Chereads / AKARSHA / Chapter 18 - 18. Akhir Dari Pendakian

Chapter 18 - 18. Akhir Dari Pendakian

Setelah berhasil melewati berbagai halang rintang selama pendakian sejak pos satu, akhirnya para kelompok peserta outbound satu-persatu sudah mulai terlihat mengantri di pos terakhir, yaitu pos empat. Senior penjaga di pos empat ada tiga orang; Sayi, Bian dan Cakra.

Karena adanya dua laki-laki itu di sana, pada akhirnya Arsha malah takut sendiri untuk masuk ke pos tersebut.

"Tir, gue mau pura-pura pingsan aja deh biar bisa langsung digotong buat balik ke tenda."

Arsha sedari tadi merengek di tempat pemberhentian terakhir kelompoknya, mereka sedang menunggu giliran untuk masuk ke pos empat karena masih ada beberapa kelompok yang sedang diinterogasi di sana. Rasanya Arsha terlalu malu untuk bertemu Bian dan Cakra setelah kejadian di pos sebelumnya, rasa malunya belum juga hilang— bahkan Arsha sendiri bingung bagaimana cara untuk menghilangkannya.

"Kalo lo mau pingsan di sini, yang ada lo bukan digotong buat balik ke tenda, tapi ditinggalin," jawab Tirani serius. "Siapa coba yang mau ngangkat lo dari sini buat turun ke bawah? Bahkan Zakiel yang beneran naksir lo aja, gue raguin buat mau lakuin hal itu." Arsha langsung tersenyum getir mendengarnya, Tirani itu kalo ngasih tau sesuatu beneran tepat banget di dada hingga membuat lawan bicaranya tidak bisa lagi menyanggahnya dengan kalimat lain.

Tapi ya benar juga sih, siapa coba yang mau mengangkatnya untuk turun ke bawah? Bisa-bisa Arsha ditinggalin beneran kalo nekat mau pingsan di sini.

Dari sudut matanya, Arsha bisa melihat bahwa kelompok Nemo baru saja pergi meninggalkan pos empat yang mana berarti mereka sudah selesai berurusan dengan tiga seniornya di sana dan akan melanjutkan perjalanan menuju Flying Fox untuk kemudian turun ke bawah dengan bantuan para Angkatan Laut. Tapi karena kelompok Nemo sudah selesai, berarti saat ini adalah giliran Tulip untuk maju.

"Kelompok selanjutnya!"

Suara Kak Sayi sudah terdengar memanggil, dengan berat hati Arsha dan juga anggota kelompoknya mulai bergerak mendekati mereka. Mereka segera berbaris dan melakukan hitung serta memperkenalkan diri sama seperti apa yang sudah mereka lakukan pada pos-pos sebelumnya.

"Eh, ada Akarsha!" seru Sayi gembira yang dibalas senyum tipis oleh adik kelasnya itu.

Padahal ada banyak orang di kelompok ini, tapi kenapa harus Arsha sih yang selalu disoroti? Jujur saja, Arsha tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian apalagi jika perhatian itu ditujukan bukan karena prestasinya.

"Selamat karena sudah berhasil sampai di pos empat," kali ini Bian yang buka suara. "Karena sudah sampai di sini dengan anggota lengkap berarti kalian sudah bisa dikatakan berhasil menyelesaikan kegiatan outbound ini. Secara nggak langsung juga berarti kalian semua sudah resmi menjadi bagian dari Bakti Nugia. Saya sendiri sebagai kakak pembimbing kalian merasa bangga loh, selamat ya."

"Makasih Kak Bian!" ujar seluruh anggota tulip secara bersamaan.

"Paling bangga sama siapa, Bi?" tanya Sayi tiba-tiba. "Ketua kelompoknya, ya?"

Arsha meringis ketika namanya kembali diikutsertakan dalam obrolan mereka, dia sendiri tidak tau harus melakukan apa selain menunduk dan diam seribu bahasa. Sayi itu ... padahal awalnya Arsha menaruh respect yang baik terhadap kakak kelas perempuannya yang satu itu karena dia memiliki sifat yang ramah dan juga baik, tapi semakin ke sini Sayi jadi terlalu sering entah dengan siapa pun itu— waktu jurit malam Zakiel, lalu sekarang Kak Bian. Arsha tiba-tiba jadi bingung harus bagaimana menanggapi gadis yang lebih tua darinya itu.

"Ini kapan mau selesainya? Itu kelompok lain udah pada nungguin lama," Cakra tiba-tiba saja bersuara, walaupun pertanyaannya terkesan biasa saja tapi siapa pun pasti mengerti bahwa laki-laki itu ingin mengingatkan Sayi bahwa mereka sudah keluar dari hal utama yang memang harus dikerjakan.

