Bagas menarik napas dalam melihat adiknya yang begitu marah. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya ini salah atau benar. Tapi salahkah dia jika memberikan pasangan yang baik untuk adiknya. Sayangnya dia tidak bisa memberitahukan apa alasannya pada adik kesayangannya ini. Adiyaksa memang sahabatnya, dia juga tahu bagaimana watak laki-laki itu. Meski hidup Adiyaksa kurang teratur, tapi dia tahu bagaimana perjalanan hidup Adiyaksa dan bagaimana bertanggung jawabnya Adiyaksa.
"Mas yakin, kamu nanti akan bahagia sama pilihan mas ini," batin Bagas yakin.
"Sudah kamu terima aja takdir buat menikah sama Adiyaksa. Lagi pula dia itu laki-laki yang baik kok. Kamu gak akan neyesel udah menikah sama dia. Kamu juga bisa tanya-tanya soal Adiyaksa sama mas, kan kita sahabatan udah lama, cuma ya kalian gak pernah ketemu aja," jelas Bagas sambil menarik telapak tangan Cintia untuk ia usap.
"Mas gak suka lihat kamu sedih dan jatuh ke tangan laki-laki yang gak tepat. Mas mau kamu hidup bahagia dan mas akan lakukan apapun buat adik mas ini. Percaya sama mas ya dek?" Bagas menatap penuh permohonan ke arah Cintia.
"Kalau mas mau aku bahagia kenapa malah gak percaya sama omonganku? Mas itu gak pernah dengerin aku! Mas itu jahat sama! Mas tahu kan Cintia kaya gimana? Emangnya mas percaya kalau ada orang lain lagi yang bilang kalau Cintia pernah tidur sama mereka? Atau kalau ada orang lain lagi yang bilang sama mas kalau adik mas ini pernah jahatin orang. Mas percaya juga? Iya?!"
Bagas mengernyitkan dahinya saat mendapat kata-kata yang sangat menyakitinya. Bisakah adiknya ini berkata yang baik-baik saja? Memangnya dia pikir setiap omongan tidak bisa menjadi doa?!
"Jaga ya ucapanmu! Mas gak suka kamu ngomong ngelantur kaya gitu! Paham!" tekan Bagas dengan sorotan mata tajam. Dia tidak peduli adiknya ini akan menangis setelah dia berkata tegas seperti ini. Bagas hanya ingin adiknya ini tahu bahwa apa yang diucapkannya itu adalah sebuah ancaman. Tidak boleh berkata buruk meski hanya berandai-andai.
Bagi Bagas, ucapanmu adalah tanggung jawabmu. Jadi kalau tidak mau mendapat tanggung jawab besar dan balasan yang besar, jagalah ucapanmu. Bagas Prayoga yang sangat bijak.
"Opo yo dua anak ibu ini malah drama gak jelas di tengah jalan. Wes ngalangin jalan, pakai drama lagi. Ingat ya, kalian bukan anak kecill lagi, tapi ya kalau kalian pengen awet muda sana ke halaman depan terus main selang air buat disemprotkan, biar kaya berantem beneran," teriak ibunya dari arah meja makan. Ibu mana yang bisa melihat kedua anaknya bertengkar berlarut-larut? Tentu saja tidak ada, itu lah kenapa Anita lebih memilih mencairkan suasana demi akurnya kedua anaknya dengan cepat.
"Emangnya Cintia kucing apa pakai disiram air," sahut Cintia dengan wajah bersungut lalu beranjak pergi. Langkah Cintia masih dihentakan cukup keras meski hanya akan pergi ke ruang televisi. Hanya berjarak lima sepuluh langkah dari arahnya berdiri tadi.
Bagas yang mendengar seruan adiknya pun hanya terkekeh geli. Bisa-bisa nya di situasi yang seperti ini justru menyamakan dirinya dengan seekor kucing. Bagaimana kalau Tuhan mengabulkan menjadi seekor kucing? Bagas bergidik ngeri saat membayangkan pikiran gilanya. Semoga saja Tuhan tidak mengabulkan pikirannya beberapa menit lalu.
