Chereads / AKARSHA / Chapter 26 - 26. Awal Masalah

Chapter 26 - 26. Awal Masalah

Pelupa menjadi salah satu sifat yang tidak bisa dihindari oleh para manusia yang memang memiliki sifat tersebut. Terkadang karena sifat itu bisa membuat seseorang mengalami hal yang tidak mengenakkan, apalagi jika kita sendiri sering berbicara tanpa berpikir lebih dahulu. Banyak orang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh mengambil keputusan tanpa berpikir lebih dulu, karena keputusan yang diambil secara spontan akan memiliki dampak nantinya.

Dampak itu sekarang Arsha rasakan akibat sifat pelupa dan juga keteledorannya dalam menyanggupi permintaan Akas di siang hari tadi. Sekarang Arsha kebingungan ketika mendengar Cakra memanggil namanya dengan lantang dari ujung koridor di saat dirinya tengah berdiri dengan gemetar di depan pintu kelasnya bersama dengan Akas di sebelahnya.

Sumpah, Arsha benar-benar lupa, dia tidak ingat jika Cakra sudah lebih dulu mengajaknya pulang bersama sebelum pada akhirnya Akas juga melakukan hal yang serupa kepadanya.

Lalu sekarang Arsha jadi kebingungan dan tak tau harus melakukan apa.

Keadaan koridor lumayan ramai di saat suara lantang Kak Cakra terdengar memanggil nama Arsha hingga mampu menarik perhatian banyak siswa dan siswi yang memang saja baru akan pulang karena bel baru saja berbunyi. Ada sedikit kelegaan di hati Arsha mengingat bahwa sekarang masih musim MOS yang mana hanya ada anak-anak angkatannya saja dan tidak ada kakak kelas lain yang melihat kejadian ini.

Tapi tetap saja dan tidak bisa dipungkiri bahwa Arsha sangat ketakutan sekarang.

Ketika Cakra sudah sampai di hadapannya, entah mengapa Arsha merasa seperti ada mendung yang menyelimuti kedua kakak kelasnya itu, Cakra dan juga Akas, aura di sekitar mereka terasa gelap dan Arsha tidak suka itu. Kedua laki-laki itu saling tatap selama beberapa saat, Akas dengan tatapan matanya yang tajam dan Cakra dengan wajahnya yang dingin dan tanpa ekspresi.

Arsha tidak tau apa yang terjadi di antara mereka, namun sinyal di kepalanya menyampaikan alarm bahaya yang mengatakan bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah sebuah hal bagus.

"Ada perlu apa lo sampai repot-repot dateng ke sini? Lo 'kan udah nggak punya kepentingan lagi, masa outbound udah abis."

Suara Akas yang pertama kali terdengar, namun suaranya mampu membuat semua bulu-bulu halus di tangan Arsha berdiri sempurna ketika mendengarnya. Suara Kak Akas sangat berbeda dengan suaranya seharian ini, tidak ada kehangatan dalam nada suaranya, yang Arsha dengar justru begitu dingin yang mana akan mampu membuat orang-orang langsung segan terhadapnya.

Hal lain yang tidak Arsha duga adalah tindakan Cakra setelah itu, bukannya menjawab pertanyaan yang sudah Akas layangkan padanya, Cakra justru menoleh ke arah Arsha seolah menganggap bahwa Akas memang tidak ada di sana. "Gue ngajak lo buat pulang bareng kan?" tanya Cakra kepada gadis itu.

Jika boleh jujur Arsha rasanya hanya ingin menangis saja sekarang, sebab tatapan serta suara Cakra terdengar lebih dingin dari Akas hingga mampu membuat Arsha gemetar. Kalimat yang Cakra ucapkan berupa pertanyaan namun Arsha mendengarnya seperti sebuah pernyataan mutlak karena memang dia sudah lebih dulu mengajak Arsha untuk pulang bersama. Arsha tercekat, untuk mengucapkan satu kata saja rasanya sulit sekali, dia terlalu bingung dengan perang dingin yang sedang terjadi.

Kenapa mendadak jadi seperti ini sih?!

Mendengar pertanyaan Cakra tadi lantas membuat Akas langsung berpaling pada Arsha. Namun, tatapannya berubah melembut ketika bersitatap dengan gadis itu. "Bener, Sha?" tanyanya meminta kepastian.

Arsha mengangguk dengan susah payah. "Ma-maaf, Kak Akas ... tad-tadi Kak Cakra udah duluan ngajak aku pulang bareng, ta-tapi aku lupa ...," jawabnya terbata.

Arsha tau, bahkan sangat mengetahui bahwa ini semua salahnya. Dia yang terlalu cepat mengambil keputusan dan meng'iya'kan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu, Arsha sangat menyadari itu. Namun, dia juga tidak tau bahwa kejadiannya akan sampai seperti ini, Arsha bahkan bingung kenapa dua laki-laki di dekatnya saat ini harus terlihat bermusuhan seperti itu, terlihat seperti ada sebuah perang dingin diantara mereka yang belum selesai.

"Enggak apa-apa kok," ucap Akas lembut berusaha menenangkan Arsha yang panik, bahkan laki-laki itu sempat-sempatnya mengusak rambutnya sekilas seraya tersenyum manis, dan semua yang dilakukannya tidak luput dari pandangan Cakra. "Enggak apa-apa kalo kamu lupa," ulangnya lagi, kemudian dia beralih untuk menatap Cakra.

