Anita masih diam dan memberikan isyarat mata pada suaminya. Dia tidak ingin banyak bicara karena sebagai ibu, dia setuju saja anak gadisnya menikah dengan Adiyaksa. Lagipula laki-laki itu benar-benar baik, tidak hanya mencari muka. Di depan orangtua wanita yang disukai saja.
"Ehm… Ayah sih setuju saja. Apalagi Bagas sudah cerita yang sebenarnya sama ayah. Jadi ya pasti ayah setuju. Jadi buat Tia, ayah minta… Mau ya menikah dengan Adi," ucap Sanjaya pelan lalu menatap anaknya penuh kasih sayang. Dia sudah salah paham, terlebih sudah mendengar hasutan dari anak gadisnya. Jika Sanjaya mengingat mulutnya yang berkata akan menggagalkan pernikahan anaknya itu sungguh dirinya ingin sekali memukul mulutnya sendiri.
"Jadi ayah juga percaya sama omongan jelek tentang aku?! Kalian gak ada yang percaya sama aku gitu?! Tia gak nyangka lo kalian bisa begitu sama Tia. Kalau begini ceritanya lebih baik Tia ke Solo aja, buat tinggal sama yangkung sama yangti di sana," jawab Cintia dengan tatapan tak percaya ke arah orangtuanya.
Melupakan sopan santunnya Cintia melangkah pergi dari ruang televisi. Tidak lupa memberikan lirikan sinis pada Bagas. Impiannya untuk hidup dengan laki-laki sesuai kriterianya sirna sudah. Bahkan ungkapan hatinya saja sudah tak didengar sama sekali.
Hikss... Hikss…
Isak tangis yang ia tahu sejak sore pun akhirnya keluar dari bibirnya. Bagaimana hidupnya nanti Cintia juga tidak terbayangkan sama sekali. Semua ini karena Adiyaksa.
Jari jemari Cintia pun dengan erat meremas bantal yang ia gunakan untuk tidur. Dia berusaha untuk meredam amarahnya yang sangat ingin mencaci maki Adiyaksa. Kenapa bisa ada laki-laki seegois dia?
Sedang disisi lain, Adiyaksa menundukkan kepalanya merasa terintimidasi oleh Cintia. Bukan terintimidasi karena takut, tapi lebih merasa canggung dengan wanita pujaanya itu. Dia jadi tidak percaya diri lagi sekarang. Apa yang dia lakukan sekarang ini apa sudah merugikan Cintia? Kenapa respon wanita itu sangat buruk. Apakah Adiyaksa tidak berhak menikahi Cintia karena dia duda? Dia duda juga bukan karena keinginannya sendiri.
"Maafin Cintia ya nak Adi. Ibu yakin nanti dia bakal luluh kok sama kamu. Biasa dia itu malu-malu mau." Anita mencoba mencairkan suasana. Tidak tega sebenarnya membuat Adiyaksa menunduk dalam seperti itu.
"Kamu susul aja ke kamarnya. Kalian bicara sana berdua. Tapi tolong jaga anak ayah ya Adi,"ucapan Sanjaya membuat kepala Adiyaksa terangkat. Dia merasa tersentuh melihat orangtua sahabatnya ini setuju dengan keinginannya. Bahkan mendukung keinginannya dengan penuh.
"Jangan diapa-paian. Masih suci itu adikku ya," sengit Bagas yang tak dianggap oleh Adiyaksa karena laki-laki itu sudah berjalan menuju kamar wanita pujaanya.
"Tunggu mas ya adek manis. Bakal mas jelasin semuanya kok, tapi nanti. Sekarang bujuk kamu dulu sampai mau," batin Adiyaksa.
"Cintia… Dek Cintia… Mas masuk ya," ucap Adiyaksa setelah mengetuk pintu kamar wanita itu. Perlahan tangannya pun bergerak untuk membuka pintu. Terlihat cintanya sedang berbaring dengan isakan lirih yang terdengar ke telinga Adiyaksa.
Laki-laki itu menarik napasnya dalam berusaha mengeluarkan perasaan yang sedikit menyengat hatinya. Dia merasa sakit saat melihat Cintia menangis. Wanita itu bahkan terlihat tidak menyukai pernikahan ini. Seburuk itukah dia?
"Dek…," panggil Adiyaksa pelan.