***
Setelah adegan penuh teriakan di dalam kediaman bapak Sanjaya Kristian, karena Cintia yang dipaksa untuk berdandan cantik di depan calon menantu ibu Anita. Kini duduklah keluarga Sanjaya di dalam ruang keluarga, berhadapan dengan Adiyaksa Mahendra yang datang seorang diri. Laki-laki itu akan menjelaskan beberapa maksud kedatanganya.
Meski sudah tahu apa yang akan dia katakan, bahkan sudah tahu bahwa orangtua Cintia juga akan menerimanya. Tapi tetap saja, siapa yang tak berkeringat dingin saat akan meminang seorang wanita. Meski dia pernah berada di situasi seperti ini, tapi tetap saja kesan yang diberikan berbeda.
"Ehm… Di, gimana ini? Kamu ternyata yang mau nikahin anak ayah," goda Sanjaya dengan bibir yang menahan tawa.
"I-iya yah," jawab Adiyaksa dengan senyum yang ia paksa. Bukan bermaksud untuk bersikap tidak sopan, tapi dia hanya merasa canggung saat berada di situasi seperti ini.
"Sudah kamu bilang aja, gak perlu malu atau mikir macam-macam. Gak sesuai sama sikapmu selama inai! Petakilan sama ibu sama ayah," ucap Anita dengan mata menyorot tajam ke arah Adiyaksa. Laki-laki itu hanya tertawa pelan melihat sikap Anita yang tak pernah berubah.
Dia tahu, sikap ibu sahabatnya ini bukanlah sinis yang berasal dari hati. "Maaf bu, Adiyaksa. Udah lama gak kesini. Soalnya lebih sering di luar kota daripada di Jogja. Mungkin ibu juga sering ketemu sama mama. "
"Jadi maafin Adi ya kalau lama gak kesini." Adiyaksa tersenyum begitu manis ke arah Anita. Sayangnya bukan hanya Anita yang luluh dengan senyuman maut milik Adiyaksa, tapi Cintia juga ikut terpikat.
Wanita itu tidak tahu bahwa hubungan keluarganya dengan Adiyaksa ternyata sedekat ini. Cintia jadi meragukan, apa benar dia ini anak ibunya? Kenapa sikapnya berbeda sekali? Atau jangan-jangan dia dan Adiyaksa ini tertukar? Jadi mama Adiyaksa adalah ibu kandungnya yang sebenarnya."
Cintia segera menggelengkan kepalanya saat pikiran gila menghampirinya. "Gak mungkin lah wajahku sma ibu aja mirip kok."
"Kenapa kamu? Udah gak sabar mau nikah sama Adi?" sinis Anita ke arah Cintia yang terlihat aneh. Bahkan kepala anaknya itu menggeleng dengan mata yang menatap ke arah Adiyaksa.
"A-adi? Adi siapa? Perasaan kita gak punya tetangga namanya adi," jawab Cintia polos.
Sontak semua orang diruangan itu menghela napas berat bersama. Kenapa Cintia mengganggu acara yang menegangkan ini? Tidak tahukah wanita itu bahwa Adiyaksa sedang menahan untuk buang air kecil karena terlampau gugup.
"Memang adik manisku berbeda. Minta dikekepin dalam kamar emang!" batin Adiyaksa gemas.
"Ehm… Jadi kedatangan Adi kesini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menikahi dek Cintia. Adi suka sama Cintia, jatuh cinta pada pandangan pertama sama dek Cintia. Siap bertanggung jawab untuk bersama dek Cintia seumur hidup, rela memberikan apapun untuk dek Cintia. Dan maaf untuk mobil yang saya kirimkan tadi siang, itu bukan bermaksud untuk memberi sogokan pada ayah dan ibu agar diterima. Tapi itu adalah bukti sayang Adi sama dek Cintia." Adiyaksa dengan mantap menatap Anita dan Sanjaya tanpa rasa takut, meski telapak tangannya telah berkeringat dan jantung yang siap melompat keluar. Dia harus bekerja keras untuk menutupi itu semua.
"Bocah gendeng! Itu mandi keringat apa gimana? Untung wangi bocah ini!" batin Bagas geli.