Arsha bergerak gelisah di tempatnya berdiri saat ini, gadis itu memegang sebuah minuman dingin di tangannya, secara sadar terus mengecek jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya dengan wajah yang sedikit cemas.
Satu menit lagi, hukuman itu akan selesai.
Arsha dihantui perasaan bersalah, sebab Akas sudah menawarkan diri untuk menggantikan posisinya menjalani hukuman bersama dengan Zakiel. Padahal kalau dipikir-pikir untuk apa Akas sampai harus repot-repot melakukan hal itu, Arsha sendiri tidak habis pikir kenapa kakak kelasnya itu bisa mau menggantikannya. Jadi, karena sedari tadi Arsha merasa tak enak akhirnya dia berniat menunggu Akas menyelesaikan hukumannya dan akan memberikan minuman yang sudah dia beli kepada pembimbing MOS-nya tersebut.
Walaupun sebenarnya Tara yang menyuruhnya untuk berterima kasih, jadi di sinilah Arsha sekarang, berdiri di depan ruang kelasnya selagi menunggu Akas kembali dari lapangan upacara. Arsha tidak mungkin menghampiri mereka langsung ke lapangan karena yang ada malah akan menimbulkan lebih banyak gosip bertebaran nantinya.
Selang beberapa menit sebelum hukuman itu selesai, Arsha malah menemukan sosok Bian yang tengah berjalan di pinggir lapangan basket atau bisa di bilang tepat di depannya karena kelas Arsha memang berhadapan langsung dengan lapangan basket. Tanpa alasan netra Arsha ikut bergerak seiring dengan langkah yang Bian ambil, laki-laki itu berjalan dengan penuh kehati-hatian karena ada banyak tumpukan kertas di tangannya saat ini.
"Eh, Kak!" Arsha segera berlari menghampiri Bian, sebab tumpukan kertas yang laki-laki itu bawa baru saja jatuh berserakan akibat Bian yang tersandung sebuah batu.
Bian langsung menoleh karena menyadari ada tangan lain yang ikut membantu membereskan kertas-kertasnya. "Hai, Sha," sapa Bian sambil tersenyum begitu tau bahwa Arsha yang membantunya.
"Kok nggak hati-hati sih, Kak," ujar Arsha.
"Saya nggak lihat tadi ada batu, lagian saya juga buru-buru soalnya ini udah ditungguin sama Pak Amir," jelas Bian seadanya.
"Pak Amir siapa Kak?"
"Penanggung Jawab organisasi OSIS, dek."
Arsha mengangguk paham, kedua tangannya masih sibuk mengumpulkan kertas-kertas itu. "Kok Kakak ke sekolah? Soalnya kata temen Arsha, panitia outbound tuh nggak bisa jadi panitia MOS lagi, iya, 'kan?"
"Oh ...," Bian berdiri dengan setengah kertas di tangannya. "Iya, memang panitia outbound enggak boleh lagi jadi panitia MOS. Tapi di sini saya harus mantau karena saya 'kan salah satu ketua pelaksananya juga. Lagian bukan cuma saya aja kok yang datang ke sekolah, tapi semua panitia outbound kemarin juga pada datang, cuma kami memang enggak boleh ikut campur dalam MOS." Bian hendak ingin mengambil alih kertas yang masih berada di tangan Arsha, namun gadis itu dengan cepat menghindar.
"Arsha aja yang bawa, nggak apa-apa 'kan dibantuin?"
Bian langsung mengangguk sambil tersenyum.
"Kak, kali memang kakak enggak ikut campur dalam MOS, terus tujuan kakak ke sekolah apa dong?" tanya Arsha lagi, entahlah gadis ini memang beneran penasaran atau sebenarnya punya tujuan lain.
"Mantau aja sih, palingan rapat juga sama Pak Amir soalnya beliau suka dadakan banget jadi saya harus stand by terus di sekolah walaupun enggak ada kegiatan juga. Kalo nggak ada kegiatan palingan cuma duduk-duduk aja di sangar bareng sama anak OSIS yang lain," jawab Bian.
Arsha mengerutkan keningnya, secara tiba-tiba teringat sesuatu. "Kakak kelas yang lain?"
Bian mengulum senyum, tanpa sadar pula menangkap sinyal yang bahkan tidak Arsha utarakan sama sekali. "Iya, kakak kelas yang lain, kayak Cakra misalnya," jawaban yang Bian berikan sontak membuat Arsha langsung menoleh ke arahnya.
Lagian kenapa juga kakak kelasnya satu ini malah bawa-bawa Cakra ke obrolan mereka?!
