Chereads / Vampire Disease / Chapter 16 - Pembelaan Seorang Ibu

Chapter 16 - Pembelaan Seorang Ibu

"Biar itu jadi urusan Mama, Yuk kita masuk!" Sekar membantu Dreena selempangkan handuk di tubuhnya. Lalu merangkulnya masuk ke dalam rumah.

Andres yang melihat istri dan anaknya hendak masuk ke dalam rumah, dengan sigap ia pun memayungi mereka. Kini Andres harus berbagi payung dengan istri dan anaknya. Karena hujan begitu deras, membuat pakaiannya basah terkena air hujan.

***

Sesampainya di dalam rumah, mereka segera ke lantai atas. Andres segera ke dapur menemui asisten rumah tangganya. Ia melihat bi Aida sedang merebus sesuatu. Sepertinya bi Aida sedang membuat wedang jahe permintaan Sekar dan juga Andres tadi.

"Bi, nanti wedang jahenya antar ke kamar Dree dan kamar saya ya. Sekalian kopi saya juga ya," perintah Andres.

"Ini kopinya sudah dibuat Tuan," sahut bi Aida memberikan kopi itu kepada Andres.

"Oh, ya sudah sini biar aku bawa. Nanti yang wedang jahenya antar ke kamar aku dan Dree ya, Bi. Makasih ya, Bi."

"Ya, Tuan sama-sama."

Andres melangkah ke lantai atas, sesekali ia menyerut kopi panasnya. Rasanya begitu nikmat, bahkan seolah rasa panasnya mampu menghangatkan tubuhnya yang sempat terguyur air hujan.

Ia masuk ke dalam kamarnya, Sekar tidak ada di sana. Andres sudah tahu, pasti istrinya di kamar anaknya. Ia pun meletakkan secangkir kopinya di atas meja kecil dekat sofa. Lalu kemudian, ia melangkah ke dalam kamar kecil untuk mandi air hangat dan juga berganti pakaian.

***

Sekar dan Dreena sudah berganti pakaian bersih dan tidak basah lagi. Sekar sengaja menemani putrinya, ia paham sekali bagaimana perasaan putrinya itu.

"Ma, aku takut nanti Papa marah samaku," ucap Dreena, yang masih tampak takut.

"Papamu tidak akan marah kok, kamu tenang saja." Sekar meyakinkan Dreena agar putrinya bisa lebih tenang dan tidak merasa takut.

"Tapi ...."

"Husss, sudah-sudah jangan dipikirkan lagi. Toh, Mama juga tidak melarangmu kok. Jadi santai saja, tidak usah dipikirkan lagi."

Tidak lama ada suara ketukan pintu, Sekar menghampirinya. Ternyata ada bi Aida membawa dua cangkir wedang jahe hangat. "Ini Nya, wedang jahe untuk Non Dreena, trus satu lagi kata Tuan suruh dibawa ke kamar Tuan dan Nyonya. Tapi, Nyonya ada di sini."

"Oh iya, makasih ya, Bi," tutur Sekar menerima baki kecil berisi dua cangkir wedang jahe hangat yang dibawa oleh asisten rumah tangganya.

"Ya sama-sama, Nya. Mari Nya," tukas bi Aida.

Sekar menutup kembali pintu kamar anaknya. Lalu, memberikan wedang jahe hangat kepada Dreena. "Dree ini diminum dulu ya, wedang jahenya."

Dreena mengambil cangkir yang diberikan oleh ibunya. Lalu, menyesap isinya. Begitu juga dengan Sekar yang meminum isi cangkirnya.

"Gimana? Enakan 'kan jadi hangat badannya," ucap Sekar.

Dreena hanya mengangguk pelan.

"Ya sudah, dihabiskan ya minumannya."

"Iya, Ma."

Baru saja Sekar ingin duduk di samping anaknya, tiba-tiba suara suaminya terdengar dari luar kamar memanggil dirinya dan juga anaknya. "Sebentar ya, Mama bukakan pintu dulu buat Papa."

"Tapi Papa tidak akan marah 'kan, Ma?" tanya Dreena kembali.

"Tidak kok, tenang saja." Sekar tersenyum hangat menenangkan putrinya itu.

Ia meletakkan cangkir yang ia pegang di atas nakas. Lalu membukakan pintu untuk suaminya. "Ya sebentar, Pa!" teriaknya dari dalam kamar.

Pintu pun terbuka, Andres segera masuk ke dalam kamar putrinya. Ia menghampiri Dreena karena merasa khawatir dengan keadaan putrinya. "Kamu tidak apa-apa 'kan? Papa tidak mau melihat kamu hujan-hujanan kayak tadi. Kamu 'kan baru mendingan dari sakit. Bukannya Papa melarangmu."

