Dreena merasakan jika ada sesuatu yang kedua orang tuanya sembunyikan. Ia dapat merasakan senyuman palsu yang terukir di sudut bibir bibir mereka. Manik mata mereka jelas terbaca jika mereka menutupi sesuatu dari anaknya itu.
Meskipun masih dalam kondisi lemah dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar, tetapi Dreena adalah orang yang sangat peka terhadap perubahan sikap seseorang. Ia dapat memastikan jika kedua orang tuanya saat ini sedang berbohong kepadanya. Sekar dan Andres berpura-pura senang melihat Dreena sudah diperbolehkan pulang.
Rasa penasaran kian memuncak, terlintas di pikirannya untuk bertanya langsung kepada sang dokter. "Aku lebih baik bertanya ke dokter tentang penyakitku," batinnya.
Ketika dokter dan suster itu hendak meninggalkan ruangan, buru-buru Dreena mencegahnya. "Dok! Kalau boleh tahu, sebenarnya saya sakit apa?" tanya Dreena yang membuat kedua orang tuanya panik. Mereka tak ingin dokter tersebut mengatakan yang sebenarnya.
Sekar dan Andres saling melempar pandangan. Mereka seolah berbicara dengan cara telepati. Baru saja dokter itu hendak menjawab, dengan cepat Sekar mengalihkan pembicaraan itu.
"Sekarang siap-siap yuk, kamu 'kan sudah diizinkan dokter untuk pulang. Tadi katanya mau pulang ke rumah, jadi mau liburan tidak?" sambung Sekar yang buru-buru mengalihkan pembicaraan.
Sementara Sekar mengatasi putrinya, Andres pun segera mengajak dokter itu berbicara. Ia hanya sekedar mengucapkan rasa terima kasih kepada dokter itu. Agar dokter tersebut tidak memiliki kesempatan untuk menjawab pertanyaan dari putrinya itu.
Dokter dan suster itu pun keluar dari ruangan tanpa menjawab pertanyaan dari Dreena. Dengan begitu Andres dan Sekar merasa lega. Mereka menghela napas kelegaan. Sedang di dekat mereka ada sang anak yang mendengkus kesal.
"Uhh, Mama dan Papa kok kayak sengaja mengalihkan pembicaraan ya?" pikir Dreena menggerutu kesal.
"Ya sudah, Papa mau mengurusi administrasinya ya." Andres pun keluar ruangan. Ia harus segera membayar segala administrasi sebelum meninggalkan rumah sakit.
Dreena memang sudah diperbolehkan pulang, hanya saja sebelum keluar dokter itu berpesan agar menunggu sampai infus yang dipakai Dreena benar-benar habis. Karena selain tadi sempat pingsan dan mengeluarkan darah, ia juga mengalami dehidrasi sehingga membuat Dreena harus disuntikan selang infus.
"Sabar ya, Sayang. Tunggu infusanmu habis. Kamu itu kelelahan saja makanya sampai harus diinpus begini," tutur Sekar menjelaskan kembali kepada Dreena agar putrinya itu dapat mengerti dan memercayainya.
Dreena rupanya malas untuk menjawab, ia hanya berdeham pelan nyaris tanpa suara. Ia tidak habis pikir, mengapa kedua orang tuanya menutupi tentang penyakitnya ini?
***
Berapa jam kemudian Dreena telah berada di dalam mobil bersama keluarganya. Sebentar lagi mereka sampai di rumah. Namun, sepanjang perjalanan Dreena masih memikirkan tentang penyakitnya. Apakah sesungguhnya ia baik-baik saja ataukah ada sesuatu yang serius?
Ia hanya diam duduk di sebelah ibunya. Sedang ayahnya duduk di samping pak sopir. Yang dilakukan Dreena hanya memandang keluar jendela. Rupanya ia enggan berbicara apa pun kepada orang tuanya. Ia tidak ingin bertanya apa-apa lagi sebab dirinya sudah tahu jawaban apa yang akan orang tuanya berikan.
