Gadis itu menatap daftar belanjaan yang harus dibelinya, sebagai hukuman karena tidak ikut pas acaranya Pamannya kemarin. Beruntung, jarak pasar tidak terlalu jauh, jadi ibunya menyuruh Kaira pakai sepeda saja.
Dengan skill menawar dan memilih barang yang diturunkan oleh ibunya. Dan berdesakan dengan para ibu-ibu, Kaira pun kini menjinjing belanjaan. Tentu saja ia menawar denga harga wajar untuk barang tertentu. Meski dengan badan yang cukup mengenaskan. Karena terhimpit di antara ibu-ibu berbadan subur. Ia pasrah. Karena tidak mungkin melawan mereka. Bisa durhaka dia.
"Pak beli ikannya." Teriak Kaira, sebab sang penjual sedikit terganggu pendengaranya, pria paruh baya itu mengganguk kemudian dengan cekatan memasukkan ikan yang masih setengah hidup ke dalam plastik. Ia kenal siapa Kaira, gadis itu memang biasanya beli ikan di sana, bisa dibilang salah satu keajaiban, sebab anak zaman sekarang, apalagi yang wanita biasanya enggan jika disuruh belanja ke pasar sendirian.
Ibunya pernah berpesan, kalau belanja yang bagus itu biasanya di tempat yang banyak pembeli, karena biasanya barang murah dan bagus bakalan diserbu oleh orang-orang. Setelah uang ia bayarkan, tak lupa dirinya mengucapkan terima kasih.
Satu persatu secara alami, tanpa pena. Ia meneliti barang-barang belanjaan. Tidak ada yang ketinggalan ataupun tertukar. Karena itu juga ia memutuskan untuk menyelesaikan perburuan dan pulang kerumah. Udara terasa memanas.
Namun saat ingin menyeberangi jalan raya, pandangannya menatap ke arah seorang kakek yang mendorong gerobaknya terjatuh, sayuran tercecer. Kaira berlari mendekati sang Kakek yang rambutnya mulai memutih, tangannya agak gemetar saat itu. Tak banyak yang terlihat peduli, karena sibuk berlalu lalang sebab cuaca sedang panas-panasnya. Ia membawa sang kakek ke emperan toko yang sedang tutup. Tepat di belakangnya.
"Kakek tunggu di sini dulu," kata Kaira.
Lalu menitip barang belanjaan sebentar dan kembali dengan sebotol minuman dan roti ditangan.
Kakek itu terduduk lesu dengan wajah lemas. Kaira membukkan botol minum dan menyodorkannya. Kakek itu mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Tak lupa membukakan roti. Kakek itu nampak kelelahan dan kelaparan. Kaira iba, kakek itu seharusnya sudah pensiun sekarang, tapi masih semangat mendorong gerobak.
"Gerobak saya," kata kakeknya.
"Biar saya saja," jawabnya.
Sedangkan dirinya dengan sigap memunguti dagangan sang kakek yang berupa ubi jalar dan kayu. Serta beberapa ikat sayuran hijau.
Saat ingin mengambil sebuah ubi jalar yang menggelinding. Tiba-tiba dihadapannya berdiri seorang pria yang sepatu nya tepat berada di samping ubi.
Ia mendongak dan mengatakan minggir. Sedangkan ia menatap kearah lain. Sibuk memungutinya.
Ia tak begitu peduli pada pakaian stylish yang dikenakan. Ataupun merk mobil yang ia gunakan.
"Kamu Kaira bukan?" Tanyanya mengejar Serta.
"Kamu, sekarang jualan sayur?" Kaira masih acuh tak begitu mengindahkan ucapan sang pria.
"A,h, memang hidup ini tidak ada yang tahu ya, siapa yg menyangka seorang Kaira akan berkerja di pasar seperti ini.
"Hei! Jangan injak sayurnya!" Bentak Kaira murka hingga pria itu berjengit dan langsung memundurkan langkahnya ketika tak sengaja menginjak sayuran yang tercecer.
"Maaf, harusnya kau menerima ku dulu," sambungnya lagi
Gadis itu selesai menaruh dagangan di gerobak lagi, lalu mendorongnya ke tempat teduh. Kemudian menatap pria yang tak berhenti mengoceh dan mengikutinya.
Pria itu terdiam, ketika melihat wajah Kaira. Walau gadis itu penuh peluh ia masih nampak cantik dimatanya.