Cinta yang mendengar suara laki-laki pun sontak mendudukan dirinya dan menatap Adiyaksa nyalang. Berani-beraninya laki-laki itu memasuki kamarnya?!
"Siapa yang mengizinkan kamu masuk kesini? Kamu itu tidak diharapkan untuk masuk ke kamar ini! Kamu bukan siapa-siapa!" tekan Cintia dengan napas tersengal karena amarah.
"Maaf…."Adiyaksa berlutut di hadapan Cintia. Tangannya pun menggenggam paksa tangan Cintia, mencoba memohon pada wanita itu. Adiyaksa bukan bermaksud mengemis cinta, tapi dia hanya berusaha mendapatkan cintanya.
"Apa yang membuat kamu menolak mas? Status mas? Atau sikap mas yang sangat mengganggumu? Atau apa? Kamu boleh mengatakannya sama mas, semuanya."
"Kamu jujur aja, kamu juga boleh tanya apapun sama mas. Mas akan berusaha untuk menjawab jujur, ya dek…," mohon Adiyaksa.
Sekarang Cintia lah yang dibuat tak berkutik. Dia sedikit… Merasa bersalah. Gerakan tangan Cintia yang sejak tadi berusaha melepas cekalan tangan Adiyaksa pun berhenti seketika saat melihat tatapan memohon dari Adiyaksa. Jujur saja Cintia sendiri sedikit merasa tidak enak pada laki-laki itu.
Berlutut dan memohon untuk diberi kesempatan. Itulah yang dapat Cintia simpulkan sejauh ini. Jadi… Harus apa dia sekarang?
"Kenapa Cintia?" pertanyaan Cintia yang justru membuat keheningan menyambut sepasang anak manusia itu.
Lalu apa yang bisa dijawab oleh Adiyaksa jika pertanyaan dari Cintia saja sudah berupa penolakan dari wanita itu. Pertanyaan yang merujuk untuk memintanya mencari wanita lain.
"Mas bisa apa kalau yang mas suka cuma adek? Mas bisa apa kalau cintanya sama adek? Apa gak boleh mas menikahi adek?"
"Apa sbeuruk itu mas dimata kamu dek sampai tidak pantas menjadi suami kamu? Atau karena status mas yang sudah duda ini? Mas juga gak mau menjadi seorang duda dek. Kalau bisa pun mas akan lebih memilih bertemu kamu di tahun-tahun sebelumnya, sebelum mas menikah. Apa dengan begitu mas bisa menikahi kamu?" tanya Adiyaksa dengan ketidakberdayaan.
Cintia mengalihkan pandangannya, tak lagi menatap mata Adiyaksa yang memancarkan rasa sakit hati. Cintia tidak bermaksud begitu sebenarnya. Cintia juga tidak bermaksud menghina status Adiyaksa.
"Ini terlalu mendadak buat Tia, mas." Cintia menunduk dalam. Segala caci maki yang sejak tadi ia tujukan pada Adiyaksa kembali tertelan ke tenggorokannya. Justru ucapannya seolah memberikan kesempatan pada Adiyaksa.
"Beri mas kesempatan, mas juga akan berusaha untuk membuat kamu mencintai mas. Mas juga akan menunjukkan sama kamu bagaimana mas yang sebenarnya. Mau ya?" mohon Adiyaksa sekali lagi.
"Tapi biarkan mas mendekat ke kamu dek. Biarkan kita saling mengenal, ya…." Adiyaksa mengecup punggung tangan Cintia pelan. Berusaha keras untuk menyalurkan rasa percaya pada Cintia.
Hanya saja cintia masih diam dengan pandangan menerawang jauh. Dia mendengar segala permohonan Adiyaksa, tapi hatinya masih berat untuk menyetujui permohonan laki-laki itu. Tapi juga akan terkesan tidak adil bagi Adiyaksa kalau dia hanya menolak begitu saja. Terlebih penolakannya termasuk penolakan yang kasar.
Cintia menundukkan kepalanya dengan mata terpejam, menarik napasnya dalam berusaha menenangkan diri. "Yaudah. Tia kash mas waktu untuk kita lebih dekat. Tapi bagaimana keputusan akhirnya masih ada ditangan Tia. Tia masih bebas untuk menolak atau menerima. Kalau Tia masih dipaksa juga, lebih baik mas pergi dari hidup Tia," jawab Cintia tegas.
"Sayangnya mas akan buat kamu untuk menerima mas. Tanpa penolakan," batin adiyaksa licik.