Kalau aku tanya langsung sama Arkan itu sama sekali nggak mungkin.
Aku sudah tak terdengar suara apupun dari luar. Mungkin semuanya sudah pergi.
Perutku terasa lapar, tapi malas untuk keluar kamar. Andai aku punya Ibu peri yang bisa nganterin makanan kedalam kamarku tanpa membuka pintu.
Boro-boro punya Ibu peri, punya Ibu kandung aja nggak pernah sayang.
Kenapa hidupku begini amat yaa. Dulu waktu aku pernah suka sama Irfan dan Irfan menolak aja nggak ada tuh yang mau sama aku. Sekarang aku dan Arkan saling cinta banyak banget yang gangguin.
"Amaira." Nenek kembali memanggil.
"Amaira, buka pintunya. Ini Nenek bawain makanan untuk kamu."
Nenek begitu perhatian banget sama aku. Tapi aku selalu saja menyusahkan Nenek. Aku begini tuh gara-gara Arkan. Kenapa Arkan marah denganku, kenapa Arkan diemin aku.
Aku nggak mau keluar kamar sebelum Arkan sadar kalau aku benar-benar mencintainya.
Aku mendengar suara banyak orang diluar, memang diluar ada siapa ya? Bukannya hanya ada Nenek dirumah? Kan Dini dan Arkan sudah berangkat. Lalu siapa yang ada diluar?
"Amaira, sayang." Panggil sesorang dari luar kamar
Itu seperti suara Papa. Jadi Papa kesini? Pasti Papa kesini sama Mama.
Aku segera berdiri ingin membuka pintu, tapi tiba-tiba kepalaku pusing.
Rasanya aku nggak kuat untuk berdiri.
Buuggghhhh
Setelah terjatuh aku sama sekali nggak ingat apa-apa.
*****
Saat aku membuka mata, kulihat disekelilingku sama sekali nggak ada orang. Aku berada disebuah ruangan, yang kuyakini ini adalah salah satu ruangan rumah sakit.
Perlahan pintu ruangan terbuka. Sosok orang yang sangat aku cintai masuk menghampiri.
"Arkan." Panggilku lemah.
"Kenapa kamu bertindak seperti anak kecil, hah?" Tanya arkan sambil menyentil dahiku pelan.
"Semua gara-gara kamu. Kamu marah sama aku, kamu diemin aku dan kamu nggak mau dengerin penjelasan aku." Jawabku sambil memanyunkan bibir.
"Memang kamu mau jelasin apa sih?" Tanya Arkan lagi sambil meletakkan bunga mawar dan buah-buahan yang tadi dibawa keatas meja.
"Aku tu nggak ada hubungan apa-apa sama Zain, kemarin juga aku sama sekali nggak janjian apapun sama Zain. Tapi tiba-tiba dia datang dan bilang sama Nenek kalau kita janjian dinner, jadinya Nenek ngizinin. Karena Nenek mengira kalau aku memang ada janji, kamu tau sendiri kan kalau Nenek itu pantang bohong dan ingkar janji. Lagian Nenek juga kenal sama Zain jadinya diizinin." Jelasku panjang lebar.
Arkan hanya mengangguk dengan expresi yang sulit diartikan.
Arkan kenapa ya?
"Arkan." Panggilku.
"Ya, kamu mau sesuatu?" Tanya Arkan.
Aku menggeleng.
Arkan mengangkat sebelah alisnya.
"Kamu sudah berapa lama kenal sama Zain?" Tanyaku sambil menatapnya.
"Emmmm. Baru kemarin." Jawab Arkan dengan sedikit gelisah, tapi dia pandai menyembunyikan kegelisahannya.
"Tapi Zain bilang dia tau banyak hal tentangmu yang nggak aku ketahui. Memang apa yang nggak aku ketahui tentangmu?" Tanyaku hati-hati.
Seketika Arkan terlihat kaget dengan apa yang aku ucapkan. Sepertinya memang benar kalau Arkan memang menyembunyikan sesuatu.
"Udah, nggak usah difikirin apa yang dibilang Zain. Aku tau kalau dia sebenarnya suka sama kamu. Lebih baik sekarang kamu makan dulu, biar aku suapin." Jawab Arkan sambil mengambil makanan diatas meja.
Jawaban Arkan sama sekali nggak nyambung. Aku nanya tentang dia, kenapa dia malah membahas soal Zain yang suka denganku?
