Langkah kaki Arsha terasa ringan ketika melangkah masuk ke dalam gerbang sekolahnya, bahkan berat di tas punggungnya juga sudah tidak Arsha rasakan lagi. Matanya mengedar untuk mencari keberadaan Tirani yang sempat mengabarinya kalau gadis itu sudah sampai lebih dulu di sini, kemudian Arsha menemukannya sedang duduk bersama beberapa siswa dan siswi lain di dekat pos satpam.
Arsha melambaikan tangannya ketika netra Tirani menangkap keberadaannya, Arsha segera berjalan cepat untuk menghampirinya. "Tir, maaf ya lama sampainya," ujar Arsha merasa bersalah.
"Enggak apa-apa, Sha. Gue juga belum lama kok di sini," balas gadis itu seraya tersenyum manis, Arsha lantas nyengir lebar mendengar itu.
Tirani Maheswari namanya, Arsha tidak sengaja bertemu dengannya ketika sedang melakukan pendaftaran ulang waktu itu. Niatnya cuma hanya ingin menyapa dan bertanya berasal dari sekolah manakah gadis itu, tapi ternyata obrolan mereka seketika nyambung dan mampu merembet sampai pada topik yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Gadis itu bahkan sempat menceritakan kepadanya tentang dirinya yang hampir terlambat mendaftar dan sudah khawatir akan ditolak di sekolah ini, tetapi ternyata takdir berkata lain hingga sekarang dia bisa bertemu dengan Arsha.
Tira— begitu Arsha kerap memanggilnya, menurut Arsha adalah seorang gadis manis yang memiliki tinggi tidak berbeda jauh darinya. Arsha memiliki tinggi 162 cm dan kemungkinan besar Tira lebih tinggi 2 cm di atasnya. Gadis itu sangat murah senyum dan selalu bisa menanggapi seluruh perkataannya. Mereka memiliki banyak kesamaan terutama dalam keingintahuan, keduanya sama-sama berulang tahun di bulan Januari dan hanya memiliki selisih satu hari berbeda saja.
Tira memakai kacamata namun Arsha tidak, dia bilang bahwa dia memiliki minus dua setengah di masing-masing matanya, tapi kacamata itu tidak membuat kesan manis di wajahnya menjadi hilang. Rambut Tira sebahu sedangkan Arsha memiliki rambut yang sedikit lebih panjang. Yang paling penting sejak obrolan pertama mereka, keduanya merasa bahwa mereka pasti bisa menjadi teman dekat dan Arsha berharap semoga saja dia akan sekelas dengan Tira nanti, semoga saja doanya terkabul.
Jangan heran tentang mengapa Arsha bisa menjabarkan sosok Tira dengan begitu rinci padahal dia sendiri belum menceritakan seperti apa sosoknya sendiri. Arsha memang seperti itu, dia senang sekali mendeskripsikan orang-orang yang menurutnya menyenangkan dan pantas berada dalam lembar baru hidupnya, dan sebagai permulaan Tira akan masuk sebagai orang pertama yang akan Arsha jadikan temannya.
"Kalian semua! Kalian kenapa masih di depan sini? Ayo pada masuk, itu udah pada baris di dalam, jangan nungguin temannya di sini, tunggu di dalam aja."
Arsha dan Tira refleks menoleh bersamaan ke sumber suara. "Kok kalian berdua malah lihatin saya? Ayo sana masuk bareng yang lain, baris di dalam soalnya udah mau mulai."
Seakan tersadar kalau mereka berdua baru saja kena teguran, kedua gadis itu segera berlari masuk ke dalam gedung sekolah, laki-laki tadi yang merupakan salah satu panitia outbound hanya menggelengkan kepalanya sekilas lalu melanjutkan tugasnya untuk memberi arahan kepada siswa dan siswi baru yang masih berkeliaran di sekitar luaran sekolah.
Arsha dan Tira membelalakkan kedua matanya begitu melihat lapangan sudah di isi oleh banyak orang, mereka semua berbaris membentuk beberapa barisan sesuai kelompok yang sudah dibagikan kemarin ketika masa pengarahan sebelum outbound di mulai. Beruntung bahwa keduanya mendapatkan kelompok yang sama sehingga mereka tidak perlu berpisah, keduanya langsung mengambil barisan di tengah-tengah pada kelompok barisan nomor tiga.
