Chereads / AKARSHA / Chapter 25 - 25. Ajakan Pulang Bareng

Chapter 25 - 25. Ajakan Pulang Bareng

Dalam sejarah hidupnya selama enam belas tahun, Arsha merasa tidak pernah melakukan sebuah kesalahan fatal yang berujung akan membuatnya malu setengah mati. Dirinya sangat berhati-hati dalam berbicara agar tidak menyakiti orang lain atau pun agar tidak membuatnya malu karena jawabannya akan dianggap terlalu berlebihan. Karena sejak kecil Arsha memang selalu diajarkan untuk berpikir dulu sebelum berbicara, karena mulut bisa membunuh kapan saja jika memang kita tidak bisa mempergunakannya dengan baik. Setidaknya hal itu lah yang sudah Arsha terapkan dalam hidupnya selama enam belas tahun ini.

Tapi, hari ini semuanya telah berubah.

Dengan bodohnya Arsha mengatakan suatu hal tanpa penyaringan lebih dulu, bibirnya hanya refleks berkata dengan mengikuti apa yang tengah dikatakan oleh hatinya saat ini. Namun, apa yang tidak gadis itu sadari adalah dampak dari perkataannya barusan mampu membuat banyak kesalahpahaman jika saja ada banyak orang yang mendengar perkataan tersebut. Tetapi, untung saja di tempatnya berpijak saat ini hanya ada dirinya dan juga Cakra seorang, walaupun Arsha sendiri tengah merutuki dirinya sendiri karena merasa malu akan jawabannya barusan.

Tapi nyatanya apa yang Arsha katakan juga memberi efek pada Cakra yang saat ini tengah mengulum senyum tanpa bisa dicegah. Menurut Cakra, Arsha itu terlalu lucu sehingga membuatnya jadi merasa gemas dengan gadis itu. Arsha sendiri sekarang hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam, dia sedang memikirkan cara paling tepat untuk bisa segera pergi dari hadapan Cakra dan menghilang dari suasana aneh ini.

"Jadi ceritanya lo tuh kegerahan karena tindakan gue, maka dari itu lo jadi keringetan?"

Arsha diam, dia tidak mau dan tidak tau harus menjawab apa.

Tapi sepertinya Cakra senang mengganggu gadis itu hingga bibirnya tidak bisa diam. "Apa lo mau gue kipasin, biar nggak kegerahan lagi?"

Kakak kelasnya yang satu ini memang sialan sekali.

Arsha benar-benar tidak bisa menjawab sehingga yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menunduk sedalam mungkin dan mencoba untuk tidak menatap wajah Cakra. Sedangkan Cakra yang melihat itu hanya bisa tertawa saja. "Enggak, enggak, gue cuma bercanda kok," katanya setelah merasa bahwa Arsha mulai tak nyaman.

"Kalo gitu ... saya balik ke kelas, ya, Kak."

"Lo ngomong sama siapa sih, Sha? Sama tanah?"

Arsha segera mengangkat kembali wajahnya dengan ekspresi memelas yang sangat kentara, senyum jenaka muncul di wajah Cakra dan entah mengapa justru terlihat menyebalkan di mata Arsha. Laki-laki itu sepertinya memang sengaja ingin menggodanya dan membuatnya malu seperti ini.

"Kak ... saya mau ke kelas," cicit Arsha dengan suara pelan, bahkan dia sudah tidak berani untuk menatap Cakra tepat di matanya secara langsung seperti tadi.

Cakra melirik jam tangannya, sebenarnya satu menit lagi bel masuk akan berbunyi dan Arsha memang harus segera kembali ke ruangannya jika dia tidak ingin dihukum, tapi masalahnya Cakra masih ingin berlama-lama dengan gadis ini.

Cakra akui bahwa adik kelasnya ini memiliki pesonanya sendiri. Jika ditanya Arsha itu cantik atau tidak, maka Cakra akan menjawab iya, karena nyatanya Arsha memang benar-benar cantik apalagi gadis itu memiliki tinggi standar untuk gadis pada umumnya. Arsha itu seperti punya magnet tersendiri yang mampu menarik orang-orang jadi ingin mendekat padanya. Pesonanya sulit untuk ditolak, siapapun yang melihat gadis itu pasti tidak akan merasa rugi untuk menoleh dua kali, sebab Arsha memang semenarik itu.

Cakra jadi tak heran mengapa Zakiel— salah satu adik kelasnya, juga menaruh rasa pada gadis ini, bahkan tanpa perlu menebak pun Cakra juga yakin bahwa masih ada beberapa orang lagi yang menaruh rasa suka padanya.

Tapi sayangnya Cakra tidak menemukan clue bahwa Arsha memiliki ketertarikan dengan seseorang atau tidak, karena gadis itu terkesan hanya ingin mengikuti arus hidupnya saja dan menikmatinya tanpa perlu memikirkannya lebih jauh.

Apakah Cakra juga menaruh rasa pada Arsha?

