Seusai sarapan, Sekar dan suaminya menghampiri kamar anaknya. Sesampai di depan pintu Dreena, ibunya mengetuk serta memanggil putrinya yang berada di dalam kamar. Sedang Dreena sedang menikmati sarapannya.
Berapa menit yang lalu, bi Aida mengantarkan sarapan pagi untuknya. Dreena menyuruh asisten rumah tangganya untuk meletakkan sarapan pagi untuknya di depan pintu, sebab ia tidak ingin bi Aida melihat wajahnya yang putih karena bedak baby ini.
Asisten rumah tangganya tanpa curiga dan berpikir apa pun, ia pun langsung saja meletakkan baki berisi sepiring sarapan pagi beserta minumnya di depan pintu kamar Nona majikannya.
"Taruh di depan pintu saja, Bi. Terima kasih ya," perintah Dreena yang masih berada di dalam kamar.
Barulah setelahnya Dreena berani membuka pintunya. Karena saat ini penampilan wajahnya agak menyeramkan. Dengan cepat ia membuka pintu kamarnya, ketika suara langkah kaki bi Aida menjauhi kamarnya.
***
Ia begitu lahap menikmati kudapan paginya. Ia hampir menyelesaikan sarapan paginya sebelum suara ibunya memanggil namanya dan juga mengetuk pintunya beberapa kali.
"Aduh, kenapa juga Mama ke kamarku?" keluhnya yang langsung menghentikan aktivitas makannya.
Sejenak Dreena tampak ragu, apakah harus membuka pintu kamarnya atau tidak. Ia merasa tidak enak jika tidak membukakan pintu untuk ibunya. Ia pun bangkit lalu memandang kembali pantulan bayangannya ke arah cermin, wajahnya masih memerah.
Buru-buru ia meratakan bedak yang berantakan di pipinya, lalu berteriak," Iya, Ma sebentar." Dreena pun melangkah menghampiri pintu.
Ia memegang pegangan pintu dengan ragu, antara membukanya atau tidak. Dreena menarik napasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Ia pun mendesah "Ahh ... baiklah," batinnya seraya membuka pintu di hadapannya.
"Maaf agak lama, aku habis dari toilet." Dreena membuat alibi demikian.
Kedua orang tuanya langsung saja menyadari wajah putrinya yang memerah seperti itu. "Kamu ... wajahmu kenapa merah seperti itu, Sayang?" tegur Sekar.
"Ahh, ini cuma alergi kayaknya. Tadi aku kasih bedak saja supaya tak gatal," sahutnya seraya tersenyum memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi.
Sekar langsung mendorong anaknya agar masuk ke dalam kamar. "Ya sudah kita ngobrol di dalam kamarmu saja," ucap Sekar.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam kamar Dreena. Sekar mengajak putrinya untuk duduk di tepian ranjang. "Coba Mama lihat pipimu! Apakah sakit atau gatal?" tanyanya sembari menyentuh dagu Dreena dan matanya fokus meneliti wajah merah Dreena.
"Merah kayak gitu pasti nyeri, Ma. Kita panggil dokter saja," sambung Andres.
Dreena hanya diam saja tidak menjawab apa pun yang diucapkan kedua orang tuanya. Ia menarik tangan ibunya agar menjauhi area wajahnya. "Aku tidak apa-apa. Lalu ada apa kalian ke kamarku?" tanyanya sedikit sinis.
Sebelum menjawab, Sekar mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Andres pun hanya tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya perlahan. Menginsyaratkan agar Sekar berbicara tentang penyakit yang di derita oleh Dreena.
"Ada apa? Kok Mama dan Papa diam saja." Dreena mengernyitkan dahinya karena merasa ada yang aneh.
"Ah, gini Dree ... ehm ... Mama dan Papa ingin berbicara denganmu," ujarnya yang tampak ragu-ragu.
"Tapi kenapa Mama tampak ragu mengatakannya? Kenapa tidak langsung saja katakan?" kilah Dreena.
Andres menyadari jika istrinya tampak bingung untuk memulainya. Ia pun segera saja mengambil alih pembicaraan itu. Awalnya ia berdiri di hadapan anak dan istrinya. Kini ia duduk di sisi kiri anaknya. Sedang istrinya berada di sisi kanan anaknya.
"Ehm, jadi ada sesuatu serius yang memang harus kami katakan dengan jujur padamu. Ini tentang penyakitmu, Dree." Andres memulainya tanpa basa-basi lagi.
"Apa? Penyakitku?" Dreena membulatkan kedua mata indahnya.
