Baru ia akan menaiki anak tangga, suaminya turun dari lantai atas. "Mau ke kamar, Ma?" sapa Andres bertanya.
"Ehh, iya Pak. Papa mau ke mana?" sahut Sekar.
"Mau minta tolong bi Aida buatkan kopi hangat. Hujan-hujan gini pasti enak minum yang hangat-hangat. Mama mau juga?"
"Ehhm, tolong minta bi Aida buatkan wedang jahe ya, buat Dreena. Mama juga boleh deh wedang jahe." Sekar ingat jika Dreena sedang mandi hujan. Ia hanya khawatir dengan kesehatan Dreena seusai terguyur air hujan nan deras itu.
"Memang Dree mau minum itu? Paling dia sedang tidur sekarang," tebak Andres.
"Dia tidak di kamar saat ini, Pa. Tuh lihat di luar sana!" Sekar menunjuk pintu utama dengan dagunya.
Mata Andres melihat apa yang ditunjukkan oleh Sekar. "Di luar rumah? Bukannya hujan deras ya?" Andres menautkan kedua alisnya penuh keheranan.
Sekar hanya mengangguk sekali, lalu melangkah menaiki anak-anak tangga dan melewati suaminya yang masih bergeming dengan kebingungannya.
"Ehh, uhh malah pergi," dengkus Andres, sedikit kesal karena diabaikan oleh Sekar.
***
Sekar sudah berasa di dalam kamarnya. Kini ia berjalan ke arah jendela kamarnya yang telah lembab berembun karena hujan. Ia menyekanya dengan salah satu telapak tangannya. Dari atas kamarnya, ia dapat melihat Dreena yang bermain-main dengan air hujan.
Sekar hanya tersenyum penuh arti memandang Dreena yang menari-nari dan melompat-lompat layaknya anak berusia balita. Ia tidak ingin melarang anaknya melakukan hal apa pun, selama itu membuat Dreena bahagia.
Seorang ibu pasti menginginkan kebahagiaan anaknya. Bahkan mereka pun rela berkorban demi jiwa raga hanya untuk melihat lengkungan indah di sudut bibir anaknya. Sekali lagi, Sekar harus menyeka buliran bening yang tiba-tiba turun ke pipinya. Ia pun terharu menatap putri tunggalnya dari atas kamarnya.
***
Andres yang merasa bingung dan penasaran malah membuatnya melangkah ke arah pintu utama. Ia seolah lupa dengan keinginannya, yang ingin meminum segelas hot coffee buatan bi Aida.
Ia melangkah ke pintu depan dan membukanya. Pandangannya terjatuh pada sosok yang terduduk santai di bawah derasnya air hujan.
"Dree? Oh My God, itu anak kenapa mandi hujan? Sekar ...," geramnya meradang.
Ia tidak terima melihat apa yang terjadi di hadapan matanya. Ia segera masuk ke dalam rumah untuk mengambil payung beserta handuk bersih yang memang selalu tersedia di toilet lantai bawah.
"Mau ke mana, Tuan?" sapa bi Aida, yang merasa heran melihat tuan majikannya tampak tergesa-gesa.
"Itu, Dree mandi hujan di luar. Kan dia belum lama mendingan dari sakitnya. Sekar malah membiarkan Dree mandi hujan seperti itu," jawab Andres, sembari mencari payung yang tersimpan di dekat dapur.
"Lah? Non Dree 'kan lagi sakit. Ya sudah, biar Bi Aida buatkan wedang jahe ya." Rupanya asisten rumah tangganya sudah sangat paham apa yang harus ia lakukan, sebelum Andres meminta tolong sesuai pesanan istrinya.
"Nah iya, aku hampir lupa. Tadi Sekar memintaku, agar minta tolong ke Bi Aida untuk buat wedang jahe. Kalau aku kopi panas kayak biasa saja ya." Andres berkata sembari meraih handuk bersih di dalam toilet, lalu bergegas ke arah pintu utama.
Ia begitu tergesa-gesa, ia tidak mau jikalau penyakit Dreena kembali kambuh lagi. Dengan segera ia membuka pintu utama membuka payung berukuran besar agar muat untuk dua orang.
Dreena tidak menyadari jika ayahnya sedang menghampirinya. Ia baru tersadar ketika air hujan tidak menetes di atas kepalanya lagi. "Lah? Kok hujannya di kepalaku hilang?" gumamnya menoleh ke atas.
