Ada banyak orang yang selalu mendefinisikan senja dalam sebuah bentuk suatu keindahan, hadirnya akan selalu dinanti-nanti dan didambakan, orang-orang turut menyambut kedatangannya seolah senja merupakan sesuatu yang wajib untuk mereka saksikan, tak jarang pula ada banyak orang yang kemudian akan mengabadikannya dalam sebuah potret yang nantinya akan disimpan dalam bentuk kenangan.
Hamparan indah dari corak jingga yang membentang luas hingga membentuk atap dari semesta. Tidak ada yang mampu menolak keindahan seperti itu.
Termasuk juga dengan Kalingga Cakra.
Cakra juga termasuk salah satu yang mengagumi senja dan senang menunggu kehadirannya di pergantian sore menuju malam. Namun, selama tujuh belas tahun hidupnya dia tidak pernah bisa mendefinisikan senja menurut versinya dengan benar. Di saat orang-orang telah punya banyak makna akan arti senja bagi mereka masing-masing, maka Cakra menjadi satu-satunya yang hanya turut menikmati keindahan tanpa tau harus memaknainya seperti apa.
Sebenarnya ada satu hal yang selalu teringat olehnya ketika secara tak sengaja sadar bahwa dirinya telah bertemu dengan senja. Padahal dulu Cakra selalu menyambut senja dengan kebahagiaan, sampai suatu hari seseorang menghancurkan kebahagiaan itu dan menggantikannya dalam sebuah bentuk kesedihan yang sulit untuk dilupakan.
Seperti saat ini, tidak ada lagi senyum yang terbit di bibir Cakra ketika dia sedang menyaksikan detik-detik matahari terbenam.
Cakra sekarang sedang duduk pada salah satu gazebo di pinggir pantai dan memperhatikan langit dalam diam, setelah kegiatan pendakian semua orang memang diberikan waktu istirahat yang cukup panjang bahkan malam ini juga mereka tidak diberikan kegiatan lain selain makan malam, semua peserta outbound dibebaskan melakukan segala hal karena kegiatan di hari ini sudah cukup banyak menghabiskan tenaga mereka semua.
"DOR!"
Cakra tidak terkejut sama sekali begitu dikagetkan oleh seseorang yang jujur saja kehadirannya malah sudah dia ketahui sejak lama.
"Kok lo nggak kaget sih, Bang. Enggak seru ah," protes seorang laki-laki yang langsung mengambil tempat duduk di sampingnya, itu adiknya, Zidan.
"Gimana mau kaget, orang lo juga ngagetinnya pelan banget. Lagian gue juga udah sadar sama kehadiran lo dari tadi."
"Ya, masa gue mau teriak di sini? Yang ada nanti gue malah dimarahin sama temen-temen lo dan bapak-bapak dari Angkatan Laut."
"Lagian lo juga ngapain coba ke sini?" Cakra berpaling pada adiknya itu.
Padahal saat ini Cakra duduk pada gazebo di belakang tenda perempuan dan seingatnya tenda untuk peserta laki-laki cukup jauh dari tempatnya berada sekarang, jadi mengapa Zidan bisa menemukan keberadaannya dan sampai menghampirinya kemari?
"Lo sendiri ngapain ngelamun sendirian di sini?" tanya Zidan balik.
"Enggak apa-apa, pingin aja."
Bohong.
Zidan tau bahwa Abangnya itu sedang berbohong saat ini. Karena beberapa menit lalu, ketika dirinya juga sedang duduk-duduk di gazebo dekat tendanya dia tidak sengaja melihat Cakra di sini namun tadinya Zidan berpikir bahwa itu bukan Cakra karena jarak mereka juga sedikit jauh dan Zidan tidak bisa memastikan. Namun, begitu dirinya sudah akan pergi ke mushola untuk shalat dia malah mendapati bahwa laki-laki yang tadi dilihatnya ternyata memang benar Abangnya.
Karena mushola sedang penuh dan Zidan harus menunggu sampai sedikit kosong, akhirnya dia menghampiri Cakra diam-diam. Pasti ada sesuatu yang sedang mengganggu isi kepala laki-laki itu saat ini, karena tidak mungkin Cakra akan menyendiri jika tidak ada yang sedang dia pikirkan.
Zidan tau sekali Abangnya ini seperti apa.
"Bang, gue tau ya lo lagi bohong."
"Jangan panggil gue abang di sini, Dan," kata Cakra mengingatkan atau lebih tepatnya dia sedang mengalihkan pembicaraan.
Zidan langsung mendengus kesal. "Yaelah, memangnya kenapa sih kalo mereka tau kalo gue adik lo? Aneh rasanya kalo gue panggil lo pakai sebutan 'kakak' kayak gue panggil kakak kelas yang lain, soalnya udah kebiasaan panggil lo pake sapaan 'abang'."