"Cakra, Cakra, suara lo dingin banget deh, liat tuh muka kelompok Tulip jadi pada ketakutan semua."

Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara, ada Kak Banu yang sedang berjalan menghampiri meja panitia. Kak Banu ini adalah salah satu panitia yang tadi Arsha lihat bertugas bolak-balik untuk mengecek para kelompok.

Cakra tertawa mendengar itu. "Gue cuma ngingetin aja sih biar nggak kelamaan ngobrol," katanya sembari memukul Banu pelan ketika temannya itu sudah berada dekat dengannya.

"Beneran cuma ngingetin atau karena hal lain?" pancing Banu yang langsung mendapatkan lirikan tajam dari Cakra.

"Hal lain apa tuh?" Sayi ikut nimbrung.

"Cemburu misalnya?"

"Banu, mending lo diem," ujar Cakra serius.

Tapi sayangnya satu orang lainnya tidak mau diam. "Cemburu gimana maksudnya, Nu?" Sayi yang bertanya.

"Cemburu lah, orang lo ngejodohin Bian sama orang yang—aw! Jangan cubit-cubit gue anjrit!" Banu mengusap lengannya yang baru saja menjadi korban cubitan dari Cakra.

Arsha dan anggota kelompoknya semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini akan berakhir, kelompok Tulip sedari tadi hanya diam dan memperhatikan drama yang tiba-tiba saja terjadi di depan mereka.

"Udah, udah, kok malah jadi kayak gini sih pembahasannya?" Bian cepat-cepat melerai teman-temannya. Dia sendiri juga bingung kenapa malah jadi seperti ini.

Namun, seakan tak mengindahkan kalimat Bian barusan, Sayi malah kembali bertanya, "Cakra yang cemburu?" tanyanya kepada Banu, bermaksud meminta penjelasan lebih.

"Kenapa? Lo ikutan cemburu juga?"

Arsha semakin bingung karena bukannya Kak Banu yang membalas pertanyaan Kak Sayi tadi, justru malah Kak Cakra yang berbicara. Apalagi ketika pertanyaan itu ditanyakan dengan nada yang bahkan tidak bisa Arsha jelaskan dengan kata-kata, yang pasti suara Kak Cakra tadi terdengar amat sangat serius hingga berhasil membuat Kak Sayi bungkam pada saat itu juga.

Di tengah-tengah keheningan yang terjadi, karena setiap orang merasa bingung harus melakukan apa, Banu justru kembali berkata, "Makanya Sayi, jangan suka ninggalin kalo Cakra lagi sa—CAKRA! UDAH GUE BILANG JANGAN CUBIT GUE!" Kalimatnya justru berakhir dengan teriakan heboh, sebab Cakra kembali mencubit lengannya yang tidak bersalah.

Cakra tiba-tiba berdiri. "Gue ke atas ya, mau cek yang naik flying fox," ujarnya begitu saja, kemudian dia mulai berjalan sambil menarik Banu untuk ikut serta bersamanya.

"Yaudah, kalian sekarang absen ya, abis itu saya mau dengar apa aja yang udah kalian laluin selama pendakian, itu akan jadi tugas terakhir dan siapa aja boleh jawab."

Arsha tidak lagi fokus mendengar setiap perkataan Bian, dia hanya memandangi punggung Cakra yang semakin lama semakin menjauh hingga hilang dari jangkauan kedua matanya. Tadi ketika pergi air muka Cakra memang tidak berubah, masih sama datarnya seperti biasa, tapi entah mengapa Arsha merasa ada yang tidak beres dengan laki-laki itu dan tanpa sadar dia malah jadi penasaran juga ada sedikit rasa khawatir yang hinggap di hatinya.

Bahkan Arsha juga tidak ikut berbicara untuk tugas terakhir kelompoknya, dia membiarkan anggota kelompoknya yang bersuara dan menceritakan setiap hal yang sudah mereka lalui di hari ini. Arsha hanya kebagian memberikan salam akhir untuk Bian dan Sayi sebelum akhirnya kelompok mereka kembali berjalan untuk menuju permainan terakhir sekaligus jalan utama mereka untuk sampai di bawah.

Flying Fox, permainan yang sudah Arsha tunggu-tunggu dari tadi.

