Setelah permainan Bintang Tersembunyi itu resmi berakhir, Arsha langsung beranjak pergi ke salah satu warung terdekat yang ada di dekat pantai untuk membeli 10 minuman dingin sesuai request yang tadi Zakiel berikan kepadanya. Arsha hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan hukuman dari laki-laki tidak waras tadi. Merasa menjadi pusat perhatian, gadis itu langsung merasa risih. Beberapa teman seangkatan Arsha yang melewatinya langsung tertawa geli sembari melihat ke arahnya, bahkan tak jarang beberapa laki-laki juga meledekinya secara terang-terangan.
"Bu, beli minuman dinginnya dong sepuluh."
Arsha menyodorkan uang sepuluh ribu kepada Ibu penjual tersebut, harga minuman itu seribu untuk per-satu gelas, jadi dia membeli minum pas untuk kelompok Nemo.
"Lagi ngejalanin hukuman ya?"
Arsha tersentak kaget lalu dengan cepat menoleh ke sebelah kanannya. "Eh, Kak Bian!" Gadis itu tersenyum lebar menyapa Bian di sebelahnya.
"Iya nih Kak, maaf ya aku nggak bisa menangin permainan buat kelompoknya," ujarnya penuh rasa bersalah, karena Bian adalah pembimbing kelompoknya jadi Arsha merasa harus minta maaf juga dengan kakak kelasnya ini.
Namun yang dia dapatkan justru Bian yang tersenyum manis dan tanpa tiba-tiba mengusap puncak kepalanya secara sekilas. "Enggak apa-apa kok, itu kan cuma permainan, lagian itu buat seru-seruan aja," jelasnya memberitahu.
Namun Arsha terlanjur tak fokus karena kejadian barusan.
Arsha mengambil plastik berisikan pesanannya dengan cepat ketika si Ibu penjual memanggilnya, lalu dia mengucapkan terima kasih sebelum kembali fokus pada Bian.
"Kak Bian, aku duluan ya!" Serius, rasanya Arsha ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Bian, tetapi laki-laki itu seperti tidak ingin mempermudah hal itu untuk terjadi.
"Eh, Akarsha sebentar!"
Arsha mendengus namun mau tak mau berbalik lagi. "Arsha aja Kak, kalo Akarsha kepanjangan," sarannya. "Kenapa Kak?" tanya gadis itu lagi.
Bian mengusap tengkuknya sekilas lalu mengalihkan pandangannya agar tidak bertemu tatap dengan adik kelasnya yang satu itu. "Hngg ... magh kamu enggak kambuh 'kan?" tanya Bian pelan.
Arsha mengernyit bingung. Tidak begitu mendengar jelas. "Apa Kak?"
"Magh kamu," kata Bian lagi. "Ada kambuh enggak?"
Arsha semakin bingung, dia bertanya-tanya di dalam hati, mengapa Kak Bian yang sekarang ada di depannya terlihat malu ketika mengajukan pertanyaan tersebut, padahal beberapa menit lalu dia baru saja mengacak rambutnya pelan?
Tidak mau terlalu memikirkan isi kepalanya yang mendadak penuh, Arsha memilih untuk menjawab pertanyaan Bian. "Enggak kok Kak, aku baik-baik aja sekarang," jawabnya sambil tersenyum, takut jika Bian sekarang sedang mengkhawatirkannya.
"Bagus deh kalo gitu, kalo ada apa-apa langsung laporan ya Arsha."
"Iya siap Kak! Kalo gitu aku duluan ya, mau kasih ini!" Gadis itu mengangkat plastik di tangannya sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Bian dan yang diam-diam sedang tersenyum kecil di belakangnya.
Arsha berjalan cepat menuju salah satu gazebo yang menghadap langsung ke arah pantai, ada banyak laki-laki di sana dan salah satunya adalah Zakiel. Kali ini Arsha tidak sendirian, karena dia sempat kembali ke tendanya dan meminta ditemani oleh Tirani.
"Kasihin airnya, abis itu lo langsung balik aja," begitu kata Tirani. Sejujurnya gadis itu juga merasa kasihan dengan Arsha karena pada akhirnya hanya dia yang mendapatkan hukuman dari sepuluh orang di kelompok mereka, apalagi kejadian itu menimbulkan dampak ledekan yang berlebihan dari teman-temannya yang lain, jadi wajar saja jika Arsha sebagai siswi baru langsung merasa risih.
Arsha mengangguk singkat lalu segera menghampiri gazebo tempat di mana kelompok Nemo sedang berkumpul. Dia masih berjarak sedikit jauh dari mereka. "Zakiel," panggil Arsha dari tempatnya.
Zakiel menoleh dan tersenyum tipis ketika mendapati kehadiran Arsha, lalu dia memberikan instruksi kepada teman-temannya untuk tidak meledeki gadis itu, dan dengan segera Zakiel mengambil langkah cepat untuk menghampiri Arsha yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan sengit.
"Nih, pesenan lo," ujar Arsha jutek seraya menyodorkan plastik digenggamannya.
Zakiel malah bersidekap dada. "Dengerin cerita gue dulu geh, baru gue ambil minumannya."
