Chereads / AKARSHA / Chapter 10 - 10. Kak Cakra

Chapter 10 - 10. Kak Cakra

Jurit malam.

Kalimat itu terdengar lebih menyeramkan dari bom buatan yang selalu mereka dengar di pantai ini. Terdengar lebih menyeramkan juga dari perintah harus makan selama sepuluh detik. Apalagi ketika Pak Harso menambahkan embel-embel seperti ini, "Jurit malam akan dilakukan sendirian oleh semua peserta outbound dan mereka semua harus berhasil sampai di garis akhir."

Arsha membulatkan kedua matanya dengan sorot tidak percaya, ada beberapa temannya yang bersorak senang mendengar hal itu namun tak sedikit juga yang justru protes tak terima. Arsha menjadi salah satu pihak netral tapi tetap saja berdecak kesal di tempatnya, dia memang bukan seorang yang penakut tapi jika harus melakukan jurit malam ini seorang diri apalagi di tempat yang bahkan tidak dia kenali, rasanya pasti akan sangat menakutkan.

Kenapa selama berada di tempat ini mental Arsha selalu saja di uji coba sih?

Tetapi walaupun sedikit kesal, tidak bisa dipungkiri bahwa Arsha juga sedikit penasaran bagaimana rasanya menjelajahi hutan seorang diri. Jadi, di belakang pantai ini ada sebuah bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi dan juga ada hutan kecil di bawah bukit tersebut. Pantai dan bukit hanya terpisah oleh jalan raya yang menjadi sarana perjalanan untuk para mobil dan juga motor yang ingin datang atau pun pulang.

"Sekarang mata kalian semua akan ditutup, lalu kami akan membawa kalian ke tempat awal jurit malam dilakukan. Kalian harus berjalan sendirian dari sana hingga kembali lagi ke tempat ini sebagai garis finishnya, mengerti?"

Baiklah, Arsha memang tidak bisa melakukan apapun selain menuruti semua perintah yang diberikan.

"Mengerti!" ucap semuanya serempak.

Arsha tersenyum lebar ketika mendapati salah satu kakak kelas bergerak menghampiri kelompoknya. Kakak kelas itu adalah laki-laki yang sempat memberinya air minum diwaktu makan malam tadi. Kemudian dia menyodorkan sepuluh kain pengikat kepada Arsha yang langsung gadis itu operkan kepada teman-temannya di belakang sana.

"Dipakai ya kainnya," ujar kakak itu pada kelompok Tulip.

Arsha menatap laki-laki itu. "Kok bukan Kak Bian?" tanyanya bingung, pasalnya Bian kan merupakan pembimbing kelompoknya jadi Arsha bingung kenapa Bian justru tidak kelihatan di sekitar sini.

"Kamu maunya sama Bian?" si kakak itu justru bertanya dengan nada jenaka.

"Bukan gitu kak!" sergah Arsha cepat, tidak mau dicurigai karena dia benar-benar hanya sebatas penasaran saja. "Aku penasaran aja, soalnya Kak Bian 'kan pembimbing kelompok aku, tapi kakak yang ada di sini, makanya aku bingung gitu."

Laki-laki itu hanya tertawa kecil dan menunjuk penutup mata di genggaman Arsha. "Pakai dulu itu penutup matanya," suruhnya, lalu Arsha segera mengikuti perintah laki-laki itu untuk segera mengingatkan kain itu untuk menutupi kedua matanya. Selanjutnya Arsha mendengar kakak itu bicara lagi, "Bian udah jaga di tempat jurit malamnya, jadi gue yang gantiin dia buat bawa adik didiknya ke sana."

Arsha hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O' sembari mengangguk-angguk kecil, kemudian hening di antara mereka berdua karena tidak ada lagi yang mengajak bicara. Arsha hanya mendengar suara berisik dari kelompok-kelompok lain dan tentu saja mereka yang berisik adalah kelompok laki-laki karena kelompok para perempuan tanpak diam-diam saja sedari tadi.

"Kakak?"

"Hm?"

Arsha mengangguk lagi, sebenarnya tujuan dia memanggil kakak kelasnya itu hanya untuk memastikan saja apakah laki-laki itu masih berada di dekatnya atau tidak. Sedangkan si kakak kelas yang menyadari tingkah Arsha tersebut hanya bisa tersenyum kecil tanpa Arsha ketahui.

"Barisan ke-dua dan seterusnya dalam setiap kelompok, silahkan untuk pegang pundak teman yang ada di depan kalian," Pak Harso kembali memberikan instruksi dari tempatnya.

Sekitaran Arsha semakin bising padahal hanya diberikan satu perintah saja, tak terkecuali kelompoknya sendiri yang sudah heboh untuk mencari pundak masing-masing orang di depannya.

"Arsha, pundak lo mana deh?!" Tirani berucap heboh, kemudian dia tertawa sendiri karena sudah menemukan pundak milik Arsha.

Arsha terkikik geli. "Jangan dikelitikin ya, tolong banget ini mah, gue gelian soalnya," pintanya dengan nada sedikit memohon. Tirani langsung mengatakan oke dari arah belakang, lagipula Arsha juga percaya bahwa Tirani tidak akan melakukan hal macam-macam karena gadis itu bukan tipe orang yang seperti itu.

"Kakak kelas yang tadi sudah memberikan penutup mata untuk kelompok kalian yang nantinya akan menjadi pemandu arah menuju tempat jurit malam diadakan, kalau begitu selamat berangkat dan sampai bertemu di sana!"

