Chereads / Gadis Pilihan / Chapter 22 - Kenapa Harus Alga?

Chapter 22 - Kenapa Harus Alga?

Meski tangan nya sedang sibuk menempelkan burung-burung kertas pada dinding polos kamar rawat Gigi, pandangan Haris tidak kunjung lepas dari sosok Eiryl.

Oh, iya. Sekedar informasi. Hari ini Gigi harus menjalani terapi nay yang sedikit menyakitkan.

"Nama mu siapa?" suara Haris bertanya pada gadis yang kini ada di hadapan nya. Iya, diri nya belum berkenalan secara langsung dengan gadis itu.

"Eiryl," jawab Eiryl singkat.

Haris mengangguk-angguk. "Kenapa harus Alga?" tanya nya tiba-tiba.

Eiryl terdiam. Membiarkan atmosfer di sekitar nya menghening. Apalagi saat mendengar pertanyaan Haris yang ambigu.

"Kenapa harus Alga yang kamu pilih?" ulang Haris memperjelas.

Eiryl masih diam. Ia tak kunjung menjawab pertanyaan Haris sampai laki-laki itu kembali bersuara.

"Nyaman?"

"Aku sama Alga cuma sekedar teman." Akhir nya Eiryl bersuara.

"Oh iya?"

"Iya."

"Nggak lebih?"

Ah, entahlah. Eiryl menghela napas nya dengan berat kemudian menggeleng pelan.

"Atau lagi nunggu kepastian?"

"Makhluk nggak ada yang bisa memastikan. Semua nya atas kehendak Tuhan."

Wow! Haris menghela pelan. Tangan nya bergerak memasang burung kertas yang terakhir. "Lalu?"

Lagi-lagi Eiryl memilih diam.

"Sayang sama Alga?"

Eiryl spontan menoleh ke arah Haris dan menatap nya penuh makna.

Haris tertawa kecil. Lalu kembali diam dan duduk di bangku. Padangan nya berubah hampa. "Dari kecil Alga di rumah sakit ini. Fibrosis kistik, penyakit genetik yang juga di derita kakek kami."

Hening.

"Kadang saya bertanya pada Tuhan. Kenapa harus Alga, bukan saya?" lirih Haris menahan rasa sesak nya.

Eiryl menghentikan pekerjaan nya. Apa yang sedang Haris bicarakan? " Mungkin Tuhan punya rencana indah," ucap nya.

"Saya harap begitu." Haris mengangguk. Dan lagi, ia menghela napas nya dengan berat.

"Saya titip Alga," lanjut nya lantas bangkit dan menepuk bahu Eiryl sambil berlalu.

Eiryl mengulum bibir nya dan mengangguk. "Promise," ucap nya sebelum Haris menghilang.

Laki-laki itu menghentikan langkah nya dan mengangguk. Menatap Eiryl sejenak kemudian kembali mengayunkan kaki nya keluar.

Eiryl terduduk di kursi. Ia menghela, kenapa diri nya bisa sesayang ini pada Alga? Apa laki-laki itu merasakan hal yang sama?

pintu kembali terbuka, menampakkan sosok Arya dan Dimas yang membawa banyak hiasan warna-warni, siap untuk memenuhi dinding.

"Hai, bidadari. Maaf kita telat. Tadi sempat dicegat sama rombongan Ronaldo buat tetep di sekolah. Soal nya tadi acara perkemahan udah di mulai," ujar Arya begitu masuk.

"Lagian lo, sih," suara Dimas yang terdengar sedang kesal pada Arya.

"Kan udah gue bilang, bambang. Nggak usah ijin. Eh, lo malah sok-sokan ijin ke si Ronaldo, lagi," balas Arya tidak mau kalah.

"Kalian kabur?" tanya Eiryl.

"Menurut ngana?" Dimas berbalik tanya dan langsung menyambar sudut ruang.

Eiryl mendengus sebal. "Putri mana?" tanya nya mengedar pada Arya dan Dimas.

"Di luar," jawab Arya cepat.

Baru saja ia ingin melangkahkan kaki nya keluar, Putri muncul dari balik pintu lalu di susul dengan sosok Alga.

"Hai," sapa Alga mendorong handle pintu hingga kembali tertutup.

"Ehm!" Dimas berdehem keras.

"Oh iya, Mas. Gimana kabar anye? kata nya kamu lagi deket sama dia," ujar Alga mengalihkan perhatian.

"Baku amat sih lo kalo ngomong!" sentak Arya spontan.

Alga malah terkekeh.

"Mencintai bahasa sendiri itu lebih baik," ujar Eiryl.

"Right." Alga menyetujui itu.

"Ehm." Dimas berdehem lagi. "Nah, terus lo ngapain sok Inggris?" tanya nya pada Alga.

Alga menghela.

"Eh, Ga. Biar pun gue keturunan Tionghoa, gue cinta bahasa Indonesia. Dan liat, bapak gue malah jadi TNI," ujar Arya.

"Maaf, bukan begitu maksud saya. Jangan salah paham dulu." Alga berusaha menengahi.

"Well." Dimas memicing.

Alga menarik napas nya. "Ibarat sebuah kapal. Saya hanya sedang terdampar di sini. Itu saja dan saya tidak membenci siapapun," final nya.

Semua orang yang berada di dalam ruangan itu saling melempar pandangan nya.

"Terdampar? Di tanah kelahirannya sendiri? Terdampar macam apa itu?" serang Dimas.

