Asemm, mana perut terasa lapar lagi.
Tok tok tok
"Nek." Aku masih mencoba memanggil Nenek tapi masih aja nggak ada sahutan.
Akhirnya aku dan Dini duduk diteras rumah. Menunggu Nenek membuka pintu. Nenek tidur siang kali ya.
"Din." Panggilku pelan.
"Ada apa, Ra." Jawab Dini.
"Gue lapar." Ucapku sambil memegangi perut yang terasa lapar. Karena tadi dikantin sekolah aku hanya makan cemilan saja.
Berapa lama harus nungguin Nenek pulang, aku nggak kuat menahan lapar.
Tak berselang lama Arkan juga pulang. Aku lihat Arkan seperti bawa sesuatu. Tapi apa ya?
Semoga Arkan membawa makanan, lapar banget nih perut.
Setelah menghentikan motornya Arkan menghampiriku.
"Kok masih diluar?" Tanya Arkan.
"Pintunya dikunci sama Nenek." Jawabku lesu.
"Kamu kenapa? Lapar?" Tanya Arkan lagi.
Aku hanya mengangguk.
"Nih, makan." Arkan mengulurkan bingkisan kresek putih kearahku.
Kubuka bingkisan itu.
"Wow.. bronis. I like it." Langsung kulahap bronis pemberian Arkan, tanpa menghiraukan siapapun.
"Kamu kok bisa tau kalau aku suka brownis?" Tanyaku pada Arkan.
"Dini yang ngasih tau." Ucap Arkan sambil tersenyum.
"Bagi dong, Ra." Ucap Dini memelas.
"Ehh.. ini.. ambil.. dikit aja tapi." Ucapku yang membuat Dini mengerucutkan bibirnya. Udah kayak itik. Hihi.
"Kamu kalau makan pelan-pelan dong, sampai berantakan kayak gitu." Ucap Arkan sambil membersihkan ujung bibirku dengan tangannya.
Seketika aku langsung diam.
"Kok berhenti makannya?" Tanya Arkan dengan menaikkan kedua alisnya.
"Menetralkan detak jantung yang tak beraturan dulu. Takut copot dari tempatnya." Ucapku gerogi.
Ternyata aku bisa malu juga kalau dapat sikap manis dari cowok.
Arkan memang benar-benar idaman. Nggak salah sih banyak yang ngejar-ngejar sampai nangis-nangis juga karena diputusin Arkan.
Kulihat ada sebuah taksi yang berhenti didepan pagar rumah Nenek.
Kemudian Nenek keluar membawa babyak belanjaan.
Ohhh.. berarti tadi Nenek ke pesar.
"Nenek habis dari pasar?" Tanyaku pda Nenek saat Nenek sudah mulai mendekat.
"Bukan. Nenek dari pasar malam." Jawab Nenek yang membuat aku, Arkan, dan juga Dini bingung.
"Kan sekarang siang, Nek. Jadinya psar siang, bukan pasar malam." Ucapku.
"Lagian sudah tau Nenek bawa belanjaan banyak begini pakek nanya lagi. Nggakcdibantuin juga." Ucap Nenek sambil meletakkan belanjaannya didepan pintu.
Nenek merogoh saku bajunya, mungkin mau mengambil kunci pintu. Tapi Nenek seperti terlihat bingung.
"Nenek, kenapa?" Tanyaku hati-hati.
"Amaira... kuncinya hilang." Ucap Nenek yang membuatku melongo.
"Kog bisa, Nek?" Tanya Dini.
"Tadi Nenek taroh disaku baju. Tapi sekarang nggak ada." Jawab Nenek.
"Emang nggak ada kunci serep, Nek?" Tanya Arkan.
"Ada sih, tapi?" Ucapan Nenek membuatku penasaran.
"Tapi apa?" Serempak kami bartanya.
Nenek sih pakek menggantung ucapannya segala.
"Kunci serepnya ada didalam rumah." Jawab Nenek tersenyum. Jawaban Nenek membuatku menepuk jidat. Ada didalam? Gimana cara ngambilnya coba. Kalau kita bisa masuk mah nggak butuh kunci serep segala.
"kalian istirahat saja di kos Arkan. Biar Arkan carikan tukang kunci." Ucap Arkan lembut. Membuatku semakin jatuh hati dengan sosok Arkan.
Nenek hanya mengangguk.
Malah aku yang merasa bersalah karena selalu merepotkan Arkan.
Lagian Nenek sih. Pintu rumah pakek dikunci segala. Nggak ada apa-apanya juga. Uang? Kalau orangnya pergi pasti dibawa lah. Nggak mungkin juga orang pergi nggak bawa uang.
