebab bisa saja karakternya berbeda ketika sedang sidang. Tahu sendiri jaksa harus bersikap seperti apa.
Faiz berjalan bersama seorang pria lain. Temannya, seorang wanita dengan penampilan anggun dalam balutan pakaian serba hitam. Ia mengenakan blouse dan celana panjang yang membuatnya nampak jangkung. Ketika Kaira berdiri di depannya, nampaknya mereka sepentaran, bertanya karena wanita itu memakai sepatu hak tinggi jadinya ia sedikit lebih tinggi.
Faiz menghentikan langkahnya ketika mendapati ada seseorang yang menghalangi jalannya.
Hanya menatapnya sekilas sebelum ia jalan lagi, tak menghiraukan Kaira. Begitu pun dengan wanita itu. Yang Faiz pikirkan gadis itu salah satu dari wanita yang kerap mengidolakannya.
Kaira mengerjap bingung, ia dilewati begitu saja.
Gadis itu kembali mengejarnya. Ada hal yang harus di selesaikan nya.
"Tunggu, kau lupa padaku?" tanya Kaira malah penasaran. Faiz dan Ana segera menoleh, melihat ke arah gadis yang barusan berbicara.
"Kau bicara padaku?" kata Faiz dingin.
Kaira tersenyum kecut, apa ada orang lain di sana yang harus ia ajak bicara.
"Anda tidak berpikir saya sedang bicara dengan pot bunga kan?" ujar Kaira sopan namun dengan tampang masam, di samping Faiz memang ada pot bunga.
"Maaf tapi ini pertama kali aku melihatmu, jika ini trik untuk mendapatkan nomor ponsel, sudahi saja," sahutnya santai.
Kaira melongo, demi apapun pria di depannya ini sangat kepedean.
"Aku akan membunuhmu!" Terdengar teriakan dari arah lain, terdengar sangat dekat, Faiz dan Ana menoleh ketika tersangka pembunuhan tadi sedang berlari ke arah mereka dengan paku teracung. Kejadiannya sangat cepat, Ana berteriak dan Faiz menegang, ia tak punya kesempatan untuk mengelak karena jarak.
Ada darah menetes dan suara dentuman di atas lantai. Beberapa penjaga yang harusnya mengamakan tersangka itu berlari cepat mendekat.
Ana tersaruk mundur hingga kini berada di dekat dinding, sementara Faiz jatuh terduduk di lantai.
Tersangka itu mengerang di lantai.
Kaira menatapnya serius. Dari tangannya lah darah itu menetes.
Begitu mendengar teriakan, gadis itu segera mendorong Faiz cepat, langkahnya terbilang agresif hingga bisa melawan pria itu, sayangnya ia tak bisa menghindar ketika paku itu mengores lengannya. Ia sadar ketika pria itu sudah dibantingnya cukup keras.
Penjaga itu segera meringkus kembali tahanannya, sementara yang lain menanyakan keadaan Kaira, dan Faiz yang sedikit syok berusaha bangkit sendiri.
Matanya terpaku pada darah yang menetes di lengan Kaira.
"Aku baik-baik saja," kata Kaira dengan napas agak terengah kepada yang lain.
Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sapu tangannya. Ia membalutnya dengan itu.
"Nona ikut saya, saya akan membawa anda ke fasilitas kesehatan di sini," kata petugas itu khawatir.
Kaira tersenyum, ia menggeleng. Mengatakan bahwa lukanya tak terlalu dalam, jadi ia baik-baik saja, lagipula alarmnya baru saja berbunyi, mengingatkan bahwa dirinya ada wawancara.
"Terima kasih, saya harus pergi," kata Kaira lagi pamit pergi. Ia kemudian berbalik lagi ketika baru pergi beberapa langkah, tangannya menyodorkan sebuah pena pada Faiz yang diambilnya dari tasnya barusan. Sebenarnya bukan ia yang menemukannya, melainkan Iriana. Ia masih ingat kata-kata gadis itu ketika ia menolak permintaannya.
"Siapa yang tahu kalau kau akan menemuinya lagi secara tak sengaja, entah memang tak sengaja atau sudah takdir, selama itu juga simpan pena itu," kata Irina. Walau dalam hati ia senang, ia berharap dengan pena itu Kaira dan Faiz bisa menjadi lebih dekat dengannya.
"Saya tidak tahu itu milik anda atau bukan, tapi rasanya tidak nyaman jika menyimpannya terlalu lama," ujar Kaira tersenyum tipis lalu benar-benar pergi.
Faiz hanya terdiam saja sambil memandangi pena dan Kaira bergantian. Ia baru sadar ketika petugas menanyakan keadaannya.
"Saya baik-baik saja," kata Faiz.
Petugas itu ikut senang. Tapi sedikit ngeri dengan ulah Kaira. Bahkan walau terluka ia tetap bersikap biasa saja.
"Apa dia polisi ya," gumamnya menebak sambil berlalu pergi dari sana. Memikirkan betapa hebatnya Kaira barusan. Sekaligus malu karena mereka baru saja melepaskan tersangka karena lengah. Borgol itu kemudian dialihkan ke belakang.
Kaira menaiki lift, ia sedikit mengencangkan sapu tangannya, ujung bajunya sedikit terkena cipratan darah, ia harap para penguji nantinya tak melihat hal itu.
Pintu terbuka, ia sudah sampai sekarang. Nampak ada beberapa orang lain yang sudah ada di sana. Tentu saja ia tak sedang wawancara sendiri. Walau hanya beberapa bulan, ia rasa pekerjaan itu cukup menjanjikan dan bisa menjadi peluang.