"Bian, lo ini bukannya cepetan, malah gangguin adik kelas aja."
Wah, panjang umur.
Seseorang yang baru saja mereka bicarakan akhirnya muncul juga.
Bian dan Arsha segera menoleh ke sumber suara, bahkan keduanya tidak sadar bahwa mereka sudah dekat dengan sanggar sangking sibuknya berbicara. Lalu sekarang ada laki-laki yang sempat menjadi topik pembicaraan mereka, tengah berdiri di depan pintu sanggar selagi memperhatikan keduanya.
"Eh, hai dek." Cakra tersenyum begitu iris matanya bersitatap dengan Arsha.
"Ambil kertas yang ada di Arsha tuh, gue mau taruh ini dulu di dalam," titah Bian kepada Cakra. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih kepada Arsha sebelum akhirnya masuk ke dalam sanggar.
Cakra sendiri segera mengambil alih kertas yang sedari tadi Arsha bawa. "Makasih, ya, udah dibantuin Biannya," kata Cakra masih dengan senyumnya.
"Eh, iya, sama-sama Kak. Saya juga nggak tega tadi liat Kak Bian bawa kertasnya kesusahan sampe berserakan tadi di lapangan." Arsha mengusap tengkuknya dengan refleks. "Kalo gitu, Arsha balik ke ruangan, ya, Kak."
"Tunggu bentar!" Cakra menahan lengan gadis itu dengan cepat.
"Kenapa, Kak?"
"Bentar, bentar, gue mau taruh ini dulu di dalam." Cakra masuk ke dalam sanggar, menyuruh Arsha untuk menunggu beberapa saat.
Ketika Cakra sudah menghilang dari pandangannya, Arsha langsung menghela napas lega. Karena jujur saja, walaupun gadis itu juga tidak tau apa alasannya namun sedari tadi Arsha menahan napas ketika berhadapan dengan Cakra. Di sisi lain dia juga merasa lega karena sudah melihat Cakra karena sejak tadi Arsha tidak berhasil menemukannya di mana pun.
Ternyata laki-laki itu datang ke sekolah.
Mungkin tadi ketika Arsha mencarinya dia ada di dalam sanggar sehingga Arsha tidak bisa melihatnya, namun satu yang pasti, Arsha senang karena sudah bisa melihat Cakra.
Tak lama kemudian Cakra muncul lagi di hadapannya, namun kali ini membawa beberapa lembar tisu yang sukses membuat Arsha mengernyit bingung. "Gue mau bilang makasih karena lo udah kasih gue bantal waktu itu. Di bis."
Arsha tersentak, jadi Cakra tau kalau bantal itu miliknya?
"Tadinya gue nggak tau kalo bantal itu punya lo, tapi waktu bangun Bian yang kasih tau kalo katanya lo kasian ngeliat gue yang tidur dalam posisi kayak gitu, Bian juga cerita kalo lo yang taruh bantal itu di leher gue."
Kak Cakra ini sebenarnya bisa membaca pikiran orang lain ya?
"Pokoknya makasih banyak, ya," ujar Cakra tulus.
Walaupun saat ini jantung Arsha tengah bermasalah dengan detaknya yang menggila, tapi untungnya dia masih bisa menjawab dengan tenang. "Iya, sama-sama, Kak Cakra."
Tanpa diduga dan tanpa aba-aba, Cakra mendekat ke arah Arsha, kemudian tangannya terulur untuk menghapus keringat yang ada di pelipis gadis itu dengan tisu yang tadi dia bawa. Gerakannya sontak membuat Arsha bergeming dengan kondisi hati yang hancur berantakan, sebab ulah Cakra yang terlalu tiba-tiba.
Sedangkan si pihak pembuat masalah justru hanya tertawa di tempatnya setelah melakukan adegan kecil tersebut, tawanya terdengar manis dengan gingsul yang mengintip di sela-sela tawa laki-laki itu.
"Lo sampe keringetan gini gara-gara bantuin Bian."
"Kayaknya bukan karena bantuin Kak Bian deh Kak, tapi karena tindakan Kakak barusan yang justru ngebuat aku makin keringetan."
Dan tentu saya, kayaknya juga setelah ini Arsha bakalan mengubur dirinya dalam-dalam di salah satu rawa karena mulutnya telah berbicara tanpa saringan sebelumnya.
Hari ini benar-benar ya, Arsha sepertinya akan selalu hidup tanpa hari ketenanangan. Apalagi jika setiap hari-nya ada manusia-manusia semacam Cakra di dekatnya. Benar-benar tidak baik untuk kondisi jantung Arsha.