Ada beberapa fakta yang telah Arsha temukan pada sosok Zakiel yang bahkan belum lama ini dia kenal. Pertama, Zakiel itu tipe orang yang tidak mau mendengarkan orang lain jika dia sudah mempunyai sudut pandang sendiri tentang apa yang harus dia lakukan. Lalu yang kedua, Zakiel selalu menepati setiap kata-kata yang sudah dia ucapkan ataupun janjikan secara tidak langsung, laki-laki itu bukan pembohong ulung yang hanya menebar janji palsu untuk mendapatkan perhatian dari gadis yang dia sukai. Ketiga— atau yang terakhir, Zakiel itu sangat keras kepala.
Sekali keras kepala akan selalu keras kepala.
Semua fakta yang baru saja Arsha sebut itu tentu saja dapat dibuktikan, ketika dirinya sedang harap-harap cemas menuju pos satu, namun di tengah perjalanan Arsha justru bertemu lagi dengan Zakiel. Laki-laki itu sedang berdiri dengan tenang selagi melihat ke arah tempatnya datang, seperti sedang menunggu, lalu ketika Arsha sampai di hadapannya dan bertanya mengapa dia tidak pergi duluan ke pos satu maka jawaban inilah yang Arsha dapatkan dari Zakiel.
"Gue kan udah bilang dari awal kalo gue mau tunggu lo, jadi mau di mana pun itu gue bakal tetep tunggu lo. Gue tau kali kalo lo takut, jadi tenang aja gue bakalan terus nungguin lo biar nggak jalan sendirian."
Jawaban yang diberikan Zakiel langsung membuat Arsha speechless, pasalnya setelah mendengar hal itu Arsha jadi berpikir keras. Seandainya saja pertemuan-pertemuan kecil mereka tidak dibumbui dengan hal-hal yang menyebalkan, pasti akan ada kemungkinan bagi Arsha untuk tiba-tiba menaruh rasa pada sosok laki-laki di hadapannya saat ini. Karena sebenarnya Zakiel itu termasuk salah satu anak angkatannya yang memiliki wajah yang manis dan juga memiliki selera humor yang sangat menyenangkan untuk di dengar, lagipula Arsha juga sering memperhatikan bahwa ada banyak dari teman-teman perempuannya yang suka curi-curi pandang kepada laki-laki ini yang mana telah dibuktikan bahwa memang benar bahwa sudah ada yang naksir Zakiel dari pandangan pertama.
Tapi kembali lagi, untuk kasus Arsha itu semua hanya atas dasar kata seandainya, karena kesan pertama yang Arsha dapatkan dari Zakiel sudah lebih dulu meruntuhkan segala pesona yang dimiliki oleh laki-laki itu. Jadi, walaupun Arsha menyadari kalau Zakiel sebenarnya sudah menaruh rasa padanya, Arsha tidak tau apakah dia bisa membalas perasaan laki-laki itu atau tidak.
"Sha? Woy! Kok lo malah bengong sih?" Arsha tersentak kaget begitu Zakiel memukul pelan lengan tangannya. "Mau diem di sini sampai kapan? Ayo lanjut jalan, gue jagain dari belakang." Karena tersadar bahwa mereka masih berada di dalam hutan, akhirnya dengan cepat Arsha mengangguk dan langsung mengambil langkah lebih dulu untuk berjalan di depan Zakiel, laki-laki itu berada sekitar dua sampai tiga meter di belakangnya.
Tak berapa lama kemudian Arsha menemukan satu titik cahaya yang diyakininya sebagai tempat pos satu berada. Dirinya sudah harap-harap cemas memikirkan bagaimana seramnya berhenti di depan kuburan baru seorang diri, namun segala pikiran buruknya itu langsung hilang begitu Arsha menemukan sosok Cakra yang sedang duduk tepat di samping kuburan tersebut. Sesuai dengan apa yang sempat kakak kelas sebelumnya katakan bahwa kuburan ini adalah sebuah kuburan baru, Arsha bisa melihat bahwa taburan bunga di atas kuburan itu masih sangat terlihat segar.
"Mau berdiri sampai kapan?"
Seakan tersadar Arsha langsung bergerak mendekat dan ikut berjongkok di sisi lain kuburan tersebut.
"Perkenalkan diri," ujar Cakra singkat.
Arsha diam-diam bergidik ngeri ketika mendengar suara dinginnya, laki-laki ini berubah sekali dengan yang terakhir kali dia temui. Entah karena faktor kewajiban dari kegaiatan atau karena hal lain Arsha juga tidak tau.
"Akarsha Jagaditha dari kelompok Tulip."
Kemudian Cakra menyerahkan satu buah buku absen dan juga pulpen kepadanya, Arsha langsung menuliskan namanya seperti apa yang sudah peserta-peserta sebelumnya lakukan. Keduanya sama-sama diam selagi menunggu Arsha menuliskan beberapa hal yang perlu dia isi di absen tersebut.
"Kamu yang daritadi sembunyi di balik pohon coba ke sini dulu."
Gerakan tangan Arsha terhenti saat Cakra berbicara, bulu kuduknya meremang karena pikiran-pikiran buruk tentang siapa sosok yang ada di balik pohon mulai mengganggunya. Namun, begitu melihat Zakiel keluar dari sana Arsha entah mengapa langsung bernapas lega, dia sudah ketakuta sendiri karena Cakra terlalu tiba-tiba seperti itu.
"Siapa yang suruh kalian jalan berdua?"
Padahal baru saja Arsha menghela napas lega, tapi sekarang tubuhnya kembali menegang kala mendengar pertanyaan Cakra. Suaranya bahkan mengalahkan hawa dingin yang ada di sekitarnya saat ini dan jujur saja Arsha jadi takut mendengarnya. Arsha menunduk takut, namun ketika dirinya melirik sinis pada Zakiel, laki-laki itu malah terlihat tidak ada takut-takutnya sama sekali.
"Saya nggak tega ngebiarin Arsha sendirian Kak," Zakiel berujar tenang. "Dia perempuan dan dia ketakutan, kalo seandainya tiba-tiba dia pingsan gimana?"
Padahal tadinya Arsha sudah berniat ingin menjambak rambut laki-laki itu, karena bisa-bisanya dia menjawab pertanyaan Kak Cakra dengan setenang itu. Tapi ketika mendengar jawabannya Arsha jadi merasa tersentuh karena laki-laki itu terlihat sangat peduli padanya.
"Kamu tuh lupa ya kalo ada banyak panitia yang jaga di sekitaran hutan?"
"Iya, saya tau Kak. Tapi insting saya sebagai laki-laki tetap nggak mau ngebiarin Arsha jalan sendirian. Saya harus ngawasin dia walaupun cuma dari jauh makanya saya nungguin dia dan nyuruh dia jalan duluan biar bisa saya liatin dari belakang."
"Kamu mau nilai kepribadian kamu saya kurangin ya, karena udah melanggar peraturan?"
"Iya, enggak apa-apa Kak, saya nggak keberatan. Tapi tetap aja saya merasa kalo perbuatan saya ini enggak ada salah."
Boleh tidak sih jika sekarang Arsha menangis saja?
Berada di antara dua laki-laki yang sedang saling bertatapan tajam saat ini membuat nyali Arsha langsung ciut seketika dan rasanya dia ingin langsung menghilang saja dari dunia. Apa mereka lupa jika Arsha masih berada di antara mereka dan dia hanya ingin bahwa kegiatan ini bisa cepat-cepat berakhir?
"Arsha, coba sebutkan salah satu peraturan penting yang harus peserta taati."
Sungguh, Arsha benar-benar ingin menangis saja sekarang.
"Pa-para sis-siswa ... ti-tidak boleh—"
"Coba kalo ngomong itu yang bener, yang jelas."
Arsha meneguk salivanya susah payah, suara Cakra terdengar sangat menyeramkan di telinganya dan hal itu membuatnya gugup juga takut di waktu yang bersamaan.
"Para siswa dan siswi tidak boleh melakukan jurit malam bersama, masing-masing dari mereka harus berada dalam radius setidaknya lima meter, setiap peserta tidak boleh saling berkumpul dan saling menunggu."
Kepala Arsha kian merunduk ketika mendengar Zakiel lah yang mengucapkan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh Cakra untuknya. Arsha semakin merasa takut dan juga merasa bersalah karena sedari tadi Zakiel ada untuk membantu dan membelanya, namun Arsha justru tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengurangi rasa marah Kak Cakra kepada Zakiel.
"Saya tanya Arsha, bukan tanya kamu, jadi kamu diam."
Benar-benar seram sekali.
Karena tidak mau memperpanjang masalah dan Arsha juga takut jika ada peserta lain yang sudah sudah mendekat ke pos satu untuk melakukan absen, akhirnya Arsha mengulang kalimat yang tadi sempat Zakiel katakan walaupun terkesan gugup dan beberapa kali salah, namun Arsha bisa menyelesaikan kalimatnya dengan baik.
"Menurut kamu, apa yang Zakiel lakukan tadi itu benar atau salah?"
"Salah Kak."
"Karena itu salah, apa yang harus Zakiel terima sebagai hukumannya?"
"Pengurangan poin untuk test outbound."
Cakra kembali menatap Zakiel. "Kamu dengar? Poin kamu akan dikurangi."
"Iya, Kak. Saya enggak apa-apa," jawab Zakiel tidak ada takut-takutnya.
Sekali keras kepala akan selalu keras kepala, pikir Arsha.
Kenapa juga sih Zakiel harus melakukan sampai sejauh ini hanya untuk membantunya saja? Jika sudah seperti ini Arsha jadi merasa bersalah karena hukuman laki-laki itu juga diberikannya karena telah membantunya. Tolong ingatkan Arsha untuk meminta maaf pada Zakiel ketika nanti ada waktu untuk mereka bicara berdua.