Ia melihat sebuah payung besar di atas kepalanya. Lalu mencari tahu siapa orang yang memayunginya. "Papa?" pekiknya terkejut.
"Bangun! Pakai handuk ini." Dengan tegas Andres berkata demikian seraya menyodorkan handuk bersih ke arah Dreena.
"Ta-tapii ... Pa? Biarkan aku di sini dulu sebentar ya, Pa. Aku sudah lama tidak keluar rumah. Kan cuma di halaman rumah saja tidak ke mana-mana, tidak apa-apa 'kan, Pa?" pinta Dreena memohon.
"Papa bilang bangun, ya bangun! Ayo masuk, tidak ada lagi hujan-hujanan kayak gini!" bentak Andres tegas.
"Ta-tapi, Pa ...." Bola mata indah milik Dreena kini mulai berkaca-kaca.
***
Sekar yang sedari tadi memandang putrinya dari jendela kamar, dapat melihat suaminya yang menghampiri Dreena. Ia cukup terkejut melihat Andres mendekati Dreena.
"Papa? Ya ampun, malah disusul. Pasti disuruh masuk deh. Padahal tampaknya Dree kelihatan bahagia di bawah hujan," gumam Sekar.
Ia segera keluar dari kamarnya dan menuju lantai bawah. Ia takut jika suaminya memarahi Dreena. Mungkin bagi suaminya ini adalah sesuatu yang dilarang di mana mereka tahu jikalau Dreena sedang mengidap penyakit langkah. Namun, hanya perasaan seorang ibu yang paling mengetahui di mana letak kebahagiaan seorang anaknya. Akan tetapi, seorang ayah juga tahu pasti mana yang terbaik untuk anak-anak mereka.
"Aduhh, aku harus cepat ke bawah nih. Pasti si Papa marah banget sama Dree deh." Sekar dengan tergesa-gesa menuruni anak-anak tangga yang seolah sangat panjang saat ini.
Sesampainya di lantai bawah, Sekar segera menuju pintu depan. Membuka pintu dan tanpa pikir panjang, ia pun berlari ke halaman rumah yang masih terguyur dengan derasnya rinai hujan. Ia tidak memedulikan pakaiannya yang sedetik kemudian menjadi basah kuyup.
"Paa!" teriak Sekar memanggil suaminya.
Andres refleks menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia dapat melihat istrinya yang basah kuyup berlari ke arahnya. "Mama?" gumamnya.
Sekar yang sudah di dekat mereka segera mendekati putrinya yang tampak ketakutan dan mulai terisak. "Pa, apa yang Papa lakukan terhadap, Dree? Dia sampai sedih dan kayak orang ketakutan begini," ujar Sekar, yang merangkul putrinya.
"Kamu gimana si, Ma? Dree 'kan lagi sakit kenapa dibiarkan hujan-hujanan kayak gini? Kalau penyakitnya tambah parah gimana?" cecar Andres, tampak mulai emosi mengetahui sikap istrinya yang abai terhadap kesehatan anak mereka.
"Iya, Mama tahu. Tapi bukan gini caranya, Pa. Dree juga butuh kebebasan, biarkan dia keluar rumah. Toh, air hujan dari langit 'kan bersih bukan yang jatuh dari atap atau tempat lainnya. Lagipula habis ini, Dree bisa mandi air hangat juga 'kan," bantah Sekar yang mencoba membela putrinya.
"Tapi bukan seperti ini caranya, Ma. Ini demi kesehatan Dree juga," kilah Andres.
Sekar tidak memedulikan perkataan suaminya. Ia kini berpaling ke Dree yang sedang terisak. Ia mendekap putrinya erat, mencoba menenangkan putrinya itu. "Sudah-sudah, mending sekarang kita masuk saja. Nanti kamu kedinginan kalau lama-lama di luar," tutur Sekar.
"Tapi, Ma ... Papa ...," ucapnya lirih.
***
Hai, Readers!
Ini bukan novel pertamaku di platform ini. Hanya saja aku lebih senang menuliskan kisah tentang Dreena ini. Semoga saja kalian suka. Aku tunggu star vote, krisan/review terbaik kalian ya. Jangan lupa berikan hadiah bila berkenan.
Terima kasih & selamat membaca.
Ikuti jejakku di IG: @yenifri29 & @yukishiota29