Setelah majikannya masuk ke kamar. Bi Aida pun menyiapkan makan malam untuk keluarga ini. Namun, meskipun hanya sebagai asisten rumah tangga saja itu tak membuat ia tidak kepikiran tentang anak majikannya.
Bagaimanapun bi Aida sudah kerja bertahun-tahun lamanya bahkan sebelum Dreena terlahir ke dunia ini. Sejak baru lahir, bi Aida sudah membantu Sekar dan Andres menjaga dan merawat buah hati mereka.
Ia berharap segala hal buruk tidak menimpa kepada nona majikannya itu. Segala urusan rumah tangga ia urus sendiri dan dibantu oleh Sekar sang nyonya majikan.
Hidangan makan malam telah tersaji di atas meja makan. Sungguh hidangan yang menggugah selera. Ia pun menghampiri kamar majikannya seraya berseru, "Tuan, Nyonya, Non Dreena makan malamnya sudah siap!"
"Iya, Bi terima kasih. Nanti kami keluar," sahut Sekar dari dalam kamarnya.
"Baik, Nyonya." Bi Aida pun melangkah pergi.
Di dalam kamar, Sekar dan Andres sebenarnya sedang berdiskusi membahas masalah penyakit yang diderita anak mereka. Sebab bagaimanapun Dreena harus tahu semuanya tentang penyakit yg dirinya derita.
Andres pun mulai bingung, ia tidak ingin membuat putri tunggalnya itu terus memikirkan penyakitnya nanti. Sekar sebagai ibunya juga tidak tega karena penyakit langka itu menyerang putri kesayangannya.
"Apa yang harus kita lakukan, Pa?" tanya Sekar nyaris putus asa. Tampak jelas matanya yang mulai berkaca-kaca menahan isaknya.
"Papa juga bingung, Ma. Tapi kita memang harus jujur kepada Dreena. Kita harus bicarakan ini dengannya baik-baik." Andres menghela napasnya kasar.
Sekar sendiri hanya bisa mengangguk lemah dan mengelus lembut bahu suaminya itu. Mereka saat ini sedang terduduk di tepi ranjang saling duduk berdampingan.
"Kita cari waktu yang tepat untuk bicara pada Dreena, Pa. Ya sudah lebih baik kita sekarang ke ruang makan saja. Kasian bi Aida sudah capek-capek masak masa kita tidak makan," tutur Sekar seraya bangkit dari duduknya.
Andres tersenyum tipis ke arah istrinya, lalu ikut bangkit dari tepi ranjang. Mereka berdua keluar dari kamar itu, tidak lupa sekalian memanggil Dreena untuk makan malam bersama.
***
Dreena yang masih merasa curiga terhadap kedua orang tuanya hanya bisa terbaring meringkuk di atas ranjang tidurnya. Ia begitu yakin jika dirinya pasti mengalami atau menderita penyakit yang mungkin bisa saja sangat membahayakan dirinya.
Di dalam kamar pribadinya, Dreena terisak dalam diam. Tidak ada suara isak tangis, hanya pipinya yang mulai basah oleh butiran air bening itu.
"Sebenarnya aku sakit apa? Kenapa kedua orang tuaku seperti menutupi sesuatu dariku," batin Dreena di sela-sela isak tangisnya yang senyap.
Segala pikiran negatif menghantui Dreena mengenai penyakitnya. Sampai ia pun tak sadar jika kedua orang tuanya memanggil namanya dari luar kamar.
"Dree! Ayo kita makan malam dulu, Mama dan Papa mau ke meja makan nih. Ayo kita bareng!" panggil sekar yang sedikit mengeraskan nada suaranya agar Dreena mendengar panggilannya.
Tidak ada jawaban dari Dreena. Sekar berpikir, apa mungkin putrinya sudah tertidur? Ia pun mengulangi panggilannya. Sampai tiga kali barulah Dreena tersadar jika sedari tadi ibunya memanggil namanya.
Bergegas ia bangkit dari ranjang dan menarik tissue di meja belajarnya. Menghapus cepat jejak-jejak air mata yang terjatuh di pipi halusnya. Menyeka cairan yang ikutan keluar dari dalam rongga hidungnya. Sedikit parau ia menjawab panggilan ibunya itu.
"Iya, Ma sebentar. Maaf aku baru terbangun. Nanti aku menyusul," sahutnya dengan suara sedikit parau usai menangis. Ia juga mengeraskan suaranya sedikit meski terdengar parau.