"Kau mengenalku?" Tanyanya.
"Astaga, kau begini jadi berpikir aku tidak mengenalinya ya, jujur saja., Kau itu sulit dilupakan, aku sudah sukses sekarang," katanya terdengar angkuh
"Maaf, tapi kau siapa? Aku tidak ingat punya teman mulutnya toa seperti mu," sindir Kaira.
"Astaga gadis ini, benar-benar rendahan sekali."
"Orang rendahan? Aneh. Kau ingat orang rendahan seperti ku? Tapi aku bahkan tak mengingingatkmu. Aku sibuk. Bye," ujar Kaira.
"Tunggu! Bukan itu maksudku Kaira! Namaku Rio!'
Pria itu masih saja bersikeras padanya. Sementara Kaira sudah duduk di samping Kakek yang kelelahan itu. Melihatnya Rio jadi terdiam.
Ia berpikir apa itu adalah kakeknya Kiran.
"Kakek mau saya anterin ke rumah sakit?"
"Tidak perlu Nak, kakek hanya butuh istirahat sebentar."
Gadis itu lalu memijit pergelangan kaki sang kakek. Rio baru sadar sepertinya Kaira tengah menolong pria renta itu.
"Nak pulanglah, palingan sebentar lagi cucu kakek datang," katanya merasa tak enak pada Kaira yang begitu baik. Bukannya menurut Kaira malah menggeleng, ia bilang akan menunggu sampai cucu kakek itu datang, barulah dirinya akan pulang. Dimarahi mama karena pulang terlambat tak apalah pikirnya, toh ia sudah kebal dimarahi.
Tak berselang lama, cucu yang dimaksud datang. Rupanya cucunya itu baru saja pulang dari pengajian. Terlihat dari kopiah yang dikenakannya, Kaira taksir mungkin umurnya masih belasan tahun. Ia terlihat panik ketika melihat kakeknya, Lalu Kaira menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Anak muda itu mengucapkan terima kasih dengan tulus padanya.
Karena kakeknya sudah cukup membaik, Kaira pun pamit pulang sambil menjinjing belanjaannya.
Netranya menangkap siluet pria tadi yang mengganggunya. Ternyata pria itu masih ada di sana dan belum juga pergi.
"Maaf, kukira itu sayuran tadi punyamu," katanya berjalan di samping Kaira.
"Pergilah, Aku harus segera pulang, kalau tidak mamaku bisa marah," ujar Kaira terdengar mengusir.
Rio tersenyum, dari dulu Kaira masih sama saja belum berubah sedikitpun. Ia tahu gadis itu sangat baik. Tapi anehnya pada dia perlakuannya sedikit berbeda. Tadi dengan sang kakek gadis itu sangat lembut. Giliran dia malah acuh sekali.
"Iya, aku tahu, tapi maaf soal yang tadi, aku tidak bermaksud begitu," katanya lagi.
Kaira menghentikan langkahnya.
"Aku sedikit lupa denganmu, mungkin di rumah nanti aku akan ingat, jadi—" Kaira mengambil napas panjang.
"Sampai jumpa lagi," katanya pamit pergi dengan langkah tergesa menuju angkot yang masih beroperasi.
"Dasar gadis aneh," ujar Rio tersenyum.
"Bisa-bisanya aku jatuh cinta dengan gadis sepertinya. Seleraku unik sekali," gumamnya. Diliriknya kakek dan cucu tadi yang masih di sana. Langkah kakinya berjalan menuju ke sana.
"Permisi, Kek, apa saya bisa beli sayuran ini semua?" tanyanya dengan senyum sumringah sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang jauh lebih cukup dari harga aslinya.
Kiran menatap pria itu dari jauh, sepertinya dia tak sebobrok kelihatannnya. Padahal Kiran tadi berniat untuk pergi ke rumah untuk mengambil uang lebih untuk membeli barang sang kakek.
Kakek dan cucunya mengucapkan terima kasih berulang kali padanya. Membuat Rio terenyuh sebab belum ada yang bicara setulus itu padanya. Bahkan teman-teman yang sering ditraktirnya.
"Ternyata begini rasanya menolong orang lain," ujarnya.
Kemudian menatap sayuran itu.
"Tunggu— apa yang harus kulakukan dengan ini?" ucapnya kebingungan karena sayuran itu terlalu banyak.