Sekar menautkan alisnya ketika menatap ke arah bi Aida, begitu pun dengan suaminya. Rupanya mereka agak sedkit curiga dengan sikap bi Aida yang seperti seseorang yang sedang menyimpan sesuatu.
Berapa kali bi Aida hampir menumpahkan air di atas meja makan. Ia begitu gugup dan gelisah. Raut wajahnya menunjukkan keresahan yang begitu kentara. Hal itu membuat sang majikan tampak mencurigainya.
"Bi, kok sepertinya pagi ini Bi Aida lain sekali? Apa ada masalah kah?" tegur Sekar, yang membuat bi Aida tersentak kaget mendengar teguran itu.
"Aahh, anu ... ti-tidak apa-apa kok, Nya," tukas bi Aida tergagap, ia terpaksa berbohong.
"Yakin tidak ada apa-apa, Bi?" sambung Andres menatapnya penuh selidik.
Bi Aida semakin bingung ketika merasa terintimidasi seperti itu. Ingin rasanya ia mengatakan semuanya dengan jujur, tetapi ia takut jika kedua majikannya mengira bahwa ia sedang berhalusinasi. Mana mungkin, tuan dan nyonya majikannya akan memercayainya.
"Ah, anu Bi Aida panggilkan non Dreena dulu ya, Tuan, Nyonya." Bi Aida sengaja mencari alasan agar bisa terhindar dari pertanyaan-pertanyaan sang majikan.
Andres pun hanya menggangguk pelan dan mempersilahkan bibi Aida untuk memanggil dan menghampiri putrinya itu.
Sepeninggal bi Aida, Andres pun berbicara kepada istrinya mengenai sikap asisten rumah tangganya yang pagi ini tampak begitu berbeda.
"Tuh kamu lihat 'kan, Ma? Bi Aida kok aneh banget sikapnya pagi ini, tidak seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan kepada kita," ujar Andres, menyampaikan kecurigaannya kepada sang istri.
"Iya, Pa benar. Mama pikir, cuma Mama saja yang merasa curiga dan aneh melihat sikap bi Aida pagi ini, eh tahunya Papa juga curiga. Ehmm, kira-kira bi Aida ada masalah apa ya, Pa? Tidak seperti biasanya yang selalu jujur dalam urusan dan masalah apa pun," sahut Sekar, yang kemudian menerka-nerka apa yang sedang dialami oleh asisten rumah tangganya.
Andres pun menebak jikalau ini semua adalah persoalan tentang keluarga bi Aida. Namun, agaknya Sekar tidak yakin akan hal itu. Sebab biasanya meskipun urusan keluarganya yang berada di kampung halaman, bi Aida akan berbicara jujur apa adanya. Karena ia sudah bekerja dan mengabdi di keluarga ini sejak sebelum Dreena terlahir ke dunia.
"Ya sudahlah jangan terlalu dipikirkan, lebih baik kita sarapan saja. Biar nanti kita tanya kembali pada bi Aida," tutur Andres, seraya menyendok nasi goreng di piringnya.
"Ehmm, baiklah."
Tidak lama, Bi Aida dan Dreena pun turun dari lantai atas. Seperti biasa pula mimik wajah Dreena hanya datar dan polos. Kulit wajahnya juga semakin pucat. Ia langsung menarik kursinya di sisi ibunya. Tanpa berbicara sedikit pun.
"Pagi, Sayang," sapa Sekar dan juga Andres.
Dreena hanya berdeham singkat dan segera menyendok nasi goreng di piringnya. Sementara bi Aida kembali ke dalam dapur. Ia sebenarnya masih merasa takut ketika harus berhadapan langsung dengan nona majikannya.
Mungkin tadi ia terpaksa untuk memanggil Dreena ke kamar nya karena untuk menghindar dari pertanyaan Sekar dan juga Andres. Ia pun tadi tak berani menatap langsung ke arah Dreena. Entah mengapa seketika ia merasa bergidik ngeri saat berada di dekat nona majikannya itu. Mungkin karena kejadian tadi malam yang masih terus terngiang-ngiang di benaknya.
"Aku harus bagaimana? Apa aku harus mengatakan semuanya kepada Nyonya dan Tuan? Tapi kalau mereka tidak percaya denganku bagaimana?" batin bi Aida resah.
Bi Aida pun menyibukkan diri di dapur agar tidak terlalu memikirkan hal itu lagi. Hanya saja ia masih dilema apakah harus berkata jujur ataupun tidak kepada kedua majikannya.
***
Di meja makan, mereka hanya sibuk menyantap hidangan masing-masing. Dreena hanya menyantap sedikit sarapan paginya dan segera menyudahinya.
"Tadi malam kamu ketiduran ya? Mama dan Papa memanggilmu untuk makan malam, eh kamu tidak menjawabnya. Tumben sekali kamu tertidur di awal, padahal belum malam banget lho. Apa kemarin siang kamu tidak tidur siang ya?" tegur Sekar.