"Tapi gue nggak suka menunda janji, Sha. Karena tadi gue udah janji mau ngajakin lo pulang dan lo sendiri udah iya-in ajakan gue, berarti lo beneran harus pulang bareng gue." Kalimat Akas ditujukan untuk Arsha, namun matanya justru menyorot Cakra dengan senyum lebar yang tak lepas dari bibirnya. Namun senyumnya bukan sebuah senyum bentuk perdamaian, melainkan senyum yang menegaskan bahwa semua orang harus tau jika Akas tidak bisa dibantah oleh siapapun, termasuk Cakra.

Cakra tersenyum miring lalu mengambil langkah berani untuk berdiri di sebelah kanan Arsha. Sekarang posisi gadis itu di tengah-tengah, dengan keadaan di apit oleh keduanya— Cakra di sebelah kanan dan Akas di sebelah kirinya.

Gadis itu berdiri dengan gemetar, bahkan dia sampai menggigit bibir bawahnya karena merasa takut. Tolong ... siapapun tolong jauhkan Arsha dari keadaan saat ini.

"Kak ... udah," katanya lirih. "Saya pulang sendiri—"

"Enggak!"

"Enggak!"

Arsha menutup kedua matanya, jarak mereka bertiga yang terlampau dekat membuatnya bisa mendengar dengan jelas suara dua laki-laki itu. Arsha takut, sungguh, bisakah mereka berdua berhenti mengurungnya seperti ini? Arsha ingin pulang sekarang.

Pelupuk matanya juga sudah dipenuhi oleh air mata yang siap tumpah kapan saja, sebab kedua laki-laki di dekatnya ini sudah membuatnya takut setengah mati. Apalagi ketika dirinya menyadari bahwa kerumunan di sekitarnya menjadi semakin ramai dengan seluruh pasang mata yang menyorot ke arah mereka bertiga, Arsha merasa takut sekaligus malu karena tanpa sadar dirinya sudah menyebabkan sebuah masalah dan sekarang dia tidak sanggup untuk memikirkan bagaimana tanggapan teman-teman seangkatannya tentangnya nanti.

Bagaimana jika setelah ini Arsha jadi dibenci oleh banyak orang?

Sebelum air matanya sempat mengalir turun, sebuah tangan sudah lebih dulu menggenggam tangannya dan menarik Arsha menjauh dari Cakra dan juga Akas. Arsha disembunyikan di belakang tubuh kokoh Bian, laki-laki itu sekarang sedang menatap kedua temannya dengan tatapan tak kalah tajam.

"Berhenti lo berdua," peringatnya dengan tegas.

"BUBAR!" Bian berteriak, membuat seluruh kerumunan menjadi terpecah belah dan memilih untuk menjauh daripada melihat calon ketua OSIS mereka mengamuk, walaupun masih ada beberapa dari mereka yang mengintip dan menguping dari jauh karena terlalu penasaran dengan apa yang sebenarnya tejadi.

Bian bisa merasakan tangan Arsha yang gemetar dalam genggamannya, membuatnya lantas menghela napas dan menurunkan tangannya yang tadi menggenggam lengan gadis itu jadi beralih menggenggam tangannya secara langsung.

"Balik lo berdua, jangan buat masalah," ujar Bian kepada dua laki-laki di hadapannya. Namun, baik Cakra maupun Akas masih bergeming di tempatnya, saling tatap tanpa mau mengindahkan perintah Bian barusan. "Kalo lo berdua mau berantem, mending kita ke lapangan sekarang dan lo berdua berantem aja sama gue."

Untungnya kalimat Bian berhasil membuat keduanya tersadar. Cakra akhirnya mulai berjalan menjauh tanpa mengatakan apapun, dia sempat menabrak bahu Akas dengan keras sedangkan Akas hanya bisa diam ditempatnya berdiri saat ini sembari menatap lantai.

Bian menarik Arsha untuk menjauh dari laki-laki itu, kemudian menatapnya dengan tatapan tenang. "Kamu mau pulang sama saya atau mau minta jemput aja sama orang tua kamu?" tanya Bian hati-hati, seolah tau jika Arsha dibentak sekali saja maka gadis itu pasti akan langsung menangis.

"A-aku minta jemput aja, Kak," jawab Arsha lirih.

Bian mengangguk singkat, lalu tiba-tiba saja kedua tangan Arsha yang bergetar memegang lengannya dengan erat. "K-kak ... tapi tolong temenin aku ke depan." Gadis itu meminta tolong dengan suara bergetar, bahkan netranya juga lebih memilih untuk menatap lantai daripada menatap Bian yang sekarang sedang berdiri di depannya.

Arsha masih sangat takut sekarang.

Padahal Bian juga memang sudah berniat untuk menemani gadis itu menunggu sampai Ayahnya datang menjemput karena tidak mungkin Bian meninggalkan Arsha dalam keadaan seperti ini, apalagi teman-teman gadis itu sudah pulang semua. Untungnya Arsha sendiri memang meminta untuk ditemani, jadi Bian merasa bahwa tindakannya tepat dan tidak perlu menunggu lama lagi untuk Bian melepaskan genggaman tangan Arsha pada lengannya dan ganti menggenggam gadis itu sebagai jawaban.

"Yaudah, kalo gitu ayo saya temenin nungguin orang tua kamu di depan," kata Bian lembut sembari menarik pelan tangan Arsha untuk ikut pergi bersamanya.