"Terserah lo aja deh." Sedetik setelah mengatakan itu, Cakra segera menatap Zidan dengan tatapan menyelidik. "Lo belum shalat, ya?"
Zidan nyengir lebar. "Tadi masih penuh banget makanya gue samperin lo ke sini, nanti gue shalat di kloter terakhir deh kalo udah sepi bareng lo, biasanya lo kloter terakhir, 'kan, ya?"
"Kloter terakhir cuma boleh buat panitia, sana lo ke mushola sekarang," usir Cakra.
Namun, Zidan justru tidak menanggapi usiran itu dan malah ikut memperhatikan hamparan langit di depannya.
"Bang, lo lagi galau, ya?"
"Enggak."
"Alah, bohong banget."
Cakra menggeram, mulai kesal dengan kehadiran adiknya yang menyebalkan. "Lo tuh sebenernya mau apa, Zidan? Kalo mau gangguin gue doang mending lo pergi aja sekarang." Cakra segera mendorong tubuh Zidan agar laki-laki itu segera berdiri.
Zidan segera bangkit dari duduknya seraya tertawa kecil. Tujuan utamanya datang kemari selain untuk mengecek Cakra sebenarnya memang untuk meledeki laki-laki itu, karena tampaknya dia sudah cukup berhasil membuat Abangnya itu kesal akhirnya mari sudahi candaan ini sampai di sini.
Namun sebelum benar-benar pergi Zidan mendekatkan kepalanya ke arah telinga Cakra dan membisikkan sesuatu yang membuat Cakra langsung terdiam. Zidan sendiri langsung pamit meninggalkan Cakra dengan cengiran di bibirnya.
"Sebenernya dari tadi Arsha ngeliatin lo dari tenda belakang."
Cakra memang sadar kalau tenda di belakangnya ini memang tenda milik kelompok Tulip, namun dia tidak tau bahwa sedari tadi Arsha ada di sana dan memperhatikannya, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Cakra tidak mau langsung percaya begitu saja dengan ucapan adiknya.
Karena bisa saja Zidan hanya mengatakan omong kosong untuk mengerjainya lagi bukan?
*
Niat pertama Arsha mendatangi tenda bagian ujung sebenarnya hanya karena dia ingin melihat pemandangan laut tanpa harus keluar dari tenda, sebab dia terlalu malas untuk beranjak lebih jauh. Tadinya Arsha hanya ingin melihat penampakan matahari terbenam yang katanya akan terlihat indah jika kita melihatnya dari pinggir pantai. Arsha ingin melihat bagaimana perpaduan dari warna jingga yang terpantul pada permukaan air.
Tadinya niat Arsha memang hanya sebatas itu, sebelum akhirnya dia melihat perawakan seorang laki-laki yang dia kenali, hanya tampak belakang tapi sudah cukup membuat Arsha yakin bahwa laki-laki itu adalah Cakra, kakak kelasnya.
Arsha memandangi sosok Cakra dalam diam, memperhatikan apa yang sedang laki-laki itu lakukan, namun pada akhirnya Arsha hanya melihat Cakra yang diam sambil memandangi pemandangan di hadapannya. Dia sendirian, tanpa teman.
Lalu secara tiba-tiba ada sebagian dari diri Arsha yang tergerak ingin menghampiri laki-laki itu.
"Akarsha kan ya? Lo lagi ngapain diem di situ?"
Arsha mendongak dan menemukan sosok Zidan yang sedikit menunduk untuk melihatnya, karena kaget Arsha langsung memundurkan wajahnya begitu saja dan berusaha menormalkan detak jantungnya dahulu karena kehadiran Zidan yang terlalu tiba-tiba.
"Sorry, sorry, gue ngagetin lo ya?" Zidan tertawa karena reaksi Arsha.
"Iyalah ngagetin! Lo datengnya tiba-tiba banget!"
Untung saja anak-anak kelompoknya tidak terlalu mau tau dengan urusan orang lain, jadi apa yang sedang terjadi antara Arsha dan Zidan saat ini hanya dilirik saja oleh mereka dan tidak akan terjadi gosip-gosip lain yang bertebaran.
"Maaf ya, yaudah kalo gitu gua lanjut jalan deh." Zidan meminta maaf dan segera pergi menjauhi Arsha.
Arsha sempat bingung ketika melihat Zidan mengambil tempat duduk di sebelah Cakra, tapi dalam diamnya Arsha tiba-tiba saja berharap semoga tadi Zidan memang secara tak sengaja melihatnya dan dia tidak menyadari bahwa sedari tadi Arsha memperhatikan Cakra, dan yang lebih penting semoga saja laki-laki itu tidak memberitahu Cakra tentang Arsha yang ada di belakangnya.
Tapi sayangnya itu hanya sebuah harapan semata, karena nyatanya Cakra sudah tau bahwa Arsha memang memperhatikannya.