"Itu aku tertidur dari siang, Ma."
"Apa? Dari siang? Masya Allah, Dree masa habis hujan-hujanan jadi ngantuk begitu?" pekik Sekar terperanjat.
"Iya, habis tahu-tahu aku ngantuk banget sehabis mandi air hangat. Aku juga tidak tahu kenapa mataku begitu mengantuk dan badanku kayak kecapekan banget. Tapi bukan karena aku demam lho. Aku masih sehat dan tidak panas badanku. Hanya kayak lelah atau kecapekan saja, makanya jadi kayak lemas gini. Ini juga terpaksa turun ke bawah padahal aku masih ngantuk, cuma aku tidak enak sama bi Aida yang sudah capek-capek menghampiriku ke kamar," terang Dreena panjang lebar.
"Ya ampun, Dree apa ini karena efek dari penyakitmu itu? Apa pagi ini kita ke dokter dulu ya, Pa antar Dree?" tanya Sekar memberi usul.
"Ehmm, gimana kalau Mama saja yang mengantarnya. Kalau pagi ini Papa ada meeting dengan klien, jadi maaf banget kalau Papa tidak bisa mengantarmu ke dokter, Dree," tukas Andres menoleh ke arah Dreena.
"Buat apa kita ke dokter? Aku tidak apa-apa kok. Aku cuma ngantuk saja. Sudah ah, aku mau ke kamar lagi. Kalian berangkat kerja saja sana, nanti terlambat lho," tutur Dreena beranjak dari kursinya.
Ia pun melenggang pergi begitu saja meninggalkan ruang makan. Di sana kedua orang tuanya hanya menatap heran kepergian Dreena.
"Tapi, Dree ...." Sekar menggantung ucapannya.
"Sudahlah, Ma. Mungkin dia memang cuma mengantuk dan lelah saja. Ayo cepat habiskan sarapanmu!" kilah Andres.
"Tapi yang Mama bingung, kenapa pagi ini banyak orang yang aneh ya sikapnya. Tidak bi Aida tidak Dreena sama saja," ungkap Sekar menautkan kedua aliasnya.
***
Setelah berpikir panjang, bi Aida pun akhirnya memutuskan untuk berkata jujur kepada kedua majikannya. Meski awalnya ia tidak yakin akan hal itu. Bagaimana jika kedua majikannya tidak memercayainya?
"Baiklah, aku akan katakan ini semua kepada tuan dan nyonya, tapi tidak di hadapan non Dreena. Aku takut kalau menyinggung perasaan non Dreena," pikir bi Aida.
Ia pun kembali ke ruang makan seusai membersihkan area dapur, yang tadi sempat ia pergunakan untuk memasak sarapan pagi.
Di ruang makan, Sekar dan suaminya baru saja menyelesaikan sarapan paginya. Ketika mereka baru saja beranjak meninggalkan ruang makan, tetiba saja bi Aida menahan mereka untuk pergi dari sana.
"Tuan, Nyonya tunggu!" sapanya sedikit berteriak.
Sekar dan suaminya refleks menghentikan langkah mereka dan menoleh ke sumber suara yang menyapa mereka berdua.
"Iya, Bi ada apa?" tanya Sekar heran.
"Anu, Nya ... sebenarnya ada yang ingin Bi Aida bicarakan, tapi ... mungkin nanti saja deh, 'kan kalian juga hendak pergi bekerja," tukas bi Aida tergugup.
"Ada apa, Bi coba katakan saja? Sebenarnya kami juga sedikit merasa aneh dengan sikap Bi Aida pagi ini yang memang tidak seperti biasanya," ungkap Sekar.
"Iya, Bi katakan saja tidak apa-apa. Daripada nanti lupa atau memang ada urusan penting 'kan," sambung Andres.
Bi Aida masih bergeming, ia masih menimbang-nimbang apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tampak jelas terlukis keresahan diraut wajahnya. Ia pun hanya mampu menundukkan kepala dan tetap berdiri mematung pada tempatnya berpijak.
"Bi? Lah kok malah diam? Tidak apa-apa, Bi katakan saja sekarang. Kami siap mendengarkannya kok," tutur Sekar.
"Ta-tapii, Nya ... aduh, gimana ya? Nanti saja deh, Bi Aida bicaranya." Bi Aida masih tampak ragu-ragu.
"Kalau masalah keluarga Bi Aida, ya sudah katakan saja, tidak apa-apa kok," sahut Andres.
"Bukan, Tuan. Se–sebenarnya ini tentang non Dreena," aku bi Aida.
"Tentang Dreena?" pekik Andres dan Sekar nyaris berbarengan.
***
Hai, Readers!
Masih lanjut baca kah?
Makin seru ya?
Semoga kalian suka dengan kisah Dreena & Jarrel ya. Aku tunggu star vote, krisan/review terbaik kalian ya. Boleh beri gift bila berkenan.
Terima kasih & selamat membaca.
Follow IG: @yenifri29 & @yukishiota29