Jawabannya adalah belum tau. Cakra masih belum bisa memastikan perasaannya terhadap gadis ini, dia akui dia juga tertarik jika hanya melihat parasnya saja, namun jika ingin pembahasan lebih lanjut mengenai isi hatinya maka Cakra tidak bisa menjawab.

"Kak, saya udah boleh pergi belum?"

Cakra tersadar dari lamunannya, tak sadar bahwa dia sudah mendiami Arsha cukup lama sampai-sampai gadis itu bicara lagi. "Iya udah kalo gitu ...,"

Arsha menatap Cakra bingung. "Kenapa, Kak?" tanyanya karena merasa bahwa kalimat laki-laki itu masih menggantung.

"Hari ini, pulangnya gue yang antar, ya?"

Apa kata Kak Cakra barusan?

Dia mengajak Arsha untuk pulang bersama?

Arsha tidak salah dengar 'kan?

Arsha tiba-tiba tertawa. "Kak, kakak tuh kenapa sih sukanya bikin kaget aja, suka tiba-tiba banget kalo mau ngelakuin sesuatu atau kalo mau tanya sesuatu, saya kan jadi kaget," ujar Arsha masih dengan tawanya.

"Tapi gue beneran ngajak lo pulang bareng."

"Eh, serius?" Arsha mengerjap. "Saya kira Kak Cakra cuma bercanda."

"Gue lebih suka seriusin orang sih, daripada bercanda gitu."

"Kak, tapi—"

Cakra tersenyum lagi, lanjut memotong kalimat Arsha dengan sebuah tanya, "Pulang bareng gue, ya, Sha?"

Bel masuk berbunyi. Cakra mendorong bahu gadis itu pelan. "Udah sana balik ke kelas, nanti sore gue tunggu di dekat kelas lo."

Arsha tidak bisa melakukan apapun lagi selain menjauh dan segera pergi menuju kelasnya.

"Jadi, bener kata Banu waktu itu?" Sayi muncul dari dalam sanggar seraya menatap Arsha yang kian menjauh, Cakra berbalik untuk melihat gadis itu. "Kamu beneran suka sama Arsha, Kra?"

"Bukan urusan lo, mau gue suka sama siapapun juga," jawab Cakra dingin.

Wajah Sayi memias mendengar nada suara Cakra padanya. Berbeda sekali dengan Cakra yang sedari tadi bicara dengan Arsha dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, sekarang kepada Sayi yang ada hanya wajah datar dan juga suara sedingin es. Padahal dulu Cakra akan selalu berbicara dengan hangat kepada Sayi, tapi tidak ada lagi Cakra yang dulu, semua sudah berubah setelah apa yang pernah terjadi dengan keduanya.

"Cakra, aku minta maaf," ujar Sayi lirih.

Cakra melangkah maju, memangkas cepat jaraknya dengan gadis itu. "Minggir, gue mau masuk ke dalem."

Sayi tercekat. "Cakra—"

"Minggir, Sayi. Gue tau lo dengar gue ngomong apa."

Dengan berat hati Sayi pun menggeser tubuhnya untuk membuat jalan agar Cakra bisa masuk kembali ke dalam sanggar tanpa mengatakan apapun padanya. Sejujurnya Cakra memang tau bahwa ada Sayi di dalam sanggar karena mereka berdua memang ada di sana bersama dengan beberapa panitia outbound yang lain bahkan sebelum Bian dan Arsha datang. Cakra sendiri sebenarnya sengaja melakukan hal tadi kepada Arsha termasuk dalam mengajaknya pulang bersama.

Karena sebenarnya Cakra sengaja melakukan itu agar Sayi melihat dan mendengar interaksinya bersama dengan Arsha.

*

Selama perjalanan kembali ke ruang kelas Arsha masih saja kepikiran tentang ajakan pulang bersama yang Cakra bilang kepadanya tadi. Beneran nggak sih? Jangan-jangan Kak Cakra cuma bohongan karena mau ngerjain Arsha aja, begitulah kira-kira isi kepala gadis itu saat ini. Tapi jika harus dipikir ulang sepertinya Cakra tidak punya niat bercanda sedikitpun karena dia terdengar tulus ketika mengajak Arsha tadi.

Sekarang Arsha jadi bingung sendiri.

Arsha menghentikan langkahnya dan melihat Akas tengah berdiri di depan pintu sembari menatapnya, Arsha menghela napas kenapa akhir-akhir ini dia jadi banyak melamun sampai tak sadar kalau sudah sampai di tempat tujuan. Dengan langkah ragu Arsha menghampiri laki-laki itu, sudah bersiap mengucapkan izin masuk sebelum pertanyaan Akas lebih dulu terdengar.

"Dari mana kamu, Arsha?"

"Tadi abis bantuin Kak Bian, Kak," jawabnya jujur.

"Bian?" Akas bertanya dengan alisnya yang terangkat satu, dia bingung.

