Dalam hati Cintia sedang terkikik geli. Keinginannya pasti sudah membuat Adiyaksa ragu untuk menikahinya. Laki-laki itu pasti tidak akan membuang uang milyaran miliknya hanya untuk membeli rumah, laki-laki itu juga pasti lebih sayang dengan uang-
"Oke!"
Cintia menegakkan tubuhnya saat mendengar persetujuan dari Adiyaksa.
"Jadi... Dia setuju begitu?" batin Cintia terkejut. Dia tidak menyangka upayanya baru saja gagal. Rasanya sia-sia dia sudah mengungkapkan keinginannya untuk memiliki rumah seperti apa.
"Tapi...Kan rumahnya bagus, tapi...Nikahnya sama dia? Aku harus apa tuhan?! Tuhan tolong Cintia, Cintia rajin ke gereja kok sebentar lagi, tapi bantu Cintia sekali ini Tuhan, bantu Cintia untuk menggagalkan rencana pernikahan ini Tuhan," batin Cintia memohon.
Wajah sombong Cintia beberapa menit lalu pun sudah berubah dengan wajah penuh permohonan serta raut muka putus asa. Haruskah dia menerima Adiyaksa menjadi suaminya?
"Gak! Aku bakal cegah pernikahan ini! Aku bakal buat kita batal menikah!" sinis Cintia seraya menarik tasnya yang berada di atas sofa.
Cintia beranjak keluar begitu saja, meninggalkan Adiyaksa yang tersenyum penuh kemenangan. Dia tidak peduli meski Cintia tidak mau menjadi istrinya sekalipun. Hal terpenting saat ini adalah bagaimana caranya, calon mertuanya setuju dengan dia yang akan menjadi suami anak perempuan mereka.
"Aku yang akan menang Cintia sayang. Aku bakal jadi suamimu untuk selamanya!" gumam Adiyaksa penuh tekad.
Cintia keluar dari ruangan Adiyaksa masih dengan wajah yang menahan kesal hingga membuat siapapun mengurungkan niat untuk menyapa. Bahkan Sita sekalipun. Gadis manis berkulit sawo matang itu hanya menatap bingung ke arah ibu bosnya. Dia merasa tidak melakukan kesalahan satupun tapi kenapa ibu bosnya ini mengabaikannya?
BRKK
Sita terlonjak kaget saat mendengar bantingan pintu mobil. Dia tidak hanya dibuat bingung, tapi juga dibuat terserang penyakit jantung secara tiba-tiba. Atasannya itu memasuki kafe dengan wajah kaku dan lagi-lagi mengabaikan setiap tatapan karyawannya yang mengarah padanya.
"Gak tau," ucap Sita tanpa suara. Tangannya pun ia gerakan sebagai tanda bahwa ia benar-benar tidak tahu. Pasalnya semua teman kerjanya menatapnya penuh tanya seolah bertanya kesalahan apa yang sudah dia buat hingga membuat atasannya yang sudah dingin menjadi semakin dingin.
"Kerja yang bener aja, dibanding bos makin ngamuk. Kalau gak ya biarin bos di dalam ruangan aja," ucap salah seorang karyawan laki-laki di sana. Karyawan lain pun ikut menyetujui ucapan laki-laki itu. Atasannya jika sudah berwajah dingin begitu memang sangatlah menyeramkan, entah siapa yang akan menjadi suami atasannya kelak, syaratnya hanya satu, harus tahan banting.
Cintia merebahkan tubuhnya ke atas sofa dengan keras. Beruntung sofa miliknya adalah sofa mahal, jadi dia tak akan merasa kesakitan saat membanting tubuhnya seperti ini. Baru saja dia memejamkan matanya, ponselnya sudah berdering entah yang keberapa kalinya, Cintia juga tak memiliki niat untuk menghitungnya.
"Halo!" sahutnya sinis tanpa melihat siapa yang sedang menghubunginya.
"Oh! Bagus ya kamu! Mau jadi anak durhaka iya?! Habis kepergok berbuat mesum ya begitu tuh kamu sama ibu! Apa maumu ha?! ingat ya, jangan pulang malam-malam hari ini. Adiyaksa mau ke rumah untuk menjelaskan semuanya sama ibu!"
"Bu...Ayolah...Tia tuh gak berbuat kaya gitu, mas tuh salah paham sama Tia bu," rengek Cintia dengan telapak tangan menutup mukanya.
"Gak! Ibu lebih percaya mas kamu dibanding sama kamu! Kamu kan suka ngerjain ibu, salah sendiri jadi anak suka gak nurut!" ibunya menutup panggilan begitu saja dengan sesuka hatinya, meninggalkan Cintia yang kembali murung.
