"Apa kau sudah gila?!"
Anne mengangkat bahu acuh seraya memasukkan makanan ringan itu ke dalam mulutnya. Sedangkan seorang wanita yang merupakan sahabatnya itu menatap Anne seraya menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak habis pikir dengan Anne.
"Kau benar-benar sudah gila, An," ujar Naomi, masih tidak mengerti dengan rencana gila sahabatnya ini.
Anne berdecak. "Aku tidak gila. Aku hanya memenuhi syarat dari Daddy. Kau bayangkan saja jika semua warisan kekayaan Daddy menjadi milikku. Apa tidak menyenangkan?" kata Anne. Lagi-lagi Naomi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Maksud Uncle Berson bukan begitu Anne! Dia ingin kau segera menikah, dan memiliki keturunan dari pasangan sah mu! Bukan seperti rencana gila mu itu!" gemas Naomi.
Anne memutar bola mata malas. "Daddy tidak bilang jika aku harus menikah, Naomi. Daddy hanya memberiku syarat untuk memiliki seorang anak laki-laki. Tidak untuk menikah," jawab Anne. Memang benar, hanya cucu laki-laki yang diinginkan oleh ayahnya itu, bukan seorang menantu.
Naomi mengusap kasar wajahnya. "Terserah kau saja, An. Aku sudah tidak tahu harus berkata apalagi padamu," ujar Naomi putus asa.
Anne mengangkat bahu acuh. "Ya sudah, diamlah. Tapi kau harus membantuku untuk mendapatkan benih dari mereka."
Naomi membelalak mendengar ucapan Anne. "Dari mereka?" tanya Naomi.
"Ck, iya!"
"Ternyata selain gila, kau juga serakah!" cibir Naomi.
"Biarkan saja. Tetapi jika aku tidak bisa mendapatkan dua-duanya ... salah satunya saja tidak apa, yang penting aku harus mendapatkan benih mereka untuk tumbuh di rahimku ini," ujar Anne mengelus-elus perut ratanya. Naomi menatapnya seraya bergidik ngeri.
"Jadi, apa rencana pertamamu? Kau tentu tau bukan, jika Ethan dan Othniel sangat sulit untuk di dapatkan?"
Anne terdiam sejenak seraya berpikir. "Aku rasa tidak akan ada pria yang sanggup menolak kecantikanku. Apalagi tubuh seksiku ini."
Naomi memutar bola mata malas. "Gila, serakah, lalu sekarang sombong. Cih!" cibir Naomi. Anne terbahak melihat wajah kesal sahabatnya itu.
"Oke. Pertama-tama aku akan pergi ke club, di mana mereka biasa datangi," ujar Anne, menjabarkan rencananya kepada Naomi.
"Hem, terus apa yang kau lakukan di sana? Menari dengan tubuh telanjang?" tanya Naomi kesal. Anne menjentikkan jarinya ke udara.
"Ide bagus!" serunya. Naomi membelalak. Satu pukulan kecil mendarat mulus di paha putih Anne. Anne terbahak puas.
"Hahaha tidak, tidak. Aku hanya akan mencoba merayunya."
"Siapa? Ethan? Othniel?" tanya Naomi.
"Siapa saja di antara mereka berdua yang ada di sana," jawab Anne.
Naomi mengembuskan nafas kasar. Ia bergeser sedikit mendekat ke arah Anne. "Kau yakin, mengorbankan keperawanan yang kau jaga-jaga selama ini, demi rencana gilamu ini?" tanya Naomi, mengecilkan suaranya.
"Tentu saja aku yakin!" jawab Anne tanpa ragu.
"Lalu, apa kau yakin, mereka akan memberikan benih mereka untukmu?" tanya Naomi.
Anne terdiam, lalu menggeleng. "Aku tidak yakin, tapi ... aku akan mendapatkannya dengan cara apapun itu!" tekad Anne. Naomi menjatuhkan kepadanya di atas sofa sana. Jujur saja, ia sudah lelah mendengar rencana gila sahabatnya ini. Padahal, apa susahnya tinggal menikah, lalu memiliki anak? Setelah itu ia akan mendapatkan semua harta warisan Mckenzie. Akan tetapi, sahabat gilanya ini lebih memilih cara yang susah. Yaitu dengan mengincar dua pria yang tentunya sangat sulit digapai itu.
Ya, Anne sudah bertekad bulat untuk menjalankan rencananya. Menggoda dan merayu di antara kedua pria tampan itu, dan mendapatkan apa yang ia inginkan. Anne bahkan rela mengorbankan kehormatan yang dijaganya sejak lama demi kesempurnaan rencananya ini. Ah tidak, lebih tepatnya demi harta warisan keluarganya. Karena bukan apa-apa, jika Anne tidak memenuhi persyaratan itu, maka Berson akan memberikan semua harta warisannya ke orang lain, yang ntah siapa, Anne tidak tahu. Dan Anne tidak ingin itu terjadi. Yang benar saja, masa dia yang notabennya anak tunggal tidak mendapatkan harta warisan sepeserpun.