"Sudahlah, Pa kasian Dree lho. Biar saja, kalau itu semua membuatnya senang dan bebas. Toh, sejak dari rumah sakit Dree 'kan paling malas untuk keluar kamar. Jadi biarlah kali ini dia keluar kamar. Mama 'kan sudah pernah bilang, kalau Dree itu tidak bisa terkena sinar matahari, jadi tidak ada salahnya dia menikmati air hujan 'kan?" tutur Sekar, sekali lagi meyakinkan suaminya agar tidak memarahi anaknya.

"Iya, Papa tahu itu. Tapi tadi tuh, hujannya deras banget. Kasian kalau Dree sampai kedinginan atau masuk angin."

Dreena bangkit dari duduknya.

"Sudah, Pa, Ma, besok-besok kalau hujan aku tidak akan keluar rumah lagi. Lebih baik, kalian tinggalkan aku sendiri. Aku yang salah, maafkan aku, Pa, Ma," ucap Dreena lirih.

***

Dreena tidak paham lagi, mengapa kedua orang tuanya harus berdebat hal sepele seperti ini. Ia menyadari, jika semua ini adalah ulah dan kesalahannya. Namun, ia juga ingin merasakan kebebasan.

Dreena sudah tidak tahan lagi, ia pun meminta kedua orang tuanya keluar dari kamar pribadinya. "Ma, Pa, lebih baik kalian tinggalkan aku sendiri. Kepalaku jadi sakit mendengar kalian berdebat seperti itu," pinta Dreena, melangkah ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar mempersilahkan kedua orang tuanya untuk keluar.

Andres pun mendengkus, lalu melangkah lebih dulu meninggalkan Sekar yang masih berdiri mematung. Andres kembali ke kamarnya. Sekar pun menghabiskan sisa wedang jahenya.

"Wedang jahemu, jangan lupa dihabiskan ya!" ucap Sekar, yang melangkah ke arah pintu.

Dreena hanya mengangguk sekali, lalu kembali menutup pintu kamarnya tepat setelah Sekar keluar.

Ia pun menghela napas lega dan melangkah ke arah ranjang tidurnya. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuknya. "Baru juga keluar, ehh di suruh masuk," gerutunya sedikit kesal.

Hujan di luar sudah mulai mereda meski belum sebelumnya berhenti. Dreena kembali memejamkan matanya, menikmati damainya suara rintikan hujan. Ia berkhayal jika saat ini dirinya masih berada di bawah guyuran air hujan. Pikirannya terus menerawang seolah ia benar-benar berada di luar kamarnya.

Berapa menit kemudian, ia rupanya tertidur dalam khayalannya. Baru saja ia pergi ke alam imajinasinya, kini Dreena sudah pergi ke alam mimpinya.

***

Sekar pun melangkah ke arah dapur, meletakkan baki dan cangkir bekas wedang jahe yang diminumnya tadi. Di dapur tampak sepi. Tidak ada bi Aida di sana. Ia pun kembali ke lantai atas.

Tadi sebelum hujan, Sekar baru saja sampai di rumah sehabis dari butiknya. Ia memang tidak pernah lama berada di butik miliknya. Apalagi sejak diketahui jika putrinya mengidap penyakit aneh dan langkah. Pikirannya menjadi tidak tenang. Setiap waktu ia memikirkan tentang penyakit anaknya itu.

Sekar membuka pintu kamarnya yang memang tidak terkunci. Ia melihat Andres yang sedang duduk di sofa kecil seraya membaca koran mingguan.

Andres menoleh ke arah Sekar yang baru saja masuk ke dalam kamar. "Besok jangan gitu lagi, Ma. Papa cuma tidak mau Dree kenapa-kenapa," ujar Andres.

"Iya, Pa. Tapi Papa tahu sendiri 'kan Dree hanya bisa keluar saat tidak ada matahari. Waktu kemarin tuh 'kan Mama sudah cerita semuanya. Jadi biarlah dia setidaknya bebas meski harus merasakan dinginnya air hujan," tukas Sekar, yang masih terus membela putrinya.

"Ya sudahlah, terserah Mama saja. Awas saja sampai Dree kenapa-kenapa!" dengkus Andres.

"Yang ada, dia semakin tersiksa karena larangan Papa ini. Sudahlah Mama mau tidur, malas berdebat sama Papa tidak ada habisnya." Sekar berjalan menuju ranjang tidurnya.

Andres hanya menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar seraya menggelengkan kepalanya. Ia tidak lagi menjawab, sebab jika ia terus menjawab perdebatan ini akan semakin panjang tidak ada habisnya.

***

Hai, Readers!

Gimana dengan ceritaku?

Menarik bukan?

Semoga kalian suka ya. Aku tunggu star vote, gift, & krisan/review terbaik kalian bila berkenan.

Terima kasih & selamat membaca.

Follow IG: @yenifri29 & @yukishiota29