Kurebahkan tubuhku dilantai teras. Ngantuk. Ingin segera tidur siang. Capek juga, apalagi perut sudah kenyang. Jadi mata semakin ngantuk lah. Ingin segera tertutup.
"Amaira.. nanti seragam kamu kotor." Ucap Nenek mengingatkan.
"Biarin, Nek. Amaira ngantuk. Ini semua kan gara-gara Nenek juga. Pakek kunci pintu segala. Amaira tuh pulangnya sudah dari tadi, Nek. Sejak jam 11 siang." Ucapku kesal.
"Tumben kamu jam 11 sudah pulang?" Tanya Nenek.
"Iya. Besok Amaira ada kegiatan sekolah. Jelajah kehutan. Mungkin sambil berkema beberapa hari." Ucapku.
"Arkan juga?" Tanya Nenek lagi.
"Iyalah. Arkan kan Guru, Nek." Jawabku sambil memejamkan mata.
"Nenek bakal kesepian dong." Ucap Nenek menampakan kesedihan.
Seketika aku kembali membuka mata.
"Kan yang kos disini masih banyak, Nek." Ucapku mencoba menghibur Nenek.
"Kan yang lain pagi sampai sore lagi kerja. Malam saja dirumah. Sedangkan Nenek butuh teman kalau siang."
"Ya Nenek doain aja biar kegiatannya dibatalin." Ucapku sekenanya.
Kulihat Arkan sudah kembali bersama seseorang dibelakangnya dengan mengendarai motor masing-masing.
"Bapak ini namanya Pak Ramon. Beliau adalah tukang kunci." Ucap Arkan memperkenalkan Pak Ramon pada kami.
"Ini, Pak. Bapak bisa nggak bikin duplikat kunci rumah ini?" Tanya Arkan pada Pak Ramon.
"Bisa, Mas. Tapi butuh waktu cukup lama." Jawab Bapak tukang kunci tersebut.
"Nggakpapa, Pak. Yang penting bisa." Ucap Arkan.
"Yuk, istirahat di kosanku." Arkan mengajak kami ketempat kosnya. "Tenang aja, tempat kosku itu dalamnya luas. Sangat cukup kalau buat tiduran 3 orang doang." Lanjut Arkan sambil tersenyum.
"Terus nanti kamu dimana?" Tanyaku pada Arkan.
"Kamu nggak usah kawatir. Aku nanti istirahat di teras aja." Ucap Arkan sambil mengelus pucuk kepalaku.
Begini ya rasanya disayangi.
Baru tau aku tuh.
Setelah kita semua beristirahat beberapa saat, Pak Ramon menghampiri.
"Sudah selesai, Mas. Ini kunci duplikatnya." Ucap Pak Ramon sambil menyerahkan kunci duplikat rumah Nenek pada Arkan.
"Berapa biayanya, Pak?" Tanya Arkan.
"150 ribu, Mas." Jawab Pak Ramon.
Belum sempat Arkan mengambil uang Nenek langsung keteras. Menghampiri Pak Ramon dan Arkan.
"Biar Nenek saja yang bayar, Arkan." Ucap Nenek sambil menyerahkan uang 150 ribu pada Pak Ramon.
"Terima kasih." Ucap Pak Ramon.
"Sama-sama." Jawab Arkan.
Kemudian Pak Ramon pamit untuk pulang.
Aku, Nenek, serta Dini pamit pada Arkan untuk kembali ke rumah.
Aku segera mandi dan ganti baju. Tadinya pengen mandi dirumah Arkan, karena badan terasa sangat lengket, kayak lem. Tapi nggak enak aja sama Arkan. Udah numpang istirahat masa ngelunjak mau numpang mandi juga. Malu lah.
Kubaringkan tubuhku sejenak. Tidur dulu lah sebentar. Paling juga nanti malam dibangunin Nenek buat makan.
Baru ingin memejamkan mata ternyata ada yang mengetok pintu kamarku.
Siapa sih, ganggu aja deh.
Aku berjalan menuju pintu kamar dan membukanya.
"Eh, Ra. Gue mau curhat sebentar boleh nggak?" Tanya Dini yang membuatku menyerngitkan kening. Tumben-tumbenan nih anak mau curhat.
"Yaudah, sini masuk." Ajakku. "Mau curhat apaan?" Tanyaku penasaran.
"Lo tau kan Ferdi kapten basket disekolah kita? Dia nembak gue, Ra." Dini antusias bercerita.
"Hah? Bukannya Ferdi itu cowoknya Bella ya?" Tanyaku pada Dini.
"Ternyata bukan, Ra. Kita hanya salah sangka. Ferdi itu kakak kandungnya Bella." Ucap Dini sambil mengibas-ngibaskan tangannya dengan heboh.
Nih anak kenapa sih?
Tangannya kepanasan apa gimana?
Iihhh dasar Dini.