Ibunya sudah tak bisa lagi dia bujuk, hanya tersisa ayahnya saja dan semoga upayanya untuk membujuk ayahnya agar menolak Adiyaksa berhasil. Lebih baik Cintia pulang saja sebentar lagi, jika dugaannya benar, ayahnya sedang berada di kolam pemancingan miliknya.
Ayahnya memang terlampau santai menjadi orangtua. Sedang tidak sibuk bekerja, berarti pergi memancing. Jika ditanya apa alasannya sering berada di sana, jawabannya adalah mengawasi perkembangan kolam pemancingannya agar bisa menjadi kolam pemancingan yang sukses di Yogyakarta.
Cintia hanya bisa mendengar geli saja mengingat alasan ayahnya yang sangat tidak masuk akal itu. Pasalnya kolam pemancingan itu ayahnya dirikan memang untuk memenuhi hobi ayahnya aja.
Cintia beranjak keluar dari ruangannya sambil merapikan tampilannya yang sudah tidak berbentuk. Setidaknya dia harus menampilkan kesan terhormat untuk para pelanggan setianya di kafe ini.
"Ari, syaa pulang dulu ya. Nanti kabari saja kunci kafe siapa yang bawa, kalian kirim di grup ya," ucap Cintia saat berada di depan meja kasir.
Laki-laki yang tadi meminta semua karyawan untuk berbuat baik pun hanya mengangguk sigap. "Siap bu bos."
"Saya pulang ya...," teriak Cintia lalu melangkah pergi.
Setelah melihat mobil milik Cintia melaju keluar dari kawasan kafe, seluruh karyawan pun dibuat lega karena tidak lagi merasa tertekan. Atasannya sudah pulang dan mereka bebas bekerja tanpa cemas akan mendapat teriakan amarah. Meski Cintia tidak pernah berbuat seperti itu, tapi mereka hanya bersikap waspada saja. Hati orang siapa yang bisa menebak.
Jika Cintia sedang berupaya membujuk ayahnya dan menuju kolam pemancingan milik ayahnya. Adiyaksa justru dibuat semakin pusing karena barang yang akan dia bawa belum siap dan dia sendiri harus menyelesaikan pekerjaanya.
"Menikah juga penting tapi dapet uang juga penting. Kalau uangku berkurang, gimana bisa memenuhi kebutuhan istri manisku nanti. Kan istriku nanti harus perawatan dong, biar tetep seksi. Eh tapi gak seksi juga gak apa-apa. Kan yang penting nantinya waktu di kamar sama aku," ucap Adiyaksa lalu terkekeh geli.
Adiyaksa rasanya baru saja sdaar bahwa memikirkan Cintia bisa meningkatkan suasana hatinya. Dia yang sejak tadi ingin menyemburkan amarahnya, tiba-tiba saja terdiam dengan sempurna saat bayangan Cintia yang sedang tersenyum malu-malu menatapnya.
"Adek mau kok menikah sama mas Adi," ucap Cintia malu-malu disertai pipi tersipu.
Pipi Adiyaksa memerah saat membayangkan bagaimana respon Cintia saat dia mendatangi rumah wanita itu. Sebelumnya Adiyaksa hanya bersikap biasa saat mendatangi rumah Bagas, tapi kali ini sangat jauh berbeda. Karena dia tidak hanya sedang meminta makan seperti biasa, tapi meminta anak gadis mereka.
"Tahu gitu, dari dulu aja aku paksa adik perempuan Bagas untuk bertemu denganku. Kalau begini kan tidak sia-sia aku sudah bersahabat dengan Bagas sejak kuliah," gumam Adiyasa lalu terkikik geli.
Biarlah dia menganggap dirinya menjadi sahabat kurang ajar dan tak tahu malu. Bersahabat kan memang sudah sewajarnya ada timbal balik. Saling menguntungkan meski tidak secara nyata dilakukan setiap hari.
"Eh! Tapi kan aku hampir tiap hari minta makan kesana! Eh tau kan itu dulu!" elak Adyaksa saat mengingat bagaimana hubungan persahabatannya dengan Bagas.
"Oh iya!"
"Saya mau beli mobil baru ya, yang harganya 1M lah ya, nanti kirimkan ke alamat yang saya kirim. Sebentar lagi saya transfer sama kalian ya, nanti untuk surat kepemilikannya saya serahkan sama asisten saya," ucap Adiyaksa tanpa mengucap kalimat sapaan lebih dulu. Adiyaksa menampilkan seringai lebar pada wajahnya setelah memutuskan panggilan telepon dengan showroom mobil andalannya.