Semilir angin terasa menyapa kulit tangan Arsha yang tidak tertutup oleh selimut hingga membuat gadis itu bergidik karena merasakan dingin selama beberapa kali. Gadis itu langsung merapatkan selimut serta mengubah posisi tidurnya menjadi meringkuk. Namun, seolah masih belum cukup untuk membuat Arsha terganggu, tiba-tiba saja ada sebuah cahaya yang amat terang dan menyilaukan sampai-sampai mampu menembus kedua matanya yang sedang terpejam erat, pada saat itu juga tidur Arsha tidak lagi terasa nyaman dan dia langsung merasa terganggu karena tidur nyamannya sudah diusik.
Arsha terbangun secara paksa sambil mendengus kesal, gadis itu menyipitkan kedua matanya untuk bisa memfokuskan penglihatannya pada cahaya putih di ujung tenda, di saat kesadarannya perlahan-lahan mulai kembali maka di saat itu pula cahaya yang tadi mengganggunya mulai meredup secara perlahan dan kini tergantikan oleh wajah seorang laki-laki yang sangat Arsha kenali sedang tersenyum hangat selagi menatapnya.
"Papa?" Arsha berujar ragu ketika menyadari kehadiran papanya di depan tenda, bahkan dia sampai menyipitkan kedua matanya untuk memperjelas bahwa itu memanglah Papanya. Arsha yakin sekali bahwa sekarang sudah sangat malam dan dirinya sedang melaksanakan kegiatan sekolah, lalu satu tanya yang timbul di kepalanya adalah untuk apa Papanya datang kemari malam-malam begini?
"Papa bawa pizza kesukaan kamu."
Arsha langsung tersenyum lebar lalu membangunkan dirinya untuk segera duduk, dia sudah berniat menghampiri Papanya dan langsung memeluk pria paruh baya itu sebelum sebuah suara justru membuatnya tersentak kaget.
"BANGUN!"
DUAR!
Kedua mata Arsha langsung terbuka lebar di saat itu juga. Bahkan jantungnya juga langsung berdetak dengan ritme yang amat cepat karena terlalu kaget dan masih belum memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.
DUAR! DUAR!
Dentuman kedua datang secara berturut-turut dan terdengar lebih kuat daripada yang sebelumnya, sebab asalnya berada dekat dengan tenda milik Arsha. Dentumannya mampu membuat banyak pasang mata langsung terbuka secara cepat dengan tingkat kekagetan yang luar biasa bersamaan dengan suara jeritan beberapa teman-temannya yang merasa kaget. Arsha yang sudah sadar lebih dulu juga tetap sama kagetnya, bahkan sekarang dia bisa mendengar teriakan-teriakan seniornya yang menyuruh seluruh peserta untuk cepat bangun dan berkumpul di lapangan sekarang juga.
"BANGUN KALIAN! KUMPUL DI LAPANGAN DALAM WAKTU LIMA MENIT!"
"JANGAN LUPA BAWA NAME TAG MASING-MASING! AYO CEPAT BERGERAK KE LAPANGAN!"
Jangan ditanya lagi bagaimana rusuhnya keadaan saat ini. Semua peserta jelas masih harus mengumpulkan nyawa mereka yang masih tertinggal di sisa-sisa mimpi, bahkan beberapa orang terlihat masih belum sadar sepenuhnya sehingga tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Keadaan tenda yang gelap mengundang banyak teriakan kesal dari beberapa temannya yang sedang kelabakan, padahal seingat Arsha sebelum tidur dia masih melihat beberapa lampu di tendanya hidup dan tidak ada tanda-tanda akan mati namun sekarang jadi gelap gulita, mereka hanya diterangi oleh cahaya bulan itupun hanya sedikit sebab cahaya itu masuk dari sela-sela tenda bagian belakang yang terbuka.
Seolah belum cukup membuat para adiknya panik setengah mati, para panitia sekarang mulai memukul-mukul bagian tenda atas seraya masih berteriak tak ada henti. Arsha menghela napas lega ketika menyadari bahwa firasat buruk yang Tirani katakan padanya tadi ternyata benar-benar terjadi, dan dia jadi bersyukur karena name tag serta atributnya yang lain tidak jadi dia lepas dari tubuhnya.
"Sha, ngapain? Ayo ke lapangan sekarang," Tirani menarik lengannya yang saat ini masih duduk diam di tempat semula selagi memperhatikan sekitar. Teman-temannya yang lain sibuk sendiri mencari atribut mereka yang mendadak hilang entah kemana.
"WOY LIAT NAME TAG YANG NAMANYA AYU ENGGAK?!"
"SEPATU GUE YANG SEBELAH KANAN ADA DI MANA?!"
"LARA! ITU SEPATU LO BEDA SEBELAH, LO SAMA-SAMA PAKE SEPATU SEBELAH KIRI! BURUAN BENERIN DULU!"
Jika keadaan tidak mendesak mereka untuk merasa panik pastilah kejadian ini akan menjadi sesuatu yang lucu untuk ditertawakan bersama. Sayangnya mereka tidak punya waktu hanya untuk sekadar tertawa karena saat ini sang waktu itu justru sedang mengejar-ngejar mereka dalam bentuk teriakan para panitia yang sedang menghitung mundur waktu tersebut.
"Ayo keluar, Tir."
Arsha segera keluar dari tenda dan berjalan agak cepat menuju lapangan bersama Tirani. Di perjalanan dia sempat menguncir rambut panjangnya secara asal-asalan karena dia tidak mau terlihat berantakan di lapangan nanti. Arsha mengedarkan pandangannya begitu sampai di tempat tujuan, ternyata baru ada beberapa siswa dan siswi saja yang sudah berkumpul termasuk dirinya dan juga Tirani. Ada sekitar dua puluh lebih peserta outboud di sana dan sisa yang lainnya masih sibuk berteriak di dalam tenda masing-masing ataupun berlari menuju lapangan.
