Cintia masih mencerna ucapan ayahnya yang terkesan membela Adiyaksa. Ayahnya tidak bermaksud untuk berkhianat dan mengingkari janji kan?
Cintia sontak menatap sengit ke arah ayahnya. "Gimana maksud ayah?"
Cintia semakin terperangah saat ayahnya mengabaikan dirinya lalu menghampiri ibunya. Keduanya terlihat mengagumi mobil yang baru saja diturunkan dengan perlahan, takut mobil itu akan tergores jika berlaku kasar sedikit saja.
Mobil ini memang sangat mewah dan mahal, Cintia tidak tahu berapa detail harganya karena dia sama sekali tidak menginginkan mobil seperti ini. Meski keluarga mereka termasuk kalangan menengah ke atas, tapi membeli mobil mahal hanya untuk memenuhi sebuah gengsi dan kepuasan rasanya sedikit… Berlebihan.
Tapi lagi-lagi rasa tidak sukanya pada Adiyaksa semakin bertambah. Bisa-bisanya dia memberi sogokan berupa mobil untuk orangtuanya.
"Dasar licik! memangnya dia pikir keluarga ku ini keluarga mata duitan apa?!" gerutu Cintia sambil melangkah masuk dengan kaki yang dihentakan.
"Aku gak bakal luluh gitu aja! Aku bakal tolak itu laki-laki! gak terima aku! Memangnya aku ini seharga mobil apa?!" Cintia beralih menuju kamar. Lebih baik dia berendam lalu mandi dengan bersih. Dia tidak hanya mandi biasa tapi juga harus membuat rambutnya kembali berkilau dan harum semerbak.
Rasa kesal begitu menumpuk dalam dirinya saat ini. Mencoba membujuk ayahnya juga gagal karena datangnya mobil mewah. Sekarang dia juga harus mandi dengan waktu lama karena ayahnya membuat rambutnya menjadi bau cacing.
"Argh! Gara-gara Adiyaksa si duda gak tahu diri! Duda kurang belaian!" umpat Cintia sambil melemparkan pakaian kotornya ke arah keranjang kotor di depan kamar mandi.
"Mobilku juga harus dibawa ke salon…, " rengeknya lagi.
"Ahh… Nyamannya…, " desah Cintia lega saat dia memasukan diri ke dalam bathtub. Menikmati semerbak vanilla serta lilin aromaterapi yang ia nyalakan.
Cintia bersandar nyaman sambil memejamkan matanya. Dia harus menggunakan acara relaksasi ini untuk berpikir. Upaya apa yang bisa ia lakukan untuk membuat pernikahannya dengan Adiyaksa batal.
"Aku tau! " teriak CIntia dengan mata yang terbuka. Bibirnya menampilkan seringai licik saat terpikirkan rencana yang pastinya akan sukses besar. Orangtuanya memang sudah tergila-gila dengan Adiyaksa. Tapi tidak berarti orangtua laki-laki itu akan tergila-gila dengan dirinya kan?
"Oke! Aku akan menurunkan harga diriku menjadi wanita yang bar-bar. Demi batalnya pernikahan ini aku rela," ucapnya miris.
Cintia pun menyalakan musik dan melanjutkan acara berendamnya.
***
"Sayang… Kamu mandi kok lama banget to dek? Kan mas udah nunggu kamu lama," ucap Adiyaksa memasuki kamar mandi.
Mata laki-laki itu berbinar melihat Cintia yang tengah berendam. Adiyaksa meneguk ludahnya kasar saat melihat bahu terbuka Cintia.
"Begitu memikat," batin Adiyaksa meleleh.
"Dek… Sayang… Bangun dulu yuk. Nanti kalau gak bangun-bangun, mas masuk ke dalam bathtub loh," bujuk Adiyaksa yang masih tak mendapat jawaban dari Wanita pujaannya.
"Adek sayang, mas masuk bathtub ya." Adiyaksa mulai melucuti pakaiannya, sedang Cintia yang merasakan seseorang memanggilnya pun mulai membuka matanya dan terkejut mendapati Adyaksa. Tengah telanjang di hadapannya.
"Aaaa…! " teriak Cintia dengan napas terengah dan mata yang terbuka lebar. Sontak matanya memandang sekitarnya dan tak mendapati Adiyaksa di dalam kamar mandi.
"Untung cuma mimpi… Tapi mimpi kok ya ngeri banget to."Cintia bergidik ngeri saat kembali mengingat isi mimpinya yang sangat menggelikan.
"Gak boleh, gak boleh! Harus sadar lagi pokoknya!" Cintia menepuk keningnya pelan berkali-kali.