"Iya, Sayang. Ini tentang penyakitmu. Karena kami pikir, kamu memang harus tahu semuanya." Sekar menambahkan.
Dreena yang baru saja memandang ayahnya segera beralih ke ibunya. "Dari awal aku tahu jika kalian memang menyembunyikan sesuatu padaku. Katakan semuanya padaku!" ujar Dreena begitu dingin terhadap kedua orang tuanya.
Baik Sekar ataupun Andres hanya bisa menghela pasrah. Lalu kemudian, Andres mulai kembali berbicara. Sebelumnya ia sejenak memejamkan matanya. Ia tahu pasti setelahnya akan memengaruhi pikiran putrinya itu.
Dreena masih menunggu kedua orang tuanya berbicara. "Ayo katakan saja semuanya padaku, meski itu menyakitkan," ucapnya lirih.
"Kemarin dokter yang menanganimu di rumah sakit mengatakan jika kamu menderita penyakit ... penyakit langka, Sayang," ungkap Andres berbicara dengan tenang.
"Penyakit langka?" Dreena menautkan kedua aliasnya.
"Iya, awalnya Papa dan Mama juga tidak percaya dengan apa yang dokter itu katakan. Bagi kami, diagnosis dokter itu tidak masuk akal dan ngaco. Tapi akhirnya, dokter itu benar-benar menjelaskannya dengan detail. Kami juga baru pertama kali mendengarnya," papar Andres kembali.
"Apa nama penyakitnya, Pa? Kenapa kalian menganggapnya tidak masuk akal?" Dreena menatap nanar ke arah Andres.
Bukannya langsung menjawab Andres justru terdiam sejenak. Kemudian bangkit berdiri dan berkata sesuatu yang membuat putrinya harus membelalakkan kedua bola matanya. "Kamu menderita penyakit Porfiria, Dree." Andress langsung melangkah keluar dari kamar putrinya itu.
Dreena yang bingung hanya membulatkan kedua matanya dengan mulutnya yang terbuka. Di sampingnya masih ada sang ibu menemaninya. Lalu Sekar mengelus-elus bahu anaknya. "Sebenarnya kami berat mengatakan ini kepadamu, kamu harus sabar dan tetap jadi anak yang kuat dan bersemangat ya!" Sekar menguatkan putrinya yang terdiam membisu memandang ayahnya yang menjauh dari hadapannya.
Dreena sejujurnya merasa takut mendengar tentang penyakit itu. Mendengar namanya saja asing, ia tidak tahu dan baru saja mendengarnya dari ayahnya. "Tinggalkan aku sendiri, Ma. Tolong juga bawakan piring itu ke bi Aida," ucapnya begitu dingin tanpa sedikit pun memandang ke arah ibunya.
Sekar tersenyum dan kembali mengelus bahu putrinya itu. "Baiklah, Mama akan keluar dari kamarmu." Sekar bangkit berdiri dan mengambil baki yang berisi piring dan gelas kosong di meja belajar anaknya, lalu melangkah ke arah pintu dan meninggalkan Dreena seorang diri di dalam kamar.
Dreena masih bergeming di tempat ia terduduk. Dengan segala pertanyaan yang melayang-layang di benaknya. Meskipun ia merasa takut tentang penyakit langka itu, tapi sebenarnya ia juga penasaran dengan penyakit yang dideritanya.
Bergegas ia membuka laptopnya dan mencari tahu tentang penyakit tersebut. Ia menyalakan laptop miliknya, menunggunya beberapa menit layar pada laptopnya menyala, ia pun mengetikkan kata sandi untuk melanjutkannya. Kini layar laptopnya sudah siap untuk beroperasi.
Ia mengklik mesin pencarian, lalu mengetikkan kata kunci yang baru saja ia dengar dari ayahnya. Benar, kata kunci tentang penyakitnya. Ia mengetikkan kata, Porfiria pada kolom pencarian itu.
Ia pun mengetik enter dan ....
Muncullah semua informasi yang ia cari. "Astaga!" pekiknya terperanjat kaget melihat dan membaca informasi yang tertera pada layar laptopnya itu.
Apa yang Dreena lihat?
***
Hai, Readers!
Ini sebenarnya bukan novel pertamaku di platform ini. Hanya saja, aku lebih aktif pada novel ini. Semoga kalian suka. Aku tunggu vote star & krisan/review terbaik kalian ya.
Terima kasih & selamat membaca.
Telusuri aku di IG: @yenifri29 & @yukishiota29