Ia mengetukkan jemarinya di atas meja, tepat di sebelah laptopnya. Menunggu pencarian di internet selesai dan menampilkan informasi mengenai penyakitnya itu, dengan resah gelisah.
"Ehmm," dengkusnya, "lemot sekali internetnya." Dreena merengut menatap layar laptopnya, yang seketika jaringannya mulai melemah.
Berapa detik menunggu, terbukalah semua informasi yg ia cari. Ia klik salah satu artikel mengenai penyakit yang ia idap saat ini. Kali ini, Dreena harus membaca semuanya dengan saksama. Sebab ia wajib mengetahui tentang penyakit langkanya.
Dengan tenang, Dreena membaca perlahan isi artikel tersebut. Berapa kali ia hanya mampu menelan salivanya dan sesekali membulatkan matanya ketika membaca artikel itu.
Ia masih belum siap-siap, entah dirinya mau ikut atau tidak. Sepertinya Dreena melupakan hal itu. Ia begitu serius menatap layar laptop di hadapannya. Sampai berapa artikel ia buka dan baca isi di dalamnya. Semua menjelaskan hal serupa dengan artikel pertama yang ia buka.
"Jadi ... itu artinya ... kulitku tidak bisa terkena sinar matahari?" Seketika Dreena menyentuh kedua pipinya yang masih memerah.
"Pipiku ... pantas saja tadi pas bangun pipiku perih sekali rasanya, saat sinar matahari menyentuhnya. Bahkan kulit tanganku ikut perih juga saat aku dekatkan ke sinar matahari tadi." Dreena menghela lemas.
"Apa ... apa aku bukan manusia normal lagi?" lirihnya menahan isak.
Kini ia hanya terisak sendu, terduduk lemas di kursi belajarnya. Layar laptopnya masih menampakkan artikel mengenai penyakit dirinya. Buliran bening perlahan jatuh membasahi pipinya. Ia bisa merasakan sedikit nyeri pada pipinya yang memerah itu. Namun, Dreena tidak memedulikan hal itu.
Pikirannya menerawang, bagaimana ia hidup setelah ia tahu tentang penyakitnya ini? Segala pikiran negatif seketika mulai menghantui dirinya. Berpikir jikalau dirinya tidak bisa menjadi manusia normal pada umumnya. Isaknya semakin menjadi-jadi saat pikiran buruknya semakin mendominasi isi di kepalanya.
Dreena melupakan ucapan orang tuanya. Ia bukannya bersiap-siap malah menangis tak karuan. Ia pun bangkit dari kursi dan menghempaskan tubuhnya di kasur empuknya. Ia tengkurap dan menutupi wajahnya dengan bantal guling. Air mata pun membasahi bantal kepala dan juga bantal gulingnya.
***
"Ma, sudah siap belum?" tanya Andres.
"Sebentar, ini juga mau selesai kok," sahut Sekar kepada suaminya.
Lima menit kemudian, Sekar pun siap untuk keluar kamar. Ia pun langsung mengajak suaminya keluar kamar dan menunggu Dreena di lantai bawah.
Saat melewati kamar Dreena, Sekar sempat berhenti dan mengingatkan kembali putrinya. "Mama dan Papa tunggu di lantai bawah ya, kami tunggu di ruang tamu. Jangan lama ya, Sayang!" ujar Sekar, sedikit mengeraskan nada suaranya agar Dreena dapat mendengarnya.
Namun, tidak ada jawaban dari putrinya itu. Andres pun mengajak istrinya untuk meninggalkan pintu kamar anaknya itu. "Sudah, Ma. Mungkin Dree sedang berada di dalam toilet. Kita tunggu di bawah saja," ajak Andres menarik tangan istrinya.
Mereka pun menuruni anak tangga satu per satu. Andres tersenyum penuh arti. Ia berharap rencananya ini dapat menghilang kekecewaan putrinya karena batal liburan sekaligus, untuk membuat pikiran Dreena tidak melulu mengingat tentang penyakitnya itu. Andres berencana agar dapat membuat Dreena melupakan penyakitnya untuk sejenak.
Sesampainya di ruang tamu, mereka bertemu asisten rumah tangga mereka yang sedang membersihkan beberapa pajangan yang bertengker di lemari buffet. Sekar pun menyapa Bi Aida. "Eh, Bi sedang bersih-bersih ya?" sapanya berbasa-basi.