Cintia juga bergegas keluar dari bathtub lalu menyelesaikan mandinya dengan cepat. Kalau seperti ini Cintia jadi mengalami taruma mandi di dalam bathtub. Bagaimana kalau mimpi itu terus mendatanginya? Atau bagaimana kalau mimpi itu menjadi kenyataan? Cintia kembali bergidik ngeri membayangkan pikiran gilanya.
Cintia juga dengan cepat menyelesaikan acara mempercantik dirinya. Bukan bermaksud untuk menyambut Adiyaka, tapi memang begitulah kehidupan Cintia saat di rumah. Bagi Cintia, apapun yang terjadi, dia harus tetap cantik.
Melangkah menuju ruang keluarga untuk menemui ayah dan ibunya. Cintia ingin tahu, apa yang keduanya lakukan setelah menyambut mobil itu. Tapi Cintia pastikan, mobil itu akan segera kembali pada orang yang membelinya. Tidak sudi dia menerima barang dari Adiyaksa. Kecuali uang laki-laki itu, karena sudah terlanjur memesan pada kafe-nya.
"Tia!" Cintia memejamkan matanya erat sata mendengar teriakan menggelegar ibunya.
"Apa!" sahutnya berteriak.
"Ini buat apa masakan sebanyak ini?! Kaya mau sambut presiden aja." Mata Cintia terbelalak kaget saat melihat ibunya menata banyak makanan ke atas meja makan. Entah apa saja menu yang dihidangkan, Cintia tidak peduli karena yang dia pedulikan adalah, siapa yang akan menghabiskannya?
"Buat sambut calon mantu ibu lah! Dia kan suka makan kesini, jadi ya harus disiapkan makanan kesukaannya. Lihat nih, semur daging, pepes ikan, ini semua makan kesukaan calon mantu ibu. Calon suami kamu itu lo." Ibunya ini kenapa percaya diri sekali. Orangtua Adiyaksa saja belum mengenal dirinya, lalu tahu dari mana bahwa Adiyaksa akan menjadi menantunya.
"Ya kalau benar jadi menantu bu! Bisa aja kan orangtuanya duda kurang belaian itu gak suka sama aku," jawab Cintia santai, seolah tidak peduli.
Gerakan menata sambal Anita-ibu Cintia pun terhenti saat mendengar anaknya mengucap panggilan yang sangat mengganggu telinganya. "Siapa yang kamu maksud duda kurang belaian?"
Pandangan menelisik ibunya itu tidak membuat Cintia takut sedikitpun, justru wanita itu menatap ibunya tepat di mata. "Adiyaksa lah, siapa lagi."
"Heh! Jaga mulutmu ya! Bisa-bisanya panggil anak orang kaya gitu! Yang sopan gitu lo mulutmu itu sama orang. Apalagi dia kan lebih tua, jadi panggil dia itu mas. Mas Adiyaksa."
"Manis kan," tanya ibunya memastikan.
Cintia yang mendengar ibunya yang terus menerus membela Adiyaksa pun semakin jengah. Tidakkah ibunya tahu bahwa Cintia terlalu takut berhubungan dengan seorang duda? Ingin rasanya Cintia menjelaskan semuanya pada sang ibu, tapi usahanya juga akan tetap sia-sia. Jadilah Cintia melangkah pergi meninggalkan ibunya yang sibuk menyambut mantan calon menantu.
"Apa?!" tanya Cintia sengit saat bertemu dengan Bagas yang baru saja akan memasuki ruang televisi. Entah kenapa Bagas bisa pulang lebih dulu, sedang setiap hari kakaknya itu akan sibuk bekerja dengan perusahaan yang baru beberapa tahun ini ia rintis.
Bagas yang terkejut juga hanya mengerjapkan matanya bingung. Seingatnya dia tidak melakukan apa-apa hingga membuat adiknya marah. Dia kan juga sangat menyayangi adiknya, lalu apa yang membuat adik kesayangannya ini marah?
"Kenapa kamu? Yang sopan kalau sama mas," cap Bagas pelan lalu mengacak rambut Cintia pelan.
Cintia yang mendapat perlakuan Bagas pun hanya menghindarkan dirinya dari sentuhan kakak laki-lakinya itu. Karena kakaknya, dia harus menikah dengan Adiyaksa. Kakak mcam apa yang tidak mau mendengar ucapan adiknya?
"Cintia marah sama mas! Gak pernah mau dengerin Cintia! Cintia itu gak berbuat apa-apa mas sama Adiyaksa! Kita gak berbuat mesum! Kalau gak percaya coba cek Cctv kalau di sana ada. Aku itu kesana cuma antar makanan yang dipesan Adiyaksa di kafe-ku mas," jelas Cintia dengan mata merah.