***
Mengenakan mini dress berwarna merah menyala dengan belahan dada yang terlihat menyembul keluar, Anne mengecek kembali inci wajahnya pada kaca spion yang berada di dalam mobilnya itu. Naomi yang berada di sampingnya, tepat di depan kemudi, bahkan sudah lelah melihat sahabatnya ini.
Naomi mengusap wajah frustasi. "Apa kau yakin, heh?" tanya Naomi.
"Tentu saja. Bahkan aku sudah sampai di sini," jawab Anne, seraya memperbaiki rambut sebahu yang sengaja digerainya.
Naomi meringis mendengarnya. "Ya sudah, terserah kau saja. Sana, keluarlah, aku ingin segera cepat pulang!" usir Naomi. Anne berdecak.
"Apa kau lupa kalo ini mobilku? Kau juga pulang ke apartemenku, bukan?" sindir Anne. Naomi memperlihatkan deretan gigi rapinya.
"Aku turun dulu, ingat, jangan coba-coba membawa seorang pria ke apartemenku!" tajam Anne. Naomi berdecak. Bahkan untuk dekat dengan pria saja Naomi tidak pernah. Ya, Naomi sama saja dengan Anne. Tidak pernah berpacaran atau semacamnya. Terlebih, di dalam agama yang di anut Naomi, berpacaran itu sesuatu yang haram. Ya, Naomi seorang muslim, sedangkan Anne kristen. Akan tetapi keduanya sudah bersahabat sejak masa sekolah hingga sekarang.
Anne turun dari mobilnya itu. "Tidak perlu menungguku pulang, karena aku akan menghabiskan malam yang menyenangkan dengan pria tampanku," ujar Anne. Naomi memutar bola mata malas.
"Semoga kau tidak berhasil," ujar Naomi bergumam, agar Anne tidak mendengarnya. Setelahnya melajukan mobil Anne membawanya pergi dari sana. Naomi memang tinggal bersama dengan Anne di apartemen wanita itu. Anne mengajaknya tinggal bersama karena Anne kerap kali merasa kesepian. Lagi pula, mereka tadinya satu kampus dan satu jurusan, sebelum Anne berhenti di tengah jalan untuk melancarkan rencana gilanya itu hanya karena demi harta warisan.
Anne berjalan memasuki salah satu club ternama di ibu kota itu. Tempat di mana para pria tampan melepas penat mereka. Tidak, tidak sembarang orang bisa masuk ke sini. Lebih tepatnya hanya mereka yang memiliki kekayaan di atas rata-rata dan mereka yang memiliki koneksi orang dalam saja yang bisa masuk. Ah, Anne bersyukur ia masih mempunyai sisa uang tabungannya untuk masuk ke sini. Mengingat jika setahun yang lalu, Anne sudah tidak mau lagi menerima uang pemberian dari Berson--ayahnya. Jujur saja, Anne menyesal telah menolaknya dulu. Akan tetapi, tidak apa. Tidak lama lagi, ia akan mendapatkan semuanya.
"Semangat! Aku harus mendapatkannya!" tekad Anne, melangkah memasuki club tersebut.
Ia disambut oleh suara dentuman musik yang terdengar cukup bising serta aroma minuman alkohol yang menyeruak memasuki indra penciumannya. Tidak hanya itu, ia juga disuguhi dengan banyaknya pria tampan yang duduk di sofa sana dengan masing-masing jalang di pangkuannya. Ah, ada yang berjoget tidak jelas, mabuk, bahkan berciuman di sana.
Anne mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, mencari-cari di mana keberadaan targetnya. Akan tetapi, ia belum melihat Ethan maupun Othniel. Anne akhirnya memilih untuk menuju bar di sana dan memesan segelas minum yang tertunya beralkohol. Ah ya, ini bukan pertama kalinya Anne datang ke club. Ia sering datang untuk sekedar bersenang-senang, dan tentunya ketika tidak bersama Naomi. Karena wanita itu tidak sudi menginjakkan kakinya di tempat seperti ini. Katanya sih, dosa.
"Thank's," ucap Anne kepada barista di sana ketika minuman pesanannya sampai. Anne menyesap minumannya seraya mencari-cari keberadaan pria-pria tampannya. Anne sesekali bergidik jijik ketika beberapa pria paruh baya mengedipkan mata kepadanya. Dasar, tua bangka sialan!
Anne melepas gelasnya begitu saja ketika tatapannya jatuh kepada pria yang baru saja memasuki club. Senyum miring pun terlukis di bibir Anne. Ia baru saja hendak turun dari kursi bar untuk mendekati Ethan, akan tetapi ia berdecak kesal ketika para wanita mengerubungi Ethan. Dan ternyata, Ethan juga sangat muda dirayu. Buktinya ia pergi dengan salah satu wanita itu menuju lantai atas, tempat di mana para jalang melayani pelanggannya.
"Sial!" gerutu Anne.
"Rupanya Ethan sangat mudah untuk didapatkan."