"Enggak!" tolak Arsha mentah-mentah. "Cerita lo yang tadi aja bikin gue kesel, apalagi yang sekarang. Nih gue taruh di sini ya minumannya, terserah deh mau lo ambil apa enggak yang penting gue udah ngejalanin hukuman gue." Gadis itu hendak meletakkan plastiknya di pasir agar bisa segera pergi dari sana, namun Zakiel menahan lengannya dengan cepat.
"Dengerin gue dulu dong, sebentar aja," ucapnya memelas.
Melihat Arsha yang tidak bereaksi namun masih tetap menatapnya membuat Zakiel menarik kesimpulan bahwa gadis itu akan mendengarkan. Kemudian dia berdeham untuk memulai ceritanya yang baru. "Tadi pagi waktu berangkat gue bawa nomor, waktu di perjalanan gue inget banget kalo nomornya gue taruh di tas bagian depan, tapi sekarang nomor itu hilang." Ekspresi sedih yang ditunjukkan oleh laki-laki itu membuat Arsha mengernyit bingung.
Nomor? Bukannya mereka hanya disuruh membawa nametag?
"Nomor lo yang mana?" tanya Arsha bingung.
Zakiel tersenyum. "089612345678."
"CIEEEEE KIEEEE NGASIH NOMORNYA KE CEWEK!!"
Sumpah, mereka berisik banget.
Sorakan-sorakan yang kembali memasuki indera pendengaran Arsha membuatnya lantas berpikir, gadis itu tadinya belum mengerti ketika Zakiel mengatakan nomor, namun begitu Zakiel memberikan nomor ponselnya Arsha jadi memiliki keinginan kuat untuk menjambak rambut laki-laki itu dengan keras.
"Jangan lupa di simpan ya nomor gue, kan tadi lo barusan nanya." Zakiel tersenyum lebar lalu mengambil alih plastik di tangan Arsha, sebelum gadis itu sempat meledak dihadapannya Zakiel segera beranjak pergi ke gazebo semula.
"Sha, mending kita pergi sekarang deh." Tirani segera menarik Arsha untuk menjauh dari sekumpulan laki-laki menyebalkan itu.
*
Kegiatan outbound memang melelahkan, belum ada satu hari namun Arsha sudah merasa lelah dan juga pegal di beberapa bagian tubuhnya, tapi rasa lelah itu sebenarnya terbayar karena Arsha menghabiskan harinya dengan perasaan senang.
Matahari baru saja terbenam dan Arsha hanya bisa melihatnya dari celah tenda, mereka tidak diperbolehkan keluar ketika hari semakin sore karena mengingat perkataan Pak Harso sebelumnya bahwa bukan hanya mereka yang ada di pantai ini, jadi mereka harus benar-benar menjaga sikap jika ingin kegiatan outbound berjalan hingga akhir tanpa hambatan apapun. Lagipula Arsha juga masih mengingat pesan Papanya yang mengatakan bahwa dia tidak boleh nakal di tempat ini, dia harus menjaga sikap agar tidak ada kejadian apapun yang menimpanya nanti.
Tenda bagian depan terbuka, ada Kak Sayi dan satu lagi panitia perempuan yang Arsha belum ketahui namanya. "Dek, pada bawa mukenah masing-masing kan?"
"Bawa Kak," jawab mereka serempak.
Sayi mengacungkan jempolnya. "Siap-siap shalat ya, kelompok kalian duluan yang ke mushola. Buat yang non, bisa tinggal di tenda aja atau kalo mau keluar juga nggak apa-apa, asal jangan jauh-jauh."
"Iya, Kak."
"Yaudah, hati-hati ya keluarnya, udah gelap soalnya."
"Iya, makasih Kak."
Selepas perginya kedua kakak kelas itu, anak-anak kelompok Tulip segera bergegas mengambil mukenah mereka masing-masing.
"Jangan rebutan ya woy kalo wudhu nanti," ucap Arsha mengingatkan.
"Oke siap!" jawab yang lain serempak. Gadis itu langsung tersenyum lebar lalu menarik Tirani untuk segera pergi ke mushola bersamanya.
Ada beberapa orang yang menyapanya dan Arsha balas dengan kata iya seraya tersenyum manis, ternyata efek dari kejadiannya bersama Zakiel membuat Arsha jadi terkenal secara mendadak.
"Eh, ketemu Arsha lagi."
Arsha mendongak dan menemukan wajah Bian di antara temaramnya cahaya bulan, wajah laki-laki itu bersinar hingga membuat Arsha terperangah barang sebentar. Mereka baru saja sampai di depan mushola.
"Ini Tirani 'kan?" tanya Bian mengenali adik didiknya yang lain.
Tirani yang berada di sebelah Arsha mengangguk. "Iya, Kak."
"Yaudah buruan ambil wudhu, kita shalat bareng." Arsha dan Tirani mengangguk bersamaan.
Kedua gadis itu mengambil wudhu secara bergantian, hanya ada satu mushola di sini jadi mereka harus antri untuk wudhu dan shalat, setelah selesai keduanya segera masuk ke dalam mushola yang ternyata hanya ada kain sebagai sekat antara laki-laki dan perempuan. Walaupun tempat itu kecil, tapi Arsha tetap senang setidaknya dia tidak akan meninggalkan ibadahnya.
"Kita mulai ya."
Arsha dan Tirani berpandangan sejenak ketika menyadari suara siapa yang baru saja terdengar.
Itu suara Bian, kakak pembimbing mereka.
Kakak kelasnya itu akan menjadi imam mereka secara tidak langsung.