Karena tak mau menimbulkan salah paham akhirnya Arsha buru-buru menjelaskan. "Tadi saya lihat Kak Bian bawa tumpukan kertas banyak banget, saya kenal Kak Bian karena dia panitia outbound dan kebetulan kemarin jadi pembimbing buat kelompok Tulip, terus saya lihat kertas yang dibawa Kak Bian pada berserakan jadi saya bantuin dia buat bawa sebagian ke ruang sanggar." Seraya menjelaskan, mata Arsha juga tak lepas memandangi wajah Akas yang entah mengapa kelihatan sangat berkeringat.

Wajahnya lebih terlihat merah seperti baru saja terbakar sinar matahari, ada banyak keringat di pelipisnya, bahkan Arsha juga baru menyadari bahwa baju laki-laki itu setengah basah, seperti habis berjemur di tengah lapangan?

Kedua mata Arsha membola begitu dirinya teringat sesuatu, melihat perubahan drastis dari raut wajah gadis di hadapannya tentu membuat Akas kaget bukan main. "K-kenapa sih?" tanya laki-laki itu tanpa sadar terdengar gugup, karena perubahan ekspresi Arsha terjadi ketika gadis itu tengah memperhatikan wajahnya secara intens hingga mampu membuat Akas salah tingkah.

"Kakak udah minum belum?" tanya Arsha tiba-tiba, jujur saja menurut Akas pertanyaannya aneh.

"Udah kok, lo kenapa keliatan panik banget gitu sih, dek?"

Akas mendorong wajah Arsha menjauh dengan telapak tangannya yang besar begitu gadis itu mendekat, kedekatan mereka membuat Akas sulit bernapas.

Sedangkan Arsha malah merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya lupa dengan tujuan utamanya tadi. Lagian kenapa juga Arsha bisa lupa sih?!

"Aduh, Kak Akas, maaf banget ya! Tadi tuh sebenernya Arsha nungguin Kakak selesai ngejalanin hukuman karena mau kasih minum, soalnya Arsha enggak enak banget karena Kakak udah mau gantiin Arsha buat jalanin hukuman yang Zakiel kasih. Tapi tadi pas liat Kak Bian Arsha refleks mau bantuin terus jadinya malah lupa, bahkan minum yang tadi udah Arsha beli juga lupa nih ditaruh di mana. Kak, maaf banget, ya! Serius Arsha jadi nggak enak banget." Tanpa sadar Arsha meraih tangan kiri Akas lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya, jangan bingung karena ini memang salah satu sifat gadis itu.

Setiap kali Arsha merasa bersalah, pasti akan ada kontak fisik yang terjadi ketika dia sedang meminta maaf ataupun menjelaskan rasa bersalahnya.

Arsha sendiri tidak mengerti, kenapa dia harus dilahirkan menjadi orang yang begitu perasa? Sehingga ketika dia merasa ada yang salah dengan tindakannya maka Arsha pasti akan langsung merasa sangat-sangat bersalah.

Tapi, sadarkah Arsha bahwa tindakannya barusan justru memberikan efek lain untuk Akas? Bagi Akas gadis di depannya ini benar-benar berbahaya. Padahal mereka kemarin bertemu secara tak sengaja, lalu dilanjutkan hari ini dimana Akas yang ternyata menjadi pembimbing kelasnya. Padahal mereka baru kenal, tapi entah mengapa Arsha sudah cukup mampu membuat Akas salah tingkah dan mati kutu jika didekati olehnya.

Akas berdeham untuk menghilangkan suasana yang tiba-tiba saja hening. Jujur saja, dia terlalu shock dengan genggaman yang Arsha berikan serta bagaimana cerewetnya gadis itu tadi ketika meminta maaf padanya.

Arsha juga yang baru menyadari bahwa sedari tadi dia menggenggam tangan Akas akhirnya buru-buru melepaskan, tak ada yang bisa dilakukan selain merutuki tindakannya di dalam hati, kenapa harus di saat seperti ini sih sifatnya muncul?! Arsha jadi ingat bahwa dulu ketika masih SMP ada juga beberapa laki-laki yang bawa perasaan kepadanya hanya karena kontak fisik yang tiba-tiba Arsha berikan kepada mereka ketika sedang meminta maaf.

Padahal sebenarnya Arsha tidak punya maksud apa-apa, selain karena tindakannya yang refleks bawaan dari sifatnya sedari kecil.

"Kak Akas mau minum lagi nggak? Kalo mau biar Arsha beliin lagi."

"Enggak kok, gue nggak butuh minum," jawab Akas. "Tapi gue punya permintaan."

Arsha mengangguk cepat. "Iya, apa, Kak?" balasnya kelewat cepat. Apapun itu asal Arsha bisa menebus rasa bersalahnya.

Akas kembali mengulum senyum, senang mendengar respon Arsha. "Hari ini, lo pulang bareng gue, nggak boleh nolak!" Lalu tanpa berpikir dua kali Arsha segera menggangguk untuk menyanggupi permintaan Akas barusan.

Sepertinya selain sifatnya yang begitu perasa, Arsha juga ternyata merupakan seorang gadis yang sangat mudah lupa.