Ah, apa ia harus menceritakan kisah pilu keluarga nya ? Tentang bapak yang terbuang dan tak dianggap beradat. Tentang semua orang bahkan keluarga sekaligus yang menolak bapak. Apa ia harus menceritakan itu semua?

"Lo terlalu jahat nyebut itu semua, Ga." Seketika ucapan Arya menyadarkan nya.

"Ibarat sebuah kapal dan bapak lo yang jadi nahkoda nya. Kemudian lo anggap kalo lo itu terdampar? Jahat lo, Ga." Arya menatap Alga.

"Denger, kata terdampar itu buat kapal yang hilang dari haluan nya," lanjut nya.

"Coba jaga diri sendiri. Nggak usah takut kalo orang-orang nolak lo. Ini lo, bukan orang lain," ujar Dimas.

"Nggak usah kaku gitu. Benci gue liat nya," sambung Arya menyenggol bahu Alga kemudian tertawa lepas.

Alga ikut tertawa kecil. Lalu menghela sejenak sebelum pandangan nya jatuh pada gadis di sebelah nya. Ada satu hal yang membuat benak nya berpikir hingga begitu jauh. Mengenai kehadiran Eiryl, sosok gadis yang kini ada di depan mata nya dan mau tidak mau ia harus merasakan penolakan saat keluarga nya tahu siapa ia sebenar nya.

Tangan Eiryl bergerak mengusik rambut Alga yang tebal.

"Oh iya. Tadi Anye itu siapa?" tanya Putri mengembalikan topik pembicaraan yang sebaiknya di lupakan.

Alga menoleh. Menatap Putri kemudian melirik pada Dimas. "Tanya aja sama Dimas."

Plak!

Tepat. Dimas menampar pipi Alga. Tidak keras, tidak juga pelan dan sukses membuat nya meringis.

"Nyamuk, hehe," alibi Dimas lalu keluar dari ruangan.

Alga hanya berdecak sebal. Sudah lah, lebih baik ia melanjutkan pekerjaan nya yang sempat tertunda. Kaki nya berjalan menghampiri nakas lalu mengangkat wajah nya, menatap dua bingkai foto yang terpajang di depan nya. Itu foto Gigi bersama keluarga nya.

"Gue keluar dulu, ya. Mau angkat telpon dari bapak gue," ijin Arya menunjukkan ponsel nya.

Alga hanya mengangguk saja.

Kemudian dering ponsel milik Putri menyusul. "Waduh!" seru nya seolah terkejut saat menatap layar ponsel nya yang teetewa nama sang ibu. "Gue juga, ya. Nyokap, nih," ujar nya segera melesat meninggalkan Eiryl dan Alga berdua.

Untuk kesekian kali nya Alga menghela lalu mengangguk.

Hening. Antara Alga dan Eiryl memilih untuk sibuk dengan pekerjaan nya masing-masing.

Alga menunduk saat hendak menghiasi tepian nakas dengan pita warna-warni. Tapi mata nya justru tertuju pada sebuah buku berwarna hitam dengan sampul semi kulit. Membuat nya seketika tertarik untuk memungut benda itu dari dalam laci yang memang sedikit terbuka.

Satu persatu ia membuka halaman buku itu.

"Ga," panggil Eiryl sukses mengalihkan perhatian Alga.

"Iya. Kenapa?"

"Kalo boleh tau, sejak kapan kenal Gigi?" tanya Eiryl membuka obrolan.

Alga diam sejenak. Mencoba untuk kembali mengingat masa itu. Saat pertama kali nya ia memijakkan kaki di rumah sakit ini. "Waktu umur lima tahun," jawab nya sedikit ragu.

Eiryl mengangguk-angguk paham.

"Entah. Intinya sekitar umur segitu saya pernah ngambek."

"Ngambek kenapa?"

"Harus minum obat sepahit itu tiga kali sehari dan itu harus rutin setiap hari."

"Kalo sekarang?"

"Maksudnya?"

"Udah nggak ngambek-ngambekkan lagi, kan?"

Tawa kecil Alga lepas. "Menurut kamu?"

"Mungkin masih." Eiryl menebak nya.

"Iya. Tapi nggak sesering dulu."

Gadis di hadapannya ini malah tertawa.

"Kenapa ketawa?" Alga mengernyit.

"Emang nggak boleh?"

"Ya. Boleh. Nggak ada yang ngelarang. ketawa aja terus," serah Alga kembali membalikkan tubuh nya.

Eiryl melangkah mendekat. "Ga," panggil nya. Namun Alga tidak menyahut nya sedikit pun.

"Janji, ya. Kamu harus ikut prosedur terapi dengan teratur," ujar Eiryl. Kini ia sudah berdiri di samping Alga.

"Aku cuma nggak mau kalo nanti kamu ninggalin aku."

Alga menoleh saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut Eiryl. "Ngomong apa sih, Li?"

Eiryl mengedikkan bahu nya. "Entah kenapa rasa sayang sekaligus takut ini tiba-tiba tumbuh." kedua netra nya menatap lekat Alga.

Kemudian mengangkat jari kelingking nya ke Arah Alga. "Janji, ya," ujar nya.

Alga.tidak langsung menautkan jari kelingking nya. Ia menatap jari itu dengan perasaan tidak yakin bahwa ia bisa menepati janji nya. Rasa nya begitu berat meski hanya untuk saling menautkan jari nya.

"Oke," putus nya menautkan jari kelingking nya pada Eiryl. Membuat seulas senyum dari gadis di hadapan nya mengembang tuntas.