Arsha mengambil tempat paling depan karena dia adalah ketua dalam kelompok Tulip. Dia juga mengambil tempat yang strategis agar anak-anak kelompoknya bisa langsung menemukan keberadaannya dan turut duduk memanjang ke belakang sesuai dengan barisan seperti biasanya. Arsha menenggelamkan kepalanya di antara lipatan kedua lututnya, jujur saja dia masih sangat mengantuk karena merasa baru tidur beberapa jam saja, tiba-tiba saja Arsha merasa menyesal karena tidak mendengarkan Tirani yang sudah memberitahunya untuk tidak tidur terlaru larut. Dan lagi yang lebih menyebalkan adalah karena suara ledakan bom buatan tadi sudah membuat mimpi indahnya tentang pizza dan juga Papanya harus terhenti begitu saja.
"Arsha, Arsha." Arsha mendongak cepat ketika mendengar namanya dipanggil serta merasakan sebuah tepukan di bahunya.
"Kenapa?" Arsha langsung menoleh ke belakang karena asal tepukan itu dari salah satu anak kelompoknya.
"Punya kunciran nganggur nggak?"
"Oh, ada!"
Gadis itu segera melepaskan gelang kunciran di tangannya yang selalu dia bawa dalam jumlah lebih, suatu kebiasaan yang dia miliki hanya untuk berjaga-jaga karena Arsha merupakan anak yang sedikit teledor dan juga pelupa, lagipula kunciran miliknya suka tiba-tiba putus entah karena rambutnya yang tebal atau mungkin dia yang merenggangkannya terlalu lebar, Arsha juga tidak tau.
Segera diberikan satu miliknya kepada anggota kelompoknya itu, kalau tidak salah yang namanya Ayu— iya Ayu yang tadi sempat berteriak mencari name tag-nya yang hilang entah kemana.
"Makasih Arsha," ujarnya sambil tersenyum.
"Iya, sama-sama." Lalu kemudian Arsha beralih pada Tirani yang duduk tepat di belakangnya. "Tir coba liatin dong, di mata gue ada belek nggak?"
Tirani mendengus geli, tak percaya Arsha akan mengajukan pertanyaan semacam itu. "Di saat kayak gini, sempet-sempetnya lo malah nanyain belek." Namun walaupun begitu Tirani tetap melihat kedua mata Arsha. "Enggak ada, Sha. Udah bersih kok," beritahunya.
"Oke, makasih," kata Arsha dan langsung kembali menghadap depan.
Arsha sempat memperhatikan sekitar dan ada banyak sekali peserta outbound yang masih terlihat sangat mengantuk, bahkan ada banyak dari mereka yang masih menguap karena mengantuk. Lagipula sebenarnya apa sih tujuan mereka dibangunkan pada tengah malam begini? Jika mengamati langit juga Arsha yakin benar bahwa perkiraannya sekarang masih jatuh pada pukul setengah satu atau jam satu malam.
"Enggak boleh ada yang tidur, ayo semuanya berdiri."
Arsha langsung mengikuti instruksi yang diberikan oleh Pak Harso, begitu juga dengan para siswa dan siswi yang lain. Sepertinya sudah semua orang berkumpul di lapangan, Arsha juga sudah sempat menghitung anggota kelompoknya yang ternyata sudah lengkap berbaris di belakangnya. Walaupun beberapa masih terlihat enggan membuka matanya.
"Ketua harap apel, silahkan hitung jumlah anggota kalian, lalu berikan laporan ke depan apakah kelompok kalian sudah lengkap atau belum."
Oh, jadi ini apel yang sempat Kak Sayi bicarakan tadi?
Para ketua langsung menyiapkan barisan kelompoknya agar lebih rapi, lalu mereka berjalan ke belakang sembari menghitung jumlah anggota mereka sampai dengan barisan paling akhir. Baru setelah itu mereka berjalan ke bagian depan— tepat di hadapan Pak Harso, untuk melaporkan masing-masing kelompok mereka.
"Kelompok Tulip, lengkap." Arsha langsung kembali kebarisannya seperti apa yang sudah dilakukan oleh kelompok-kelompok sebelumnya.
Setelah semua kelompok sudah selesai melakukan apel, Pak Harso kembali mengambil micnya untuk berbicara. Arsha sempat menyadari bahwa disekitarnya hanya terihat beberapa panitia saja, padahal pada kegiatan-kegiatan sebelumnya dia selalu melihat banyak panitia berkumpul di sekitar para peserta, namun sekarang jumlahnya bahkan bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya apa sih yang akan mereka lakukan di pagi buta seperti ini?
"Oke baiklah, harap perhatikan apa yang akan saya sampaikan." Suara Pak Harso kembali terdengar, semua peserta outbound langsung diam dan memperhatikannya. "Sekarang pukul satu pagi, kami terpaksa membangunkan kalian di tengah malam seperti ini karena ada satu kegiatan yang akan kita lakukan, yaitu Jurit Malam. Silahkan bersiap karena kita akan langsung melakukannya sebentar lagi."
Sebelum tidur Arsha memang sempat menantikan akan seperti apa kegiatan mereka selanjutnya, tapi Arsha tidak pernah membayangkan bahwa Jurit Malam akan menjadi salah satu hal yang mereka lakukan.
Karena jujur saja, daripada mengikuti kegiatan itu Arsha justru hanya ingin kabur sekarang juga.