Arsha tidak memiliki teman lagi selain Tira, bukannya tidak memiliki hanya saja belum memiliki teman lain karena mereka juga sama-sama baru mengenal dan rasanya masih terlalu baru jika Arsha mulai mengajak mereka mengobrol. Mungkin nanti ketika waktunya sudah pas, dirinya bisa mengajak ngobrol beberapa orang, terutama untuk anak-anak di kelompoknya, tentunya untuk membangun pertemanan yang lebih luas.
Dari sekolah SMP-nya dulu tidak ada satupun temannya yang masuk ke sekolah ini, hanya Arsha seorang. Lalu Arsha tidak tau harus sedih atau berbangga diri jika mengingat Bakti Nugia merupakan salah satu sekolah ternama.
"Ada yang punya penyakit di sini? Kalo ada yang punya coba angkat tangan ya."
Suara dalam semua barisan yang tadinya terdengar berisik mendadak hening ketika Kak Bian—si ketua OSIS sementara—berbicara melalui microphone. Dia adalah salah satu kandidat sementara untuk posisi ketua OSIS periode selanjutnya, karena Kak Gerald yang merupakan ketua OSIS sebenarnya tidak bisa lagi ikut tergabung dalam kegiatan inti, mengingat dirinya adalah kelas XII yang harus difokuskan dalam ujian akhir. Lagipula sepertinya masa jabatan mereka sebentar lagi akan habis, dan kakak kelas sebelas akan segera menggantikan.
Arsha mengedarkan pandangannya dan melihat ada banyak orang yang mengangkat tangan, termauk Tira yang kini berbaris di depannya.
"Tir, lo sakit apa?" Arsha berbisik dari belakang.
"Gue punya asma."
Setelah mengatakan itu, salah satu kakak kelas langsung memberikan arahan kepada Tirani untuk maju ke depan. Dari yang Arsha lihat mereka langsung diberikan masing-masing pita berwarna yang diikatkan dipergelangan tangan. Ada warna biru, merah dan juga hijau yang Arsha tidak tau masing-masing fungsinya untuk apa.
"Kalian ada yang punya magh juga?" Kak Bian tiba-tiba menghampiri barisan Arsha dan bertanya dari depan sana.
Arsha refleks mengangkat tangannya dan Bian serta merta menghampirinya. Masing-masing dari barisan memiliki satu Kakak Pembimbing dan yang Arsha tau Bian adalah kakak pembimbing untuk kelompoknya.
"Kamu punya magh?" tanya Bian dan Arsha langsung mengangguk. "Kenapa enggak maju ke depan?"
"Hngg ... enggak parah sih, Kak. Saya juga udah bawa obat magh sendiri soalnya," katanya pelan, takut dimarahi.
Bian mengangguk paham. "Oke kalo gitu. Tapi kalo magh kamu kambuh langsung cepat lapor ke saya ya. Karena saya pembimbing kamu, jadi saya tanggung jawab penuh," ujarnya seraya mengeluarkan pita berwarna biru. "Siniin tangan kamu," lanjutnya kemudian.
Arsha lantas mengulurkan tangannya dan Bian segera mengingatkan pita biru tersebut ke pergelangan tangannya. Setelah selesai Bian segera mundur satu langkah dan tanpa sadar Arsha langsung menghela napas lega, Bian menatapnya sekilas lalu menyeringai kecil.
Arsha sudah bilang bukan bahwa dirinya bisa saja menyukai kakak kelas yang memiliki wajah tampan? Dan Bian memiliki kriteria itu.
"Kamu tau nama saya 'kan?"
"I-iya, Kak."
Bian tersenyum. "Bagus."
Arsha melemaskan bahunya ketika Bian sudah benar-benar pergi dari hadapannya. Tirani juga baru saja kembali ke barisan dan bertanya ada apa dengan dirinya, namun Arsha hanya menggeleng singkat, satu fakta baru yang didapatkannya dari Bian.
Senyum Kak Bian itu sangat berbahaya untuk hatinya.