Ketika sampai di atas bukit pendakian Arsha menemukan tiga anggota Nemo yang ternyata belum juga turun dan salah satu diantara mereka adalah Zakiel, Arsha tersenyum ketika laki-laki itu melambaikan tangan ke arahnya. Di sisi lain Arsha juga melihat Cakra dan juga Banu yang sedang mengobrol dengan salah satu Bapak dari Angkatan Laut, Cakra sempat menyadari kehadirannya namun dia kembali fokus pada pembicaraan.

"Sha! Abis ini gue loncat!" Zakiel mendatanginya dengan bersemangat.

"Loncat?" Arsha dan beberapa anggota kelompoknya yang mendengar itu refleks tertawa. "Terjun pakai tali kali, kalo loncat mah yang ada lo udah nggak sadarkan diri sampai bawah."

"Iya, itu maksud gue," ujar Zakiel sambil cengengesan.

Zakiel segera pamit begitu namanya dipanggil untuk segera bersiap-siap. Beberapa anggota kelompok tulip juga memisah untuk melihat-lihat sekitar atau mendekati perbukitan untuk melihat kondisi di bawah sana. Arsha ditinggalkan sendiri, posisinya saat ini berada di tengah bukit dan jujur saja Arsha sebenarnya suka ketinggian namun dia tidak begitu berani untuk melihat ke bawah dari ketinggian yang cukup membuat jantungnya berdegup cepat sedari tadi.

"Takut, ya?"

Arsha tersentak kaget dan segera menoleh ke arah Cakra yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya entah sejak kapan. Sedangkan Banu masih di tempat tadi masih berbicara dengan Angkatan Laut yang sama.

"Lumayan, Kak," jawab Arsha jujur.

"Padahal nggak tinggi-tinggi banget, apa memang nggak suka ketinggian?" tanya Cakra lagi.

"Kalo ketinggian sih suka-suka aja, enggak ada trauma juga sama ketinggian. Cuma memang agak takut aja kalo harus lihat ke bawah."

Cakra mangut-mangut mengerti. "Mau coba lihat nggak sekarang? Sayang loh kalo ngelewatin pemandangan kayak gini, tenang aja bakal gue jagain dari samping."

Arsha menatap kakak kelasnya itu, Cakra sendiri hanya menyunggingkan senyum tipis kepadanya, lalu perlahan gadis itu melangkah untuk mendekati tepi dan Cakra benar-benar bergerak mengikutinya.

Kedua netranya memperhatikan dengan seksama setiap keindahan yang terlihat di bawah sana, sejenak Arsha terpana melihat lautan yang membentang luas dan bisa lebih mudah dia lihat dari atas sini. Sedangkan Cakra di sampingnya diam-diam tersenyum memperhatikan gadis itu sebelum akhirnya ikut memandangi objek yang ada di depan sana. Tahun lalu dirinya menjadi peserta sama seperti Arsha dan sekarang justru dirinya yang menjadi panitia acara, sungguh waktu tidak terasa sudah cepat berlalu.

"Ketua kelompoknya yang mana, ya? Ketua kelompok duluan yang turun kalo untuk perempuan."

"Itu tuh, Arsha!" Arsha menoleh ketika mendengar namanya dipanggil oleh teman-temannya, sepertinya sudah saatnya dia yang turun karena sudah tidak ada lagi kelompok Nemo yang tersisa.

Arsha menatap Cakra yang masih berada di sampingnya. "Kakak nggak turun?" tanyanya.

"Lo mau gue turun bareng sama lo?"

Arsha buru-buru menggeleng cepat. "Bukan gitu maksudnya!"

Cakra terkekeh kecil. "Gue nanti, masih harus nunggu semua kelompok turun dulu. Lo duluan aja sana biar bisa langsung bersih-bersih kalo udah sampai di bawah, nanti juga kita ketemu lagi kok," ujar Cakra yang menggoda Arsha di akhiran kalimatnya.

"Dih, saya bukannya mau ketemu kakak cepet-cepet," katanya salah tingkah.

Kenapa ya seru sekali rasanya mengganggu Arsha? pikir Cakra.

"Iya, gue bercanda Akarsha. Yaudah sana turun, udah ditungguin."

Arsha tersenyum dan mengangguk cepat, dia segera bersiap-siap memakai peralatan untuk segera meluncur ke bawah. Padahal tadi Arsha excited sekali untuk bisa turun ke bawah tapi entah mengapa sekarang dia malah lebih merasakan lega, sebab sudah bisa melihat Cakra tersenyum. Karena setelah laki-laki itu pergi tadi Arsha masih merasa khawatir, namun melihatnya sudah tersenyum dan sempat menggodanya tadi sudah cukup untuk menghilangkan rasa khawatir Arsha saat ini.