Apa yang sebenarnya Arkan sembunyikan dariku? Kenapa Arkan nggak mau bicara jujur denganku? Apa hal yang disembunyikan oleh Arkan ada sangkut pautnya denganku?
Aku membuka mulut saat Arkan menyuapiku dengan satu sendok bubur ditangannya.
"Arkan." Panggilku sambil mengunyah.
"Sssttttt. Makan dulu baru bicara." Ucap Arkan sambil terus menyuapiku.
Saat aku sedang enak-enak makan dengan disuapi Arkan, tiba-tiba pintu ruangan terbuka perlahan.
"Zain." Aku dan Arkan sama-sama kaget.
Kenapa Zain bisa tau aku ada disini?
"Kamu tau...." belum sempat melanjutkan ucapanku, pintu ruangan kembali terbuka. Dan menampilkan sosok Papa yang menuju kearahku.
"Papa." Panggilku pelan.
"Kamu sudah sadar, Sayang?" Tanya Papa yang hanya aku tanggapi dengan anggukan.
"Loh, kamu Zainal bukan?" Tanya Papa saat melihat kearah Zain.
"Iya, Om. Saya Zainal. Putra dari Ramlan." Jawab Zain sambil menyalami tangan Papa dengan tersenyum.
Papa kenal Zain dari mana.
"Kamu sekarang sudah besar ya, Nak. Waktu itu Papa kamu main kerumah Om itu kamu masih kecil banget." Ucap Papa sambil menepuk-nepuk bahu Zain.
"Iya, Om. Walaupun waktu itu saya masih kecil, tapi saya masih ingat saat diajak Papa kerumah Om. Waktu itu saya sering main bareng Amaira. Mungkin Amaira yang udah lupa." Ucap Zain sambil memandang kearahku.
Zainal? Aku pernah main sama Zainal waktu kecil? Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Mungkin waktu itu aku masih bayi.
"Iyalah, waktu itu kan Amaira masih sekolah TK, sedangkan kamu sudah SD." Jawab Papa sambil tertawa.
Pa... calon menantu Papa itu Arkan. Tapi kenapa malah Zain yang diajsk ngobrol? Sedangkan Arkan dicuekin.
"Arkan, kamu kok bisa ada disini? Kamu nggak ngajar?" Tanyaku pada Arkan. Sengaja mengajaknya ngobrol agar dia nggak merasa tersisihkan.
"Oh, aku tadi hanya ada 1 jadwal saja, jadinya pulang cepat." Jawab Arkan sambil memandangku. "Aku keluar sebentar ya." Lanjut Arkan sambil berdiri ingin melengkah keluar, tapi aku tahan lengannya.
"Jangan tinggalin aku." Ucapku yang membuat Arkan kembali duduk.
Papa dan Zain melanjutkan ngobrolnya diluar.
Syukurlah, aku jadi bisa berduaan dengan Arkan disini.
"Kamu jangan lakuin hal bodoh itu lagi ya, aku nggak mau kalau kamu sampai kenapa-napa." Ucap Arkan sambil mengelus kepalaku pelan.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Senang banget rasanya dapat perhatian Arkan seperti ini. Coba kalau perhatiannya setiap hari, berasa jadi permaisuri jadinya. Permaisuri Raja Arkan. Wkwk.
"Ra, aku pulang ya?" Ucap Arkan yang membuyarkan lamunanku.
"Kamu nggak mau nemenin aku disini?" Aku balik tanya. Tega banget sih Arkan mau ninggalin aku.
"Kan sudah ada Papa kamu dan juga Zain." Jawab Arkan seolah malas menyebut nama Zain.
"Aku maunya ditemenin sama kamu, Arkan." Ucapku memohon.
Hhmmmmm
Arkan menghela nafas panjang.
"Kamu kayak ogah banget nungguin aku disini, kalau kamu terpaksa lebih baik pulang aja." Ucapku marah.
"Bukan terpaksa, Ra. Aku nggak enak aja sama Papa kamu, sepertinya dia nggak mengharapkan aku ada disini. Kan lebih baik aku pulang biar Papa kamu bisa ngejagain kamu disini."
Aku menggeleng "aku maunya kamu yang ada disini." Ucapku sambil memandang mata Arkan dengan mimik wajah yang kubuat sangat sedih.
Arkan kembali duduk dengan ragu. Aku tau apa yang Arkan rasakan. Tapi saat ini aku hanya ingin ditemani oleh Arkan.