Lalu lintas kota besar memang selalu padat dan ramai, kebetulan hari ini adalah hari weekend. Banyak muda-mudi akan menikmati malam minggu yang panjang. Mereka memang pulang sore hari dari rumah sakit tersebut. Sore mulai merangkak gelap, sudah tampak garis jingga di batas cakrawala.
Bagi warga Jakarta sudah terbiasa dengan kemacetan Ibu Kota yang seperti ini. Para pengendara pasti selalu mengeluh, tak terkecuali dengan pak Arya.
"Ehm, mau malam minggu jalanan macet di mana-mana," keluhnya menghela napas kasar.
"Namanya juga hari weekend, Pak hari libur," sahut Andres yang duduk di sampingnya.
***
Satu jam berlalu, barulah mobil sedan mewah yang mereka tumpangi telah sampai di depan rumah nan mewah. Rumah berlantai 2 yang cukup mewah karena mereka tinggal di kawasan real estate.
Security rumah itu segera membukakan gerbang agar mobil majikannya dapat memasuki perkarangan rumah. Sebelum memarkirkan mobil itu ke dalam garasi, pak Arya menurun majikannya di depan pintu utama.
Walaupun masih sedikit lemah, Dreena langsung saja meloyor pergi dan berjalan menuju kamarnya. Kamar dia dan kedua orang tuanya berada di lantai bawah, sedang di lantai atas dikhususkan untuk kamar tamu. Memang sejak kecil Dreena lebih suka tinggal di lantai bawah. Meski kedua orang tuanya sudah menyuruhnya bebas memilih kamar yang mana saja di rumah mereka, tetapi pilihan Dreena hanya kamarnya sewaktu ia kecil.
"Aku malas jika setiap hari harus naik turun tangga selama aku masih tinggal di sini." Begitulah ucapannya kala itu.
Dreena langsung saja masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan menguncinya. Bahkan saat asisten rumah tangganya menegur dan menyapanya, ia tak menggubrisnya. Bi Aida sangat hafal dengan sifat nona majikannya itu. Pendiam dan cuek. Padahal kedua orang tuanya begitu ramah dan sangat bersahabat kepada siapa pun.
Merasa tidak digubris bi Aida hanya dapat menggelengkan kepala sembari mengelus dadanya. "Dasar si Non, pulang dari rumah sakit tidak ada berubahnya," gumamnya.
Kemudian masuklah kedua majikannya. Mereka terlihat sangat kelelahan karena memang dari pagi Dreena dibawa ke rumah sakit.
"Sudah pulang, Tuan, Nyonya? Bagaimana keadaaan non Dreena?" sapa bi Aida berbasa-basi.
"Alhamdulillah tidak ada masalah serius kok, hanya kecapekan saja dan kurang dehidrasi, Bi." Sekar menjawabnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Alhamdulillah, syukur kalau begitu, Nya. Tapi ... ehm, anu kok non Dreena sempat kayak mimisan gitu ya?" tanya bi Aida kembali dengan penuh selidik. Rumahnya asisten rumah tangga mereka yang satu ini begitu penasaran dengan apa yang terjadi dengan keluarga majikannya.
"Ya itu karena dehidrasi, kekurangan cairan jadi menghasilkan panas dalam atau sejenisnya gitu, Bi," jelas Sekar mengarang cerita. Untung bi Aida bukan orang yang berpendidikan tinggi, jadi mudah bagi Sekar berkata demikian.
"Ya sudah, Bi kami mau istirahat dulu. Bi Aida siapkan makan malam saja ya," tambah Andres menghindari pertanyaan asisten rumah tangganya kembali.
Bi Aida hanya mengangguk cepat sembari membungkukkan tubuhnya di hadapan kedua majikannya. "Baik Tuan," tukasnya.
Ia pun masih mematung di tempatnya berpijak, merasakan hawa-hawa berbeda dari biasanya. Seakan ada sesuatu yang janggal dengan keluarga majikannya.
"Semoga saja, non Dreena memang baik-baik saja," gumamnya yang masih mematung seorang diri.
***