Bi Aida menoleh ke arah majikannya, seraya tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit menunduk penuh hormat.
"Eh Nyonya dan Tuan. Ma-mau ke mana sudah rapi saja? Non Dreena tidak ikut?" sahut bi Aida seraya bertanya balik.
"Oh, iya kami mau keluar jalan-jalan saja. Dreena ikut kok, dia sedang bersiap-siap di kamarnya. Kami akan menunggunya di sini saja," pungkas Sekar menjelaskan.
"Iya, Nya. Maaf, Bi Aida lanjut bebenah lagi ya," ucap Bi Aida kemudian.
Sekar hanya mengangguk pelan seraya tersungging ramah kepada asisten rumah tangganya itu. Kini ia dan juga suaminya memilih duduk di sofa ruang tamu. Mereka berdua menunggu Dreena di ruang tamu dengan sangat sabar. Mereka tidak tahu jikalau Dreena bahkan tidak mengingat ataupun mengindahkan permintaan ataupun perintah mereka berdua.
Baik Sekar dan Andres menunggu dengan sabar, meski 20 menit telah berlalu. Mereka masih menunggu putrinya turun ke lantai bawah dengan sabar. Setengah jam pun terlewati, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Dreena. Sudah 30 menit berlalu, batang hidung Dreena tak jua muncul di hadapan mereka.
"Kok Dreena lama sekali ya, Pa?" tanya Sekar yang mulai gelisah.
"Eh, iya juga, Ma. Sudah setengah jam kita menunggu di sini. Kenapa selama ini ya?" tukas Andres, melirik ke arah arloji pada pergelangan tangannya.
"Gini saja, coba Mama suruh bi Aida panggilkan Dreena dan suruh cepat ke bawah. Bilang kami sudah menunggu sedari tadi gitu," usul Andres.
"Ehmm, baiklah. Tunggu sebentar ya, Pa!" Sekar bangkit lalu berteriak memanggil bi Aida sambil terus melangkah ke dalam rumah.
Bi Aida yang berada di ruang tengah menoleh ke arah sumber suara. Ia pun menjawab panggilan majikannya itu. "Iya, Nya ada apa?" sahut bi Aida menghentikan aktivitasnya sesaat.
Sekar telah tiba di ruang tengah, ia pun segera mengatakan apa yang tadi suaminya sampaikan. Bi Aida dengan sigap mematuhi perintah dari sang majikan.
"Siap, Nya. Tunggu sebentar ya, Nya. Bi Aida panggilkan dulu non Dreenanya."
"Aku dan mas Andres menunggu di ruang tamu ya." Sekar melenggang pergi meninggalkan ruang tengah seusai berkata demikian.
Sementara bi Aida melangkah ke lantai atas, Sekar pun kembali ke ruang tamu menemani suaminya itu.
"Tunggu ya, Pa. Bi Aida sudah Mama suruh untuk panggil Dree turun dari kamarnya kok." Dreena sedikit menenangkan perasaan suaminya saat ini.
***
Bi Aida menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. Ia tidak ingin membuat majikannya menunggu terlalu lama. Bahkan ia berpikir tentang penyakit nona majikannya itu. Dalan hati ia selalu bertanya tentang penyakit apa yang Dreena idap.
"Semoga tidak ada masalah serius mengenai penyakit non Dreena," gumamnya, yang kini telah sampai di depan pintu kamar Dreena.
Bi Aida mulai mengetuk pintu di hadapannya dengan perlahan dan juga memanggil nama Dreena. Sudah berkali-kali mengetuk pintu dan berapa kali memanggil nama Dreena, tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar.
Bahkan suara ketukan dan panggilan pun, sudah diperkeras oleh bi Aida. Ia sedikit aneh, karena Dreena tidak kunjung menjawab atau membukakan pintu untuk dirinya.
"Non? Non di dalam baik-baik saja 'kan?" tanya bi Aida dengan raut wajah khawatirnya.
"Non! Non Dreena ...." Bi Aida menggantung panggilannya.
Tiba-tiba ia merasakan firasat buruk mengenai nona majikannya itu.
Apa yang terjadi dengan Dreena?
***
Hai, Readers!
Kalian suka dengan ceritaku?
Mau lanjut? Sumbang star vote & beri krisan/review terbaik kalian ya bila berkenan.
Terima kasih & selamat membaca.
Ikuti jejakku di Instagram @yenifri29 & @yukishiota29