"Ehmm, begitu. Ya sudah kami duluan ya!" Sekar dan Andres pun menjauh dari kamar anaknya itu.
Mereka berdua lebih dulu ke meja makan. Sesampainya di ruang makan, bi Aida memang sudah menyiapkan makan malam seorang diri. Terkadang kalau pagi atau siang hari Sekar suka membantunya itu pun jika ia tidak sibuk menangani butik rajutannya.
Bi Aida menuangkan gelas kosong kepada kedua majikannya. Ia juga sempat menanyakan Dreena yang belum ikut mereka ke ruang makan.
"Non Dreena mau Bibi panggilkan juga, Nya?" tawar bi Aida ketika menuangi gelas kosong pada nyonya majikannya itu.
"Tidak usah, Bi. Tadi sudah saya panggil. Sebentar lagi dia juga akan menyusul ke sini," tukas Sekar lembut.
Benar saja, tidak lama Dreena pun muncul dari arah kamarnya. "Maaf, tadi aku sempat ketiduran," ucapnya menarik kursi di hadapannya. Ia pun duduk di seberang ibunya. Sedang Andres duduk di tengah ujung meja.
Bagaimanapun Dreena menutupi perasaannya sebagai seorang ibu, Sekar tahu apa yang sedang putri semata wayangnya pikirkan. Ia juga dapat dengan jelas melihat jejak-jejak air mata pada pipi halus milik Dreena.
Tampak jelas Dreena seperti tidak menikmati santapannya. Makan malamnya hari ini hanya diisi dengan tatapan kosong dan memainkan sendok beserta garpunya.
Sesekali sekar melirik ke arah Dreena. Ia masih melakukan hal yang sama yakni, termenung dan memainkan peralatan makannya. Ia menciptakan suara dentingan kecil pada piring-piring putih porselin.
Sekar juga mengalihkan pandangannya ke arah Andres. Baru saja suaminya hendak menegur anaknya, tetapi dengan cepat Sekar mencegahnya dengan hanya berkata, "Pa ...." Ia pun menggelengkan kepalanya perlahan seraya memberikan isyarat kepada suaminya itu.
Andres hanya tersenyum simpul dan mengangguk pelan.
Tidak ada pembicaraan apa pun atau perbincangan di antara mereka. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu di atas piring. Sunyi dan sepi, mereka menikmati makan malam dalam ketegangan yang tak berarti.
Dari kejauhan, asisten rumah tangga mereka yang begitu setia memerhatikan ke arah ruang makan itu. Ia dapat merasakan aura kesedihan dan ketegangan di atas meja makan tersebut.
"Mereka seperti sedang menyimpan banyak permasalahan. Tapi ... aku pun tidak bisa melakukan apa pun, aku tidak ingin dianggap mencampuri urusan pribadi majikanku," pikirnya yang berdiri di pintu daur. Kedua majikannya tidak menyadari jika bi Aida memerhatikan mereka di meja makan.
***
Hanya berhasil memasuki beberapa suap nasi ke dalam mulutnya. Dreena pun mengakhiri makan malamnya. Segera saja ia bangkit dari kursinya sedikit mendorong agar ia dapat keluar di antara kursi dan meja makan.
"Kamu sudah selesai, Sayang? Kok makannya sedikit sekali. Kamu juga 'kan habis dari rumah sakit, lebih baik makan yang banyak supaya kamu tidak sakit, Dree." Sekar memecah keheningan dengan tiba-tiba menegur Dreena.
Namun tidak ada respon jawaban apa pun dari putrinya itu. Dreena melenggang pergi begitu saja tanpa sedikit pun berkata iya atau hanya sekedar menganggukan kepalanya.
"Sudah, Ma biarkan saja. Mungkin Dree sudah kenyang," sambung Andres mencegah istrinya itu.
"Iya, Pa sepertinya kita harus mencari waktu yang tepat untuk berbicara kepadanya," ujar Sekar yang juga mengakhiri makan malamnya. Rasanya selera makannya mendadak hilang begitu saja.
Lalu apa yang akan Sekar dan suaminya rencanakan agar mereka dapat berbicara dengan baik-baik kepada Dreena?
***
Hai, Readers!
Semoga kalian suka dengan ceritaku ini. Aku tunggu krisan/review terbaik kalian ya.
Terima kasih & selamat membaca.
IG: @yenifri29 & @yukishiota29