Kalimat penutup yang Pak Harso lontarkan datang bersamaan dengan sebuah jemari asing yang perlahan mulai menggenggam jemari-jemari Arsha, gadis itu sempat terlonjak kaget karena menerima tindakan yang terlalu tiba-tiba tersebut, namun suara laki-laki di depannya akhirnya bisa membuat Arsha kembali bernapas lega.

"Tenang aja, ini gue," begitu kata kakak kelas di depannya saat ini.

Arsha menghela napas panjang, tiba-tiba saja merasa gugup karena saat ini tangannya sedang digenggam oleh seorang laki-laki yang bahkan belum lama dia kenal. Arsha mencoba menetralkan detak jantungnya yang mendadak bertedak secara tidak normal, apa-apaan masa dia langsung baper hanya dengan tindakan kecil seperti ini? Tidak! Arsha tidak baper, dia hanya terlalu kaget sehingga sedikit sulit untuk membiasakan diri. Lagipula jika mengingat jumlah panitia perempuan yang ada hanya berjumlah dua, rasanya memang sangat memungkinkan jika sebagian dari kelompok perempuan akan mendapatkan pemandu dari panitia laki-laki.

Para kelompok masih berjalan dengan tuntunan dari masing-masing pemandu mereka, Arsha tersenyum geli ketika menangkap suara Zakiel yang terdengar kesal setelah tersandung sebuah batu, pasti kelompok mereka saat ini tidak berada jauh dari kelompok Arsha, sebab suaranya terdengar sedikit besar dari arah kanan.

Sekeras apapun Arsha berusaha untuk mengalihkan pikirannya ke hal lain asal bukan pada genggaman tangannya dalam tangan laki-laki di hadapannya saat ini, rasanya tetap percuma saja. Yang ada Arsha malah teringat dengan kejadian-kejadian yang sempat terjadi di antara mereka, salah satunya adalah tentang kejadian waktu makan malam tadi, bukannya Arsha belum sempat mengucapkan terima kasih kepada laki-laki ini? Dan lagi, Arsha memang ingin bertanya sesuatu 'kan kepadanya?

"Kak?"

"Hm?"

Arsha sempat berdecak karena tanggapan singkat yang diberikan laki-laki itu tidak berubah sama sekali, tetapi dia tidak terlalu mempermasalahkannya.

"Makasih, ya, Kak."

Jawabannya datang cukup lama, sampai rasanya Arsha ingin bertanya ulang karena takut kakak kelasnya itu tidak mendengar karena suara berisik di sekitar mereka. Namun tak lama kemudian laki-laki itu bertanya padanya.

"Makasih buat apa?"

"Buat tadi malem." Arsha buru-buru menambahkan ketika merasa kalimatnya sedikit aneh. "Maksud aku, makasih buat air minum yang tadi malem kakak kasih ke aku waktu makan."

"Oh, itu." Arsha memang tidak melihat, tapi taukah dia bahwa saat ini laki-laki itu tersenyum lagi? "Itu minum punya gue sebenernya. Tadinya mau gue minum, tapi berhubung gue ngeliat muka lo yang melas banget jadinya gue kasihin aja ke lo," jelasnya lancar.

Bohong. Semua penjelasannya itu tentu saja bohong.

Karena fakta sebenarnya, laki-laki itu memang sengaja menyiapkan satu minum cadangan untuk Arsha jika gadis itu memang terlihat membutuhkan.

Arsha cemberut, bisa tidak sih kakak kelasnya ini cukup bilang sama-sama sebagai jawabannya tanpa perlu menjelaskan dengan penambahan bahwa wajahnya terlihat jelek saat makan malam tadi?

"Kakak belum bilang 'sama-sama'," ujar Arsha.

Laki-laki itu tertawa kecil. "Iya, sama-sama Arsha." Lalu secara tiba-tiba Arsha merasakan genggaman pada tangannya kian menguat dilanjutkan dengan suara laki-laki di depannya yang memperingati. "Awas, ada batu," katanya.

Arsha menunduk untuk menyembunyikan senyum kecilnya. Entah mengapa perutnya serasa tergelitik hanya karena mengetahui bahwa laki-laki itu mengetahui namanya, apalagi ditambah dengan insiden batu barusan.

"Kak?" panggil Arsha lagi. Kali ini dia sudah berniat menanyakan hal yang sedari tadi berteriak ingin minta dikeluarkan dari kepalanya. "Kalo boleh tau, nama kakak siapa?"

Hening, tidak ada tanda-tanda bahwa kakak kelas di depannya ini akan bersuara. Arsha jadi bingung, apa pertanyaannya terkesan terlalu privacy sehingga laki-laki itu tidak mau hanya sekadar memberitahu namanya saja?

Lalu dia kembali mendengar kakak itu berbicara, sayangnya bukan untuk menjawab pertanyaan. Namun untuk memberitahu bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan.

"Udah sampai."

Arsha merasa suasana yang semula ramai mendadak jadi sepi ketika tangan laki-laki itu bergerak untuk membuka penutup matanya dalam sekali tarikan ke arah atas, lalu tanpa di duga netra mereka berdua bertemu selama beberapa detik.

Laki-laki itu tersenyum miring. "Nama gue Cakra," katanya singkat, kemudian meninggalkan Arsha yang masih membatu di tempatnya.

Cakra, Arsha kembali merapalkan nama itu di dalam hatinya.

Lalu entah mengapa Arsha tiba-tiba merasa bahwa senyum miring milik Cakra lebih berbahaya daripada senyum milik Bian waktu itu.