Ni cowok aneh banget deh. Dari tadi bicaranya lembut banget loh. Kenapa sekarang jadi cuek dan jutek gini.
"Kamu sudah lama kenal sama Arkan?" Tanya Zain tanpa mengalihkan pandangan dari handpone.
"Baru beberapa hari sih, semenjak pindah kedesa Nenek." Jawabku memandangnya.
Kulihat Zain sersenyum sinis saat mendengar jawabanku.
"Baru juga beberapa hari udah begitu percaya sama Arkan." Jawabnya membuatku bingung. "Kalau misal aku bilang sama kamu kalau orang tua Arkan masih hidup, kamu bakalan percaya nggak sama aku?" Tanya Zain datar.
"Mana mungkin orang yang sudah mati hidup lagi." Kujawab dengan menyunggingkan sudut bibirku.
"Kalau kamu nggak tau nggak usah ngeyel." Ucap Zain dengan tertawa mengejek.
Semua makan sudah siap tersaji diatas meja. Siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak ini?
Cepetan makan.
Aku hanya memilih satu makanan dan satu minuman. Setelah itu entahlah siapa yang akan menghabiskan.
Selesai makan Zain kembali memanggil pelayan untuk membayar makanan yang tadi dipesan.
"Totalnya semua berapa Mbak?" Tanya Zain pada pelayan.
"1 juta 4 ratus Mas." Jawab pelayan dengan tersenyum.
Zain membayar lunas.
"Sisanya tolong bungkus ya, Mbak?" Ucap Zain yang membuatku semakin bingung. Dia mau bungkus makanan sisa buat siapa?
"Ini makanan sisa loh, mau dibungkus buat siapa?"
"Nanti juga kamu akan tau sendiri." Jawabnya yang membuatku ingin marah.
Setelah selesai semuanya aku dan Zain menuju mobil.
Ingin segera pulang dan sampai rumah. Males rasanya pergi berdua dengan Zain.
Sampai rumah kulihat Nenek sedang menungguku diteras.
"Neneeekkk." Kupanggil Nenek dengan berjalan menghampirinya.
Nenek berdiri dari duduknya dan memelukku.
"Dari mana aja, lama amat? Capek Nenek nungguin disini." Ucap Nenek.
"Maaf, Nek. Tadi Amaira saya ajak mampir kerumah saya sebentar. Saya kenalin sama Mama." Ucap Zain sambil membawa bungkusan tadi. Jangan-jangan mau dikasihkan pada Nenek.
"Saya mau ketempat Arkan dulu ya, Nek. Setelah itu langsung pulang. Permisi." Ucap Zain sambil melenggang pergi.
Jadi makanan sisa itu buat Arkan. Tega banget sih Zain. Aku jadi penasaran, sebenarnya apa maksud ucapan Zain tadi ya. Apa Zain dan Arkan sudah kenal lama?
Entahlah.
Kulihat Zain keluar dari kos Arkan, masuk kedalam mobilnya dan pergi.
Lega rasanya Zain sudah pulang.
"Nek, Amaira boleh ketempat Arkan sebentar nggak?" Izinku pada Nenek.
"Iya, sana. Sebentar aja. Nenek tunggu disini." Jawab Nenek.
"Oke Nenekku sayang."
Aku berlari ke tempat Arkan.
"Arkan." Panggilku dari luar.
"Ada apa?" Tanya Arkan cuek. Pasti dia semakin marah saat tau aku keluar sama Zain.
"Makanan yang Zain kasih tadi jangan dimakan ya." Mohonku pada Arkan.
"Memangnya kenapa?" Tanyanya lagi.
"Sebenarnya itu makanan sisa Zain." Jawabku menunduk.
"Makanan sisa Zain apa sisa kalian?" Tanya Arkan dengan menyunggingkan sudut bibirnya.
Aku hanya diam menunduk.
"Habis pesta? Sampai sisa makanan aja sebanyak ini. Bingung ya mau buang kemana? Alhirnya dibuang di kosanku." Ucap Arkan dengan memojokkanku.
"Aku memang salah, Arkan. Maafkan aku." Ucapku memohon.
Arkan hanya menyunggingkan senyum.
Aku harus gimana lagi ini? Aku nggak mau Arkan semakin marah denganku.
"Plisss maafin aku Arkan." Tak terasa bulir bening membasahi pipiku.
"Pulanglah. Sudah malam." Ucap Arkan sambil meninggalkanku yang masih berdiri diteras Arkan.
"Amaira. Ayo pulang." Panggil Nenek.
"Nek, Arkan marah sama Amaira." Aduku pada Nenek sambil menangis.
"Gara-gara kamu keluar sama Zain?" Tanya Nenek.
Aku mengangguk.
"Itu salah kamu sendiri. Siapa suruh janjian makan malam sama Zain." Ucap Nenek menyalahkanku.
Nenek nggak tau aja kalau ini semua akal-akalan Zain aja.
"Aku nggak ada janji sama sekali dengan Zain, Nek." Ucapku sesenggukan.
"Udah nggak usah nangis. Kayak anak kecil aja. Lebih baik kamu tidur."
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar.
Gimana lagi aku harus menjelaskanbpada Arkan soal Zain. Aku nggak mau Arkan berfikir macam-macam tentangku. Arkan pliisssss kamu jangan marah dong.
Aku nggak sanggup jika melihatmu marah seperti ini, Arkan.
Jika kamu nggak ada hubungi aku, aku nggak akan keluar kamar.
Aku nggak akan keluar kamar sampai kamu sendiri yang minta aku untuk keluar. Hiks hiks.
Rasanya mata ini enggan untuk dipejamkan. Jika aku punya masalah, mataku memang nggak pernah mau diajak tidur.
"Amaira. Lo kok nggak keluar-keluar. Lo belum bangun ya, Ra." Teriak Dini dari luar kamar.
Semalaman aku nggak tidur karena mikirin Arkan. Semalaman juga aku nangisin Arkan. Untung kamarku jauh dari kamar Nenek jadi Nenek nggak dengar. Mungkin Dini yang bisa dengar tapi dia pura-pura nggak tau. Karena memang aku belum siap cerita pada Dini. Biar nanti aja kalau suasana hati udah tenang.
"Amaira." Teriak Dini lagi.
(Aku nggak sekolah, Din) kukirimkan pesan pada Dini.
(Lo kenapa, Ra? Lo sakit) balas Dini.
(Iya. Nanti ijinin ya. Bilangin juga sama Nenek kalau gue nggak mau diganggu) balasku.
(Lo kenapa sih, Ra. Cerita dong sama gue) tanya Dini pada balasan pesannya.
kumatikan handponku biar nggak ada yang ganggu.
"Amaira, buka pintunya. Ayo sarapan dulu." Teriak Nenek.
"Amaira nggak lapar, Nek."
Hanya sekali jawaban, suara Nenek nggak terdengar lagi. Tumben.
Mungkin Nenek tau suasana hatiku saat ini.
"Amaira, ada Arkan nih nyariin kamu." Suara Nenek terdengar lagi.
Apa benar Arkan nyariin aku? Kayaknya nggak deh. Kan Arkan lagi marah. Nenek bohong nih pasti.
Ehh tapi, Nenek itu bukan tipe oranv yang suka bohong.
Tok tok tok
"Amaira, kamu kenapa nggak berangkat sekolah?" Tanya seorang cowok dari luar kamar.
Itu seperti suara Arkan.
Iya, benar. Itu suara Arkan.
Arkan kok disini ya? Memangnya dia nggak ngajar?
"Amaira, aku ingin bicara sebentar sama kamu." Ucap Arkan pelan.
Aku nggak mau keluar. Pasti Arkan hanya ingin tanya soal Zain, nanti akhirnya akan marah-marah. Nggak, aku nggak mau keluar. Biarin aja Arkan pergi.
Pasti Arkan kesini hanya ingin marah sama aku.
"Amaira, buka dong pintunya. Ini Arkan mau bicara sebentar. Nanti dia terlambat loh, Ra. Buruan bukain pintunya." Pinta Nenek.
Aku tak bergeming. Aku hanya nggak mau kalau Arkan semakin marah.
"Yaudah kalau Amaira nggak mau buka pintu, Arkan pamit berangkat, Nek." Pamit Arkan pada Nenek.
"Iya, hati-hati ya. Ingat pesan Nenek tadi."
Pesan apa yang dimaksud Nenek? Kenapa semuanya hidup penuh dengan rahasia?
Apa yang mereka rahasiakan dariku?
Begitu asingkah diriku hingga semuanya menyembunyikan rahasia dariku.
Nenek juga kenapa tega merahasiakan sesuatu dariku? Bukannya Nenek yang selalu ada untukku? Kenapa sekarang pakai main rahasia-rahasiaan segala?
Kalau aku tanya langsung sama Arkan itu sama sekali nggak mungkin.