Dering ponsel membuat nya harus terjaga. Ia meraih ponsel nya di nakas. Lalu menatap nomor asing yang seketika membuat nya mengernyit.
"Ya siapa?" tanya Gigi sembari mengumpulkan segenap nyawa nya.
"Saya. Alga."
"Tumben punya HP?" ujar Gigi takjub. Pasal nya Alga tidak pernah mau menggunakan ponsel bahkan Gigi menganggap nya bahwa Alga adalah makhluk purba yang hidup di jaman sekarang.
"Punya Eiryl."
"Oh. Ada apa lo nelepon gue?"
"Saya tunggu kamu di lobi. Ada yang mau saya bicarakan."
Gigi berdecak sebal. "Disini aja. Gue mager."
"Nggak bisa. Pokok nya saya tunggu kamu di lobi."
"Sekarang?"
"Iya."
Gigi menghela. "Orang macem lo kenapa harus hidup, sih? Ganggu orang aja!"
Tut!
Alga tidak memedulikan itu. Ia tahu, Gigi hanya bercanda.
Sedangkan Gigi, segera beranjak dari tempat nya dan mengendap-endap agar bisa lolos dari perawat penjaga. Lantas segera melesat menuju lobi utama lantai lima.
Di kejauhan terlihat sosok yang tengah duduk bersandar di sofa. Tepat di bawah lampu temaram. Gigi menghampiri Alga. Ia menepuk tubuh Alga dengan tongkat nya.
"Ada apa, sih, lo nyuruh gue ke sini?" tanya Gigi langsung duduk di ujung sofa dan berjauhan dengan Alga.
"Gimana terapi nya? Lancar?" tanya Alga tidak mendengar pertanyaan Gigi.
Lantas Gigi menunjukkan lengan kiri nya pada Alga. Terlihat ada sedikit luka lebam tepat di bekas suntikan nya.
"Sakit?" tanya Alga lagi.
"Ngilu," jawab nya. "Gue heran," lanjut nya.
"Kenapa?"
"Kenapa lo masih hidup?" kelakar Gigi kemudian tertawa.
Alga ikut tertawa. "Kalo saya mati, nanti Eiryl jomblo," balas nya.
Gigi berdecih. "Sok lo!" maki nya tidak segan pula untuk memukul betis Alga dengan tongkat nya.
Alga tertawa lagi. Kemudian bangkit dan berlalu tanpa sepatah kata pun untuk Gigi.
"Mau kemana lo?" tanya Gigi segera mengekori langkah Alga.
Alga tidak menjawab nya. Ia terus melangkahkan kaki nya. Semakin cepat hingga nyaris berlari. Kemudian menghilang.
"ALGA!" panggil Gigi saat tubuh Alga menghilang di balik tembok. Ia tergopoh-gopoh untuk mengejar langkah nya yang tak seimbang. Jelas, Ia hanya memiliki satu kaki yang bisa berfungsi. Tapi, sialan. Alga malah mempercepat langkah nya.
Dan sekarang ia tengah kebingungan mencari jejak Alga yang sama sekali tidak terlihat. Setidak nya ada bayang-bayang dari lampu yang bersinar mengenai tubuh nya. Gigi menghela kasar. Ia menyesal sudah mau menuruti permintaan teman sialan nya itu.
"Bangsat, lo!" rutuk nya.
Namun dering ponsel nya membuat Gigi lantas menatap layar yang menampakkan nomor Alga. Ah, bukan tapi Eiryl.
"Dimana lo, anjing?!" tanya Gigi begitu mengangkat saluran telepon.
Tapi bukan jawaban dari Alga yang ia dengar, melainkan suara petikan gitar sekaligus sebuah nyanyian. Ia tahu lagu itu, bahkan ia sangat hafal dengan lirik nya.
Siapa yang tidak mendengar lagu itu yang ternyata sama-sama mengisi gendang telinga nya. Gigi bergeming menatap pintu kamar rawat nya yang hanya berjarak 10 meter dari tempat nya berdiri.
Lagu itu masih terdengar bahkan semakin jelas.
Hening. Saat ia membuka pintu kamar nya. Ia mengedar hingga ke sudut ruang yang gelap. Tidak ada penerangan sedikit pun selain dari cahaya yang masuk melalui celah pintu yang terbuka.
Gigi menekan saklar lampu. Hingga semua nya nampak. Eiryl, Putri, Arya, dan Dimas sedang memetik gitar. Tapi dimana Alg?
Lagu itu berlanjut.
Gigi membalikkan tubuh nya. Pasti itu suara fals Alga. Ah, ternyata benar, si sialan itu yang bernyanyi di bagian akhir. Apa-apaan dia? pikir nya.
Alga tersenyum ke arah sahabat nya itu.
"Selamat ulang tahun ya, Gi," ucap Putri mengulurkan tangan nya.
"Makasih," balas Gigi penuh haru. Lantas menerima uluran tangan Putri.
"Selamat ulang tahun juga, bro," susul Dimas dan Arya bersamaan. Mereka memeluk tubuh Gigi.
"Iya, bro. Thanks, ya." Air mata nya jatuh di balik rangkulan itu.
Dimas menepuk-nepuk bahu Gigi dengan pelan.
Rangkulan nya mengendur. Pandangan Gigi kembali terarah pada Alga yang berdiri tepat di depan pintu. Namun seketika tatapan nya jatuh pada laci yang membuat nya sedikit janggal.
Seharus nya Alga iangat bahwa Gigi akan selalu ingat dengan letak barang-barang nya dan ia akan tahu jika salah satu barang nya berpindah tempat meski hanya sejauh satu inci.
Lantas tangan nya meraih gagang laci itu lalu mengambil buku paling penting nya yang ia yakini sudah tersentuh oleh tangan Alga. Gigi mengarahkan buku itu pada Alga kemudian melempar nya dengan tepat.
"Sorry, kalo nggak ada kue ulang tahun. Karna gue tau lo alergi makanan manis," ujar Alga usai menerima buku itu.
Gigi malah tertawa. "Gue rasa kue ulang tahun yang katanya manis itu nggak terlalu penting." Ia melirik Eiryl.
"Oh iya, lo udah pacaran sama Alga?" tanya nya kemudian pada Eiryl.
Gadis itu malah membisu.
"Jujur aja. Nggak apa-apa," desak Gigi.
"Gu-gue sama Alga cuman temenan, kok," ujar Eiryl. Padahal hati nya sedang begitu jatuh pada sosok kaku di depan pintu sana.
"Oh ya?" kejut Gigi.
Eiryl mengangguk.
"Bener, Ga?" tanya Gigi pada Alga yang malah mengedikkan bahu nya.
Gigi tertawa. Kemudian di raih nya kedua tangan Eiryl dan tanpa seizin pemilik nya, Gigi mengecap bibir nya dengan manis.
Sial nya Eiryl malah mematung tanpa ada perlawanan. Sedang, Alga tengah berdiri dengan perasaan nya yang mendadak membeludak.
"I love you," ujar Gigi tanpa memedulikan perasaan Alga. Lantas mata nya tertuju pada sahabat nya yang justru tertawa usai melihat apa yang Gigi lakukan pada gadis yang di cintai nya. Iya, Algamencintai Eiryl.
"Kenapa lo ketawa?" tanya Gigi.
"Ya, saya cuma ikut bahagia lihat sahabat sejak kecil saya bahagia. Gitu kan seharus nya?" jawab Alga meski sebenar nya perih. Tapi tidak masalah, asal Gigi bahagia.
"Iya. Dan lo nggak cemburu?"
"Buat apa? Cuma temen, kok," balas Alga kemudian berlalu.
Ah, sial. Ia tidak bisa menahan rasa itu. Rasa yang sebenar nya sedang membakar isi kepala sekaligus dada nya.
***
Alga menutup pintu kamar rawat nya dengan rapat kemudian mengunci nya. Ia menghela berusaha menetralkan pikiran nya yang kacau. Apa seperti ini cemburu? Ah, rasa nya ia ingin menghilang saja dari bumi yang di pijak nya.
"Ga. Alga," suara Eiryl dari luar. Gadis itu mengetuk-ngetuk pintu.
"Buka, Ga. Jangan marah," mohon Eiryl. Suara tertahan nya pun samar-samar terdengar di balik pintu.
Oke, ia tidak marah.
"Alga."
Alga tidak menyahut nya. Bahkan sangat enggan. Ia hanya diam dengan tubuh mematung dan tatapan mata tertuju pada pintu.
"Ayolah Ga. Itu bukan ciuman seperti yang kamu pikirin," jelas Eiryl.
Hah, apa beda nya? Alga tidak habis pikir, memang nya ada macam-macam ciuman? Sudah lah. Ia melangkahkan kaki nya menuju bangsal dan merebahkan tubuh nya yang lelah.
Ternyata seberat ini memendam rasa.
Eiryl menatap ponsel yang pernah ia berikan pada Alga. Ia menghela pasrah bersama air mata yang harus kuat-kuat di bendung nya.
"Ga. Maafin aku," lirih nya.
"Kamu nggak perlu minta maaf, Li. Kamu nggak salah. Kita emang temen, kok," gumam Alga sambil menatap pintu itu meski ia yakin ucapan nya tidak akan terdengar oleh Eiryl. Perlahan Eiryl melangkahkan kaki nya menjauh dari sana.
"Seharus nya saya yang minta maaf sama kamu." Alga menghela.
"Benar saja, Alga sudah berlalu bersama langkah nya.