Ketika suasana maghrib sudah terlewati dan para siswa dan juga siswi yang beragama islam sudah selesai menjalankan kewajiban mereka masing-masing, pada pukul tujuh malam mereka semua akhirnya dikumpulkan kembali. Kali ini bukan lagi di lapangan melainkan di salah satu tenda terbuka milik Angkatan Laut, ada dua tenda besar yang berhadapan yang sedang mereka tempati sekarang. Arsha mengambil tempat duduk di ujung paling kanan karena dia sampai lebih dulu daripada siswi yang lain, tenda tempat dia berada adalah khusus untuk perempuan, sedangkan tenda yang berhadapan dengannya khusus untuk siswa laki-laki.
Tempat makan mereka memang sudah dibuat secara khusus seperti ini dengan pemandangan di sebelah kanan yang langsung bertemu dengan laut, pada malam hari tentunya laut akan menjadi pemandangan paling indah untuk diperhatikan apalagi ketika sedang makan seperti ini. Mungkin juga agar acara outbound mereka akan terasa lebih seru maka dari itu mereka harus makan di tempat seperti ini.
Arsha bersyukur karena Zakiel berada jauh dari tempatnya— saat ini Arsha berada di ujung kanan sedangkan Zakiel berada di ujung kiri— tetapi tetap saja dia bisa melihat dengan jelas bagaimana laki-laki itu mencuri pandang ke arahnya secara terang-terangan, walaupun tertangkap basah oleh Arsha sendiri Zakiel justru nyengir lebar sebagai bentuk sapaan.
Aneh sekali.
"Selamat malam semuanya!"
"Selamat malam, Pak!"
Pembawa acara dari Angkatan Laut kali ini bukan lagi Pak Harso, ada seseorang lain yang bernama Pak Bambang. Arsha ingat Bapak satu ini, dia juga salah satu anggota Angkatan Laut yang tadi pagi sempat memperkenalkan diri. Arsha bukan tipe seseorang yang mudah lupa akan sesuatu, dia justru masih ingat semua nama para Angkatan Laut yang akan mengajarkan dan juga menjadi pemandunya beserta anak-anak lain selama berada di sini.
Pak Harso yang satu harian ini menjadi juru bicara, lalu Pak Bambang yang akan menjadi juru bicara malam ini, kemudian ada Pak Bayu yang bertugas mendokumentasikan kegiatan ini karena dia selalu membawa ponsel dan memfoto kami, ada juga Pak Suryo dan Pak Anto yang hanya muncul saat perkenalan tadi pagi.
"Dek, jangan ngelamun."
Arsha tersentak ketika mendengar sebuah suara mengagetkannya dari arah kanan, dia menoleh untuk menatap laki-laki yang kini sedang berdiri di samping tenda, laki-laki itu tepat berada di sampingnya saat ini. Jika Arsha tidak salah ingat, laki-laki itu adalah kakak kelas yang memberikannya air asin tadi pagi.
Kakak itu sedang fokus pada kamera di genggamannya, dia bersandar pada tiang tenda di sampingnya. Arsha memperhatikannya dalam diam, sosoknya agak sedikit sulit terlihat karena sekarang sudah malam ditambah kakak kelasnya itu sedikit membelakangi bulan sehingga butuh kekuatan ekstra bagi kedua mata Arsha ketika menyipit hanya untuk melihat sosok kakak kelasnya itu.
Arsha semakin menyipitkan matanya ketika merasa bahwa kakak itu sedang tersenyum samar— entah hanya halusinasinya saja atau memang senyumannya itu nyata yang pasti Arsha merasa bahwa fokus laki-laki itu sekarang bukan pada kamera melainkan pada sesuatu hal yang tidak Arsha tau.
"Ayo dibuka dulu nasi bungkusnya."
Arsha mengalihkan pandangannya ke depan dan benar saja ada sebuah nasi bungkus di depannya ketika dia menunduk. Sejak kapan nasi ini ada di hadapannya?
"Sha, dibuka itu buruan," titah Tirani yang kebetulan lagi-lagi berada di sampingnya, Arsha dengan segera membuka nasi itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa isinya benar-benar kesukaan Arsha sekali.
"Kalian harus menghabiskan nasi itu dalam waktu sepuluh detik."
Waduh, cobaan macam apa ini.
Arsha berdecak kagum lalu menatap Pak Bambang dengan sorot tidak percaya, jujur saja Arsha benar-benar suka dengan nasi bungkus ini, karena tadi siang dia hanya memakan bekal bawaan dari rumahnya. Tapi jika disuruh menghabiskan dalam sepuluh detik— coba katakan sebenarnya di sini yang tidak waras memang Arsha atau mereka?
"Kalau kalian tidak bisa menghabiskan nasi bungkus itu dalam waktu sepuluh detik, maka kalian akan dihukum." Arsha lantas menatap nanar nasi beserta lauk-pauk yang sudah terhidang di hadapannya saat ini.
Jujur saja bahwa Arsha benar-benar lapar saat ini, tetapi jika diharuskan menghabiskan makanan tersebut dalam waktu sepuluh detik— maaf-maaf saja Arsha ini manusia bukannya vacuum cleaner yang bisa menghabiskan makanan tersebut hanya dalam sekali sedot.
Tapi sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana cara dia menghabiskan makanan itu dalam waktu sepuluh detik agar tidak dihukum?
"Mulai!"
Baiklah, sepertinya Arsha memang tidak diberikan waktu hanya untuk sekadar berpikir sebentar saja.
Secara serempak semua siswa mulai memakan nasi bungkus tersebut, Arsha berdecak kagum dengan keahlian makan dari para teman laki-lakinya, mereka memang luar biasa cepat jika berhubungan dengan makanan. Sedangkan dirinya justru ingin menangis karena tidak bisa menikmati makanannya dengan khidmat.
"Satu." Pak Bambang mulai menghitung.
Boleh tidak sih Arsha pura-pura pingsan saja agar dia tidak perlu mengalami situasi ini? Tapi sayangnya itu hanya angan-angan semata karena perutnya terlanjur mengeluarkan bunyi dan gadis itu langsung mulai minum lalu dilanjutkan dengan memakan makanan miliknya dengan tempo secepat yang dia bisa.
"Dua."
"Pelan-pelan aja sih, nasinya nggak bakal kabur kok." Suara kakak kelas di sampingnya kembali terdengar bersamaan dengan sebuah kekehan kecil.
Kalo pelan nanti nggak abis terus malah dihukum!
Arsha memilih untuk tidak menghiraukan suara Pak Bambang yang bahkan sudah tidak dia ketahui lagi sampai pada angka keberapa, fokusnya hanya pada santapan makan malamnya yang mulai bisa Arsha habiskan sedikit lagi dalam kecepatan yang cukup stabil.
"Sepuluh!"
Angka tersebut diucapkan bersamaan dengan satu suapan terakhir yang Arsha masukkan ke dalam mulutnya. Sangat tepat waktu sekali.
"Tir, minum dong Tir!" rengek Arsha ketika melihat air minumnya sudah kandas tidak tersisa. Padahal dia sendiri lupa kapan saja sudah meminum minuman tersebut.
Kemudian tanpa diketahui ada tangan yang terulur ke arah Arsha dengan membawa satu gelas air putih digenggamannya, tanpa pikir panjang gadis itu segera mengambilnya dan meminumnya hingga habis tidak tersisa. Arsha menoleh ke belakang berniat untuk mengucapkan terima kasih kepada si pemberi air minum tersebut yang Arsha tebak adalah si kakak kelas yang sejak tadi berada di sampingnya dengan tugas memotretnya itu. Namun begitu menoleh, Arsha tidak bisa mengucapkan itu karena laki-laki itu sudah berjalan menjauh dari tempatnya saat ini.
Selama sepuluh detik tadi berlangsung, tanpa Arsha sadari laki-laki itu duduk di sampingnya sembari memperhatikannya dalam diam dengan menggenggam air mineral yang sudah dia siapkan sedari tadi untuk gadis itu. Niatnya hanya untuk jaga-jaga saja jika memang Arsha membutuhkan.
Lalu dugaannya terbukti benar karena mendengar Arsha merengek meminta air minum tambahan kepada teman di sampingnya, lalu laki-laki itu menyodorkan air minum tersebut karena